Andai hanya KDRT dan sederet teror yang Mendung dapatkan setelah menolak rencana pernikahan Andika sang suami dan Yanti sang bos, Mendung masih bisa terima. Mendung bahkan tak segan menikahkan keduanya, asal Pelangi—putri semata wayang Mendung, tak diusik.
Masalahnya, tak lama setelah mengamuk Yanti karena tak terima Mendung disakiti, Pelangi justru dijebloskan ke penjara oleh Yanti atas persetujuan Andika. Padahal, selama enam tahun terakhir ketika Andika mengalami stroke, hanya Mendung dan Pelangi yang sudi mengurus sekaligus membiayai. Fatalnya, ketidakadilan yang harus ia dan bundanya dapatkan, membuat Pelangi menjadi ODGJ.
Ketika mati nyaris menjadi pilihan Mendung, Salman—selaku pria dari masa lalunya yang kini sangat sukses, datang. Selain membantu, Salman yang memperlakukan Mendung layaknya ratu, juga mengajak Mendung melanjutkan kisah mereka yang sempat kandas di masa lalu, meski kini mereka sama-sama lansia.
Masalahnya, Salman masih memiliki istri bahkan anak...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bukan Emak-Emak Biasa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sembilan
Mendung merasa sangat tidak asing pada suara pria barusan. Suara yang sudah sangat lama tidak ia dengar, tetapi langsung membuat dadanya berdebar. Seolah, suara tadi memang dari sosok penting dalam hidup Mendung. Masalahnya, mungkin karena sudah terlalu lama tak saling bertukar sapa apalagi bercengkerama, Mendung jadi lupa, pada sang pemilik suara.
“Ndung, kamu kenapa? Kenapa kamu ada di sini dan penampilanmu? Ya ampun ....” Pria tersebut begitu peduli kepada Mendung. Ia membopong tubuh Mendung yang rapuh dan membawanya pergi dari sana.
Salman, merupakan nama dari pria berkemeja abu-abu yang memboyong Mendung. Ia merebahkan Mendung di sofa kulit warna hitam yang ada di ruang tamu kediaman Yanti. Air mineral kemasan gelas dan tersedia di meja sebelahnya, ia sambar. Selain membukakan air mineral tersebut menggunakan sedotan, Salman juga membantu Mendung minum.
“Minum, Ndung. Aku mohon, buka matamu!” sergah Salman tidak bisa untuk tidak panik bahkan kacau. Apalagi, kedua mata Mendung tetap saja terpejam meski ia beberapa kali menepuk-nepuk pipi kiri Mendung.
“Aku ingat suara ini. Ini suara mas Salman! Suara yang sempat memuncaki setiap tangga musik di Indonesia bahkan Asia. Malahan karena suara ini juga, aku dinikahkan dengan mas Andika. Iya, aku masih sangat ingat. Kala itu aku kepergok duduk bersebelahan dengan mas Salman di bangku depan warung Mak Icih. Sambil memainkan gitar, di malam minggu sekitar pukul tujuh, tiga puluh tahun lalu, Mas Salman menyanyikan lagu romantis untukku. Mas Salman sengaja menciptakan banyak lagu untukku, untuk hubungan kami yang sudah berjalan selama tiga tahun terakhir saat itu. Meski semenjak itu juga, duniaku benar-benar hancur. Status mas Salman yang hanya pengamen keliling, membuat bapak murka tak merestui hubungan kami. Bapak sengaja menikahkan aku dengan mas Andika yang sudah terbiasa menjadi kuli bangunan di Jakarta. Bagi bapak, masa depan mas Andika jauh lebih cerah karena ketimbang pengamen keliling, pendapatan tukang bangunan lebih nyata. Walau tak lama kemudian setelah aku menikah, mas Salman yang hijrah ke Jakarta justru lolos audisi ajang pencarian bakat menyanyi. Dan semenjak itu juga, karier mas Salman langsung meroket drastis bahkan hingga sekarang!” batin Mendung yang memang setengah sadar.
Tentu Mendung juga masih ingat, bahwa saat kepergok, sang bapak menguliti Salman dengan kata-kata yang sangat menyakitkan. Padahal sejak usia tiga tahun hingga dewasa, baik bapak maupun mamak Mendung yang memutuskan bercerai, sudah sibuk dengan keluarga baru masing-masing. Mereka menelantarkan Mendung bahkan ketika nenek Mendung yang sempat merawat Mendung, meninggal.Di usia Mendung yang belum genap lima belas tahun, Mendung tinggal sendiri di rumah sang nenek dan berupa gubuk reyot, sebelum akhirnya Mendung merantau ke Bandung, menjadi asisten rumah tangga.
Kehidupan Mendung yang rumit, terbiasa berjuang sendiri sejak lulus SMP dan itu bertepatan dengan kematian sang nenek, membuat Mendung menghargai siapa pun yang mendekatinya. Walau tentu saja, Mendung paham batasan dalam hubungan. Namun khusus dengan Salman, Mendung yang kala itu sudah terbiasa merantau ke Bandung, memiliki niatan untuk lanjut ke jenjang serius.
“Hei ... Ndung ...? Akhirnya kamu sadar!” Suara Salman terdengar lirih tepat di depan wajah Mendung. Kedua tangan Salman dengan penuh cinta kasih membelai wajah sekaligus rambut Mendung. Tak lama kemudian, kedua tangan Salman yang tak sekekar tiga puluh tahun lalu, memijat-mijat kepala maupun kedua pundak Mendung.
“Mimpi apa aku semalam, bisa-bisanya sekarang aku bertemu mas Salman, dan dia pun sampai merawatku?” batin Mendung, masih sulit percaya. Bibirnya terkunci rapat, padahal ada yang sangat ingin Mendung katakan kepada Salman. Iya, permintaan maaf. Karena selain ia tak bisa menepati janji mereka untuk menikah, kemudian selalu bersama hingga menua dan hanya maut yang mampu memisahkan mereka. Mendung juga belum sempat meminta maaf perkara sikap sang bapak yang dulu sangat kejam kepada Salman.
“Ndung ...?” lirih Salman yang perlahan kembali jongkok di hadapan Mendung. Kedua tangannya meraih kedua lutut maupun kedua tangan Mendung. Dengan kedua matanya yang bergetar sekaligus basah, ia menatap setiap inci wajah Mendung.
Tiba-tiba saja, di benak Salman dihiasi wajah Mendung muda. Wajah sangat cantik dan tetap menjadi wajah paling cantik, bahkan hingga detik ini. Sebenarnya, wajah Mendung muda dan yang sekarang sama saja. Yang membedakan hanyalah faktor usia. Karena bersama usia mereka yang terus menua, tanda-tanpa penuaan juga terpampang nyata di sana.
“Kenapa tidak mencariku?” lirih Salman yang membiarkan air matanya lolos membasahi pipi. Padahal ia tersenyum, tetapi air matanya tidak bisa berbohong.
“Dia bahkan masih bisa tersenyum. Dia masih memperlakukanku penuh ketulusan, padahal bapak sudah sangat melukainya. Bahkan aku yang meninggalkannya,” batin Mendung yang kemudian meminta maaf. “Aku benar-benar minta maaf.” Suara yang ia hasilkan benar-benar lirih.
“Pa ... Pa, Mama pingsan lagi, Pah!” Suara seorang wanita muda terdengar dari luar sana penuh kekhawatiran sekaligus ketakutan.
Senyum di wajah Salman seketika hilang detik itu juga. Salman mendadak tak bisa berkata-kata, hingga Mendung yang yakin itu bertanda kurang baik, sengaja menjaga jarak. Mendung melepaskan kedua tangannya dari genggaman tangan Salman.
“Kita sudah bukan kita yang dulu, Mas. Kita hanya masa lalu, sementara sekarang, kita sudah sama-sama berkeluarga,” lirih Mendung.
“Ini tidak seperti yang kamu pikirkan. Tetap di sini, aku pergi dulu!” Salman buru-buru pergi dengan tatapan beratnya yang kerap menoleh menatap Mendung.
Mendung sengaja menepisnya, kemudian beranjak sembari berpegangan asal ke sofa. Sebab sepertinya, efek terus bekerja, terlalu stres memikirkan Pelangi, tanpa disertai asupan sekaligus istirahat cukup, membuat kesehatannya tumbang lagi.
Sekali lagi, Salman melongok ke belakang, memastikan Mendung lagi, hingga suara wanita muda berteriak sembari menahan tangis memanggilnya, “papa...” kembali terdengar.
“Bisa-bisanya begini,” lirih Mendung bingung sendiri. Beberapa tamu meminta bantuannya untuk menyediakan tisu dan kantong sampah.
Dengan kesehatan yang makin ringkih, Mendung mengerjakan semuanya.
(Ramaikan ya. Yang punya In.ovel, drea.me, KBM, IG, yuk ikuti aku di sana juga ❤️)