~ Dinar tak menyangka jika di usianya yang baru tujuh belas tahun harus di hadapkan dengan masalah rumit hidupnya. Masalah yang membuatnya masuk ke dalam sebuah keluarga berkuasa, dan menikahi pria arogan yang usianya jauh lebih dewasa darinya. Akankah dia bertahan? Atau menyerah pada takdirnya?
~ Baratha terpaksa menuruti permintaan sang kakek untuk menikahi gadis belia yang pernah menghabiskan satu malam bersama adiknya. Kebenciannya bertambah ketika mengetahui jika gadis itu adalah penyebab adik laki lakinya meregang nyawa. Akankah sang waktu akan merubah segalanya? Ataukah kebenciannya akan terus menguasai hatinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lindra Ifana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
9
Baratha terlihat duduk diruang tengah, tak jauh dari kamar Malik yang saat ini masih diperiksa oleh dokter keluarga. Hanya Anom dan kepala maid yang ada di dalam sana karena ia yakin keberadaannya hanya akan memperburuk kondisi sang kakek.
"Kau sudah makan? Ibu baru saja membuat spaetzle dan daging panggang. Apa kau keberatan jika memanggilku dengan sebutan ibu? Ehhmm lupakan....lbu tahu kau tidak akan suka dengan masakanku, tapi dari tadi siang kau belum makan. Kau harus menjaga kesehatanmu."
Wening yang baru saja datang kemudian duduk tak jauh dari Baratha, dia sudah mendengar tentang perdebatan antara Malik dan Baratha. Wanita itu tahu jika hal ini pasti terjadi, dua puluh tahun lebih menjadi menantu Wirabumi menjadikan dia tahu watak ayah mertuanya.
"Aku akan makan tapi setelah mendengar bagaimana kondisi Tuan Besar Wirabumi. Aku memang tidak menyukaimu, tapi bukan berarti aku membencimu Nyonya," sahut Bara menghela nafas, masih terasa berat untuk memanggil wanita di depannya dengan sebutan ibu.
Bara tahu jika wanita di depannya masih menyimpan duka yang teramat besar di hatinya. Wening pasti sangat terluka karena kehilangan putra satu satunya. Tak bijak rasanya jika ia masih memperlihatkan rasa tidak sukanya.
"Dia kakekmu Nak, ayah memang pria yang sangat keras tapi dia adalah pria yang sangat baik. Apapun yang dia lakukan adalah untuk kebaikan keluarga ini. Dia sering sekali menanyakan semua hal tentangmu pada Krisna, dia selalu bangga pada keberhasilanmu memimpin Maven."
Bara mengangkat satu sudut bibirnya, nyatanya Malik tak pernah tahu bagaimana perjuangannya untuk menjadikan Maven seperti sekarang ini. Bukan perkara mudah memimpin sebuah perusahaan besar di saat umurnya masih sangat muda.
Bara dan Wening langsung berdiri ketika melihat dokter keluarga dan Anom keluar dari kamar Malik.
"Dokter Gibran bagaimana kondisi ayah?" tanya Wening khawatir.
"Dia putra sulungku yang tinggal di London, Baratha Wirabumi," ujar Wening yang tahu arah pandang pria berjas putih didepannya
Dokter Gibran adalah pria muda yang baru beberapa tahun menjadi dokter keluarga, tapi pria itu mengetahui hampir seluruh cerita yang terjadi di Wirabumi. Karena ayahnya adalah sahabat dekat dari Malik dan Whisnu Wirabumi, Gibran juga sempat menghadiri pemakaman Krisna siang tadi.
"Senang bisa bertemu dengan pria hebat seperti anda Tuan Baratha, Tuan Malik sering bercerita tentang anda," sapa sang dokter ramah, tangannya urung terulur karena melihat sikap putra sulung Wirabumi yang tak begitu ramah padanya.
"Bara terlalu lelah karena sejak kedatangannya belum sempat beristirahat. Apa ayah perlu di bawa ke rumah sakit?"
"Seperti yang pernah saya katakan jika Tuan Malik perlu lingkungan yang benar benar tenang. Emosi yang berlebihan akan sangat cepat memacu penyakit jantungnya. Dan saya rasa beliau belum perlu di bawa ke rumah sakit. Malam ini saya akan menempatkan satu perawat untuk terus memantau keadaannya."
"Saya yang akan mengantar Dokter Gibran ke depan," ujar Anom ingin memberikan ruang agar Wening ataupun Baratha bisa leluasa berbicara dengan Malik.
Setelah Anom dan Gibran pergi Wening langsung mengajak Bara untuk melihat kondisi ayah mertuanya.
"Ayo kita lihat kakekmu, dia pasti senang melihatmu masih ada disini."
Bara melangkahkan kakinya ke kamar dengan nuansa putih itu. Malik terlihat tergolek di atas ranjang dengan selang infus ditangannya. Pria parubaya itu tampak sedikit pucat, tapi dia matanya tampak berbinar saat melihat kehadiran dua orang yang melangkah ke arahnya.
Satu tangan Malik terangkat ke arah Bara seolah ingin berkata jika ingin cucu pertamanya itu mendekat padanya. Dan Bara reflek duduk di tepi ranjang agar bisa mendengar Malik berbicara.
"Aku bukan pria sempurna, dan aku tak akan memaksamu untuk memaafkan semua kesalahanku padamu...pada ibumu! Tapi pria tua ini memohon padamu, nikahi wanita itu. Aku tak mau membuat kesalahan yang sama lagi, aku tak akan menelantarkan darah Wirabumi di luar sana," lirih Malik menggenggam kuat tangan Bara.
"Tapi anda sendiri yang mengatakan jika belum tentu wanita itu mengandung darah Wirabumi. Jadi tak ada keharusan untuk menikahinya."
"Tapi besok wanita itu menikah, jika itu terjadi maka kita tak akan punya kesempatan untuk mengetahui kebenarannya. Wanita itu akan menjadi tanggung jawab orang lain. Aku mohon padamu..."
"Ayah! Apa yang Ayah lakukan?!" pekik Wening terkejut ketika Malik berusaha bangun dan turun dari ranjang.
"Aku ingin memohon padanya, seumur hidup hanya ini yang akan aku minta padanya."
Baratha terlihat menghela nafasnya, sekilas ia bisa melihat tatapan memohon dari istri kedua mendiang ayahnya. Bisa saja ia menolak, tapi ia tak ingin melihat keluarga ini berkabung untuk kedua kalinya.
Bara masih ingat perkataan dokter tentang bagaimana harus menjaga emosi seorang Malik Wirabumi.
"Baik...jika itu membuat anda bisa tenang maka aku akan menuruti permintaan anda. Aku akan menikahi wanita itu..."
tidak pernah membuat tokoh wanitanya walaupun susah tp lemah malahan tegas dan berwibawa... 👍👍👍👍
💪💪