S 2. "Partner"
Kisah lanjutan dari Novel "Partner"
Alangka baiknya membaca Novel tersebut di atas, sebelum membaca novel ini. Agar bisa mengikuti kisah lanjutannya.
Bagian lanjutan ini mengisahkan Bu Dinna dan kedua anaknya yang sedang ditahan di kantor polisi akibat tindak kejahatan yang dilakukan kepada Alm. Pak Johan. Mereka berusaha dengan berbagai cara untuk lolos diri dari jerat hukum. Semua taktik licik dan kotor digunakan untuk melaksanakan rencana mereka.
Rencana jahat bisa menjadi badai yang menghancurkan kehidupan seseorang. Tapi tidak bagi orang yang teguh, kokoh dan kuat di dalam Tuhan.
¤ Apakah Bu Dinna atau kedua anaknya menjadi badai?
¤ Apakah mereka bisa meloloskan diri dari jerat hukum?
Ikuti kisahnya di Novel ini: "Menghempaskan Badai"
Karya ini didedikasikan untuk yang selalu mendukungku berkarya. Tetaplah sehat dan bahagia di mana pun berada. ❤️ U. 🤗
Selamat Membaca
❤️🙏🏻💚
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sopaatta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
09. MB 9
...~•Happy Reading•~...
Pertanyaan Pak Gustav membuat istrinya tersentak dan langsung duduk di kursi meja riasnya sambil memegang obat dan air mineral di tanganya.
Pikirannya ke berbagai arah sambil melihat suaminya dan coba sabar dan berpikir positif. "Kamarnya sering dipakai buat tamu atau keluarga yang datang. Kamar tamu sudah dipakai buat kamar Felix." Istri Pak Gustav menjelaskan tanpa bertanya tentang maksud pertanyaan suaminya. Dia menunggu untuk mendengar maksud pertanyaan suaminya.
"Berarti nanti kalau dipakai lagi buat kamar anak-anak masih bisa, kan?" Pak Gustav membuka maksudnya untuk berbicara dengan istrinya tentang Gina dan Oseni yang mau diajak tinggal bersama mereka.
"Maksudnya, Mas mau ajak Gina dan Oseni tinggal di sini lagi?" Istri Pak Gustav langsung pada tujuan suaminya, tanpa mau memutar, sebab sudah mengerti maksud suaminya.
"Iya. Mereka sedang alami masalah, jadi aku mau ajak mereka untuk tinggal bersama kita. Bagaimana menurutmu?" Pak Gustav mulai hati-hati berbicara saat melihat perubahan wajah dan panggilan istri kepadanya yang biasanya Pa, Papa, tapi jadi Mas.
"Bagus, Mas masih mau tanya bagaimana menurutku. Jadi masih minta pendapatku. Aku masih sama. Keputusanku tidak berubah terhadap mereka berdua. Tidak bisa tinggal di rumah ini." Istri Pak Gustav berkata serius dan tegas.
"Lianty, mereka masih anak-anak. Jangan simpan di hati yang mereka katakan atau lakukan waktu itu. Sekarang mereka sudah sadar, dan ingin tinggal dengan kita." Pak Gustav yang tadinya duduk bersandar, jadi duduk tegak di atas tempat tidur.
"Kau tahu, bagaimana pun mereka anak-anakku. Kau terima dan menikah denganku yang sudah punya anak dua. Jadi mereka juga bagian hidupku." Pak Gustav coba melunakan hati istrinya, agar melupakan kejadian buruk yang pernah terjadi di antara mereka,
"Apa Mas Gustav lupa? Aku terima menikah denganmu dan terima anak-anakmu tinggal bersama kita. Tapi apa yang terjadi? Apa mereka menggapku sebagai istri Papa mereka?" Istri Pak Gustav bertanya sambil menahan emosinya yang mulai meningkat.
"Itu sudah berlalu, Lianty. Sekarang mereka sudah sadar kondisiku dan sudah menerima pernikahan kita." Ucapan suaminya membuat hati Lianty jadi pahit.
'Pasti sedang terjadi sesuatu, sehingga tiba-tiba ingat Papanya. Terima Papanya sudah menikah, tapi belum tentu terima istrinya.' Lianty berkata dalam hati sambil menahan emosi.
"Memang kejadian itu sudah lama berlalu. Tetapi semua yang mereka katakan sebelum keluar dari rumah ini, tidak pernah aku lupakan."
"Aku berharap, kau juga tidak lupa yang aku katakan saat mereka memanggul tas keluar dari rumah ini." Lianty berkata serius kepada suaminya.
"Lianty, saat itu mereka masih remaja, jadi memutuskan sesuatu menurut emosi sesaat tanpa pikir panjang. Jadi mari maafkan mereka, lalu kita tinggal bersama lagi dengan baik." Pak Gustav coba membujuk istrinya, mengingat tangisan Gina di tempat kost.
Ucapan Pak Gustav membuat istrinya tersenyum sinis ingat perilaku Oseni dan Gina saat tinggal bersama mereka. Hari-hari berlalu dengan suasana rumah yang panas dan penuh pertengkaran.
"Sekarang kau minta aku memaafkan mereka? Aku sudah memaafkan mereka sejak angkat kaki dari rumah ini. Kau lupa, bagaimana aku bisa punya anak? Karena melupakan kelakuan mereka dan bisa hidup tenang dalam rumah ini, hingga bisa hamil Felix." Lianty melupakan sapaan sayang dan sopan terhadap suaminya.
"Sekarang kau sibuk perhatikan kedua anakmu yang sudah dewasa dan bisa jungkir balik dan melupakan anakmu yang belum juga berusia tiga tahun?"
"Kau kira aku tidak tahu, kau terus membantu mereka selama ini? Aku diam, karena sadar itu tanggung jawabmu sebagai Papa mereka. Tapi sekarang, aku tidak diam."
"Liantiii... Jadi selama ini, kau berpura-pura baik pada mereka?" Bentak Pak Gustav dengan nada yang tinggi.
"Apa pernah kau lihat aku berpura-pura baik denganmu? Anak-anakmu tidak tahu dibaikin. Aku berusaha jadi teman dan ibu bagi mereka, tapi apa yang mereka katakan? Mama mereka cuma satu dan itu tidak akan tergantikan." Lianty tidak teruskan ucapan Oseni dan Gina tentang, dia tidak akan hidup tenang dengan Papa mereka.
"Aku tidak bilang apa pun padamu, karena kau sedang konsentrasi dengan pekerjaan barumu. Kau selalu pulang malam dan sudah capek. Apa kau tahu semua yang terjadi di rumah ini?"
"Aku berusaha mengajarkan yang baik buat mereka. Tapi seperti orang tuaku bilang, pohon yang sudah bengkok, tidak bisa diluruskan. Itu terjadi pada anak-anakmu, aku berusaha mau meluruskan, mereka balik menyerangku." Semua kejadian yang terjadi dengan anak-anak Pak Gustav kembali mengusik ketentraman batinnya dan membuatnya sangat emosi dan marah.
"Untuk tinggal di rumah ini, aku masih pegang ucapanku saat mereka berkata kasar dan tidak sopan dan juga pongah, karena mau tinggal dengan Mama mereka yang bergelimang harta."
"Aku berharap, kau ingat juga apa yang aku ucapkan saat itu. Dan itu berlaku buat semua orang yang tinggal dalam rumah ini. 'Berani angkat kaki tinggalkan rumah ini, pintu rumah sudah tertutup bagi kalian."
"Jadi jangan pernah bermimpi untuk kembali ke rumah ini, setelah pergi." Ucap Lianty dengan nada tegaa.
"Jadi itu juga berlaku buatku?" Pak Gustav merasa tersinggung dengar ucapan istrinya.
"Iya. Berlaku buat siapa saja yang tinggal dalam rumah ini. Aku tidak mengusir. Tapi mau keluar atas kehendak sendiri, silahkan keluar dan jangan bermimpi untuk kembali ke rumah ini." Lianty kembali menegaskan apa yang pernah dikatakannya.
"Kau sangat sombong. Kau tidak menganggap aku ini suamimu dan sudah berani berkau, kau padaku."
"Ini bukan sombong. Tapi setiap rumah tangga punya aturan dan anak-anakmu tidak tahu aturan. Aku berpegang teguh pada komitmen awal. Jika Mas Gustav bisa memposisikan diri sebagai suami dan Papa dari Felix, aku akan menghormatimu."
"Tetapi kalau kau lebih condong membela anak-anakmu yang sudah dewasa dan sudah berani putuskan sesuatu untuk hidup mereka, silahkan. Aku tetap membela putraku."
"Kau lupa, Felix belum berusia tiga tahun? Makan saja masih perlu disuapin. Apa yang akan terjadi dengan dia, kalau tidak dikasih makan?" Lianty terus menyebut nama putranya, agar suaminya tetap memikirkan anak mereka juga.
"Felix ada kau sebagai Mamanya. Apa selama ini dia kekurangan?"
"Dia tidak kekurangan, karena ada Mama dan Papanya. Emangnya dia hanya butuh perhatian Mamanya saja? Lalu Papanya boleh abaikan dia?"
"Anak-anakmu yang dua orang itu sudah bisa cari makan sendiri. Apa tidak lihat di luar sana, anak-anak seusia mereka sudah bekerja dan harus hidup jauh dari orang tua dan tinggal di kost-kostan atau kontrakan?" Lianty bertanya kepada Pak Gustav yang melihatnya dengan wajah memerah, emosi.
"Mengapa sekarang justru anak-anakmu bikin kau sakit kepala untuk tempat tinggal? Ingat, aku tidak akan diam dan menerima jika mantan istrimu itu datang ke sini dan memakiku karna kedua anakmu."
...~°°°~...
...~●○♡○●~...