Nada Azzahra, siswa baru di SMA Nusantara Mandiri, adalah gadis ceria yang mudah bergaul. Kepribadiannya yang ramah dan penuh semangat membuatnya cepat mendapatkan teman. Namun, kedatangannya di sekolah ini mempertemukannya dengan Bara Aryasatya, cowok tengil yang ternyata adalah "musuh bebuyutan"-nya semasa SMP.
Di masa SMP, Nada dan Bara bagaikan Tom & Jerry. Pertengkaran kecil hingga saling usil adalah bagian dari keseharian mereka. Kini, bertemu kembali di SMA, Bara tetap bersikap menyebalkan, hanya kepada Nada. Namun, yang tak pernah Nada sadari, di balik sikap tengilnya, Bara diam-diam menyimpan rasa cinta sejak lama.
Setiap hari ada saja momen lucu, penuh konflik, dan menguras emosi. Bara yang kikuk dalam mengungkapkan perasaannya terus membuat Nada salah sangka, mengira Bara membencinya.
Namun, seiring waktu, Nada mulai melihat sisi lain dari Bara. Apakah hubungan mereka akan tetap seperti Tom & Jerry, ataukah perasaan yang lama terpendam akan menyatukan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menjemput Nada
Pagi itu, Bara bangun lebih awal dari biasanya. Hari ini, Bara akan menjemput pujaan hatinya dengan mobil sport kesayangannya dan memastikan dalam kondisi prima, ia langsung menuju rumah Nada. Jam masih menunjukkan pukul 6 pagi, tapi ia sudah berdiri di depan rumah Nada dengan penuh semangat.
Bara mengetuk pintu beberapa kali, hingga pintu akhirnya dibuka oleh seorang wanita paruh baya yang ternyata adalah Bunda Nada.
“Selamat pagi, Tante,” sapa Bara dengan sopan, sambil memasang senyum terbaiknya.
Bunda Nada menatap Bara dengan sedikit heran sebelum tersenyum ramah. “Pagi, Nak. Siapa dan ada perlu apa ya pagi-pagi ke sini?”
“Saya Bara, Tante. Teman sekolahnya Nada. Kemaren saya dan Nada janjian untuk jemput dia ke sekolah,” jawab Bara dengan nada sopan namun antusias.
“Oh, jadi kamu Bara?” Bunda Nada tampak berpikir sejenak, lalu tersenyum lebih lebar. “Masuk dulu, Nak. Nada masih di atas, mungkin belum selesai siap-siap. Duduk saja di ruang tamu, ya.”
“Terima kasih, Tante,” jawab Bara sambil masuk ke ruang tamu.
Bara duduk di sofa ruang tamu yang nyaman, matanya mengamati suasana rumah Nada yang terasa hangat dan rapi. Ia mencoba menahan senyum ketika melihat beberapa foto keluarga Nada di dinding, termasuk foto Nada kecil yang tampak menggemaskan dengan rambut kuncir dua.
Di dapur, Bunda Nada kembali sibuk menyiapkan sarapan untuk keluarga. Sambil memasak, ia sempat melirik ke ruang tamu dan berkata, “Bara, kamu sudah sarapan belum? Kalau belum, Tante siapkan makanan juga buat kamu.”
“Oh, belum tante,” jawab Bara dengan cepat dan malu-malu.
Bunda Nada hanya tertawa kecil. “Kalau Nada sudah turun, kalian sarapan dulu saja sebelum berangkat. Biar nggak buru-buru.”
“Baik, Tante. Terima kasih,” jawab Bara, meski dalam hatinya ia merasa sedikit gugup.
Sementara itu, Nada baru saja selesai mandi dan kini sedang memilih baju di dalam lemarinya. Ia tidak tahu bahwa Bara sudah datang sejak tadi. Setelah mengenakan seragam sekolahnya, ia melirik jam di meja belajar.
“Masih pagi banget, masih ada waktu buat sarapan,” gumam Nada.
Ia mengambil tasnya dan turun ke bawah. Ketika menuruni tangga, ia berhenti sejenak saat melihat Bara duduk santai di ruang tamunya.
“Bara?” Nada mengerutkan kening, terkejut melihat cowok itu di rumahnya. “Kok lo udah di sini? Jam segini kan masih pagi banget!”
Bara menoleh, tersenyum lebar. “Gue takut telat jemput lo. Jadi gue dateng lebih awal.”
Nada mendesah pelan, lalu berjalan menghampiri Bara. “Lo serius banget, Bar. Gue aja baru selesai nih.”
Bara hanya tertawa kecil. “Nggak masalah. Gue tunggu, kok. Tenang aja.”
Bunda Nada keluar dari dapur dengan membawa piring-piring berisi makanan. “Nah, Nada, kamu makan dulu sama Bara sebelum berangkat. Tante udah siapin sarapan.”
Nada menatap ibunya dan menganggukan kepalanya. “Oke, Ayo Bara. Gue yakin, Lo belum sarapan kan?”
Bara merasa sedikit canggung, tapi ia tidak ingin menolak kebaikan Bunda Nada. Akhirnya, ia ikut duduk di meja makan bersama Nada.
Tak lama kemudian, terdengar suara langkah kaki dari arah pintu belakang. Ayah Nada baru saja pulang dari jogging pagi.
“Wah, ada tamu ya pagi-pagi?” sapa Ayah Nada sambil tersenyum ramah, menaruh handuk kecil di bahunya.
Nada menoleh dan menjawab santai, “Iya, Yah. Ini Bara, teman sekolahku. Mobilku masih di bengkel, jadi dia kemaren nawarin jemput Nada ke sekolah.”
Bara segera berdiri dari kursinya, membungkuk sopan.
Selamat pagi, Om. Saya Bara. Terima kasih sudah mengizinkan saya masuk.”
Ayah Nada tertawa kecil. “Santai saja, Bara. Duduk, ayo makan dulu. Om juga belum sarapan.”
Bara kembali duduk, merasa lebih rileks dengan sambutan ramah keluarga Nada.
Di tengah suasana santai itu, Ayah Nada tiba-tiba bertanya, “Bara, Om boleh tahu, kamu ini anaknya siapa ya?”
Bara terdiam sejenak, bingung dengan pertanyaan itu. Namun ia menjawab dengan tenang, “Papa saya namanya Bambang Aryasatya, Om. Kenapa ya?”
Mata Ayah Nada langsung berbinar. “Bambang Aryasatya? Jadi kamu beneran anaknya Arya dan Maya?”
Bara mengangguk pelan. “Iya, Om. Memangnya Om kenal sama papa dan mama Bara?”
Ayah Nada tersenyum lebar. “Tentu saja kenal! Mereka itu teman kuliah Om dulu. Wah, nggak nyangka, sekarang malah ketemu anak mereka. Wajahmu mirip banget sama Arya waktu muda.”
“Sebelum Om pindah beberapa tahun yang lalu, Om sempat bertemu dengan papa mu. Waktu itu dia bahkan sempat menunjukkan foto kamu yang masih ketika SMP. Ternyata sekarang sudah tumbuh besar dan lebih tampan. Makanya dari tadi Om ini mengingat-ingat pernah ketemu dimana sama kamu.” ucap Ayah Nada menjelaskan.
Bara hanya menggaruk kepalanya yang tidak gatal, merasa sedikit canggung tapi juga senang mendengar cerita itu.
Sarapan pun dilanjutkan dengan suasana yang semakin akrab. Ayah Nada menceritakan beberapa kenangan masa mudanya bersama Arya dan Maya, sementara Bunda Nada sesekali menimpali cerita suaminya.
Bara merasa lebih nyaman, dan Nada pun mulai merasa bahwa kehadiran Bara di rumahnya pagi itu tidak seburuk yang ia bayangkan. Setelah selesai sarapan, Bara dan Nada berpamitan berangkat ke sekolah.
Di perjalanan, Bara masih terlihat memikirkan cerita tadi. “Gue nggak nyangka, Nad. Bokap gue sama bokap lo ternyata kenal.”
Nada hanya tersenyum kecil. “Ya, begitulah hidup, Bar.”
Mereka terus mengobrol ringan sambil Bara yang usil kepada Nada hingga mereka hampir sampai ke Sekolahnya.
Mobil sport milik Bara meluncur mulus ke area parkir sekolah. Suaranya yang khas menarik perhatian siswa-siswi yang baru tiba. Banyak yang berhenti di tempat, terpana melihat kendaraan mewah itu.
“Wah, mobil Bara balik lagi!” bisik seorang siswa dengan nada penuh kekaguman.
“Gila, mobil itu kan udah lama nggak kelihatan,” tambah yang lain, memandangi mobil sport berwarna hitam mengilap yang mencuri perhatian semua orang di sekitar.
Nada hendak keluar dari mobil, namun segera di tarik oleh Bara.
Bara hanya tersenyum kecil, mengangkat tangannya untuk menenangkan Nada sebelum gadis ini marah. “Sabar dulu. Lo jangan turun sebelum gue bilang, oke?”
Nada mengernyit bingung. “Kenapa emangnya?”
Namun Bara tidak menjawab, ia hanya membuka pintu mobilnya dan turun dengan percaya diri.
"Lah, bukannya menjawab, malah turun sendiri nih anak," ucap Nada dengan kesal.
Saat Bara berjalan memutar ke sisi penumpang, tatapan siswa-siswi semakin tertuju padanya. Banyak yang terheran-heran, bertanya-tanya apa yang sedang terjadi.
“Bar... ngapain sih lo?” Nada bergumam pelan di dalam mobil, melihat Bara yang sedang diluar dari tadi.
Bara sampai di pintu penumpang dan membuka pintunya perlahan, lalu mengulurkan tangannya ke arah Nada.
“Nona, silakan turun,” ucap Bara dengan nada santai, tapi cukup keras untuk didengar oleh beberapa siswa di sekitar.
Nada terkejut, matanya melebar, dan refleks menutup mulutnya dengan tangan. “Bara... lo ngapain?” bisiknya, malu.
“Ayo turun. Jangan bikin gue berdiri di sini lama-lama,” Bara menjawab sambil tersenyum penuh percaya diri.
Nada akhirnya meraih tangan Bara dan keluar dari mobil, "Lo ini apa-apaan Bara, Gue malu tau." bisik nya pada Bara.
“Wah, seriusan? Bara bukain pintu buat Nada?” bisik seorang siswi dengan nada iri.
“Gila, udah ganteng, kaya, gentleman pula,” sahut temannya yang lain.
"Apakah mereka sedang pacaran?" tanya teman yang lain.
"Eh gak mungkin, kan ada Ayden!" ucap temannya.
"Lo belum tau kah? Ayden itu sama Nada sepupuan!" ujar yang lain.
"Benarkah?" tanya nya.
"He em." jawab semua temannya yang tau, beberapa hanya menganggukkan kepalanya.
Sementara itu, beberapa siswa laki-laki hanya geleng-geleng kepala, merasa kalah jauh romantis dari Bara.
Nada berjalan cepat, berharap bisa segera masuk kelas dan menghindari tatapan semua orang. Tapi Bara malah dengan santai berjalan di sebelahnya, memegang tasnya seperti pengawal pribadi.
“Bar, lo tuh lebay banget. Gue malu, tahu,” bisik Nada, mencoba melepaskan tangannya.
Bara hanya terkekeh. “Biarlah. Biar mereka semua tahu, nggak ada yang bisa sembarangan gangguin lo kalau gue ada di dekat lo.”
Nada hanya menghela napas panjang, merasa Bara semakin sulit dimengerti.
Di dalam kelas, Nada dan Bara sudah duduk di tempat masing-masing. Aldo, Dimas, dan Rio yang sudah tiba lebih dulu menyapa mereka dengan santai. Suasana kelas masih terasa tenang, hingga tiba-tiba Ayden masuk dengan napas terengah-engah.
“Nada! Nada!” Ayden memanggil sepupunya dengan suara cukup keras, membuat beberapa siswa di kelas menoleh.
Nada mengernyit. “Kenapa, Ay? Napas dulu, napa?”
Ayden menarik napas panjang sambil berdiri di depan meja Nada. “Lo tahu nggak, Lo dan Bara tuh lagi jadi bahan omongan satu sekolah!”
Rio, Dimas, dan Aldo yang duduk di dekatnya langsung memasang ekspresi penasaran. “Emangnya kenapa?” tanya Rio sambil menyenderkan dagunya ke tangan.
Ayden menggerakkan tangannya heboh, “Itu... tadi waktu gue jalan ke sini, semua orang ngomongin...”
Namun, sebelum Ayden bisa melanjutkan, suara teriakan dari luar kelas memotong ucapannya.
“Nadaaaa! Nadaaaaaa!”
Jessica dan Gisel muncul di pintu kelas dengan suara lantang, membuat semua siswa di kelas langsung menutup telinga mereka.
“Ya ampun, bisa nggak sih kalian pelan-pelan kalau teriak?” protes Dimas sambil menggeleng kesal.
Jessica dan Gisel masuk ke kelas dengan penuh semangat, langsung menuju meja Nada. Wajah mereka penuh antusiasme, seolah membawa berita besar yang tidak bisa ditunda.
“Nada, lo nggak tahu ya? Satu sekolah itu lagi ngegosipin lo sama Bara!” ujar Gisel dengan nada yang hampir seperti berteriak.
Nada menatap keduanya dengan alis terangkat. “Gak tau!”
Jessica menyenggol bahu Nada dengan senyum penuh arti. “Gosip tentang Bara jemput lo pagi-pagi tadi pakai mobil sport! Terus lo dibukain pintu segala macam. Mereka bilang lo sama Bara tuh kayak pasangan drama Korea!”
Nada langsung menatap Bara dengan kesal, “Aduh, gara-gara Lo nih, Bar.”
Ayden yang tadinya terengah-engah langsung mengangguk setuju. “Nah, itu yang mau gue bilang tadi! Lo tuh udah kayak selebriti sekolah sekarang. Semua orang ngomongin sikap Bara ke lo. Emangnya biasanya Bara seperti apa di Sekolah?” tanya nya, pasalnya ia hanya tau bara menyenangkan, Ayden kan baru beberapa Minggu jadi anak baru.
"Kulkas dua pintu," ucap Rio, Dimas, Jessica dan Gisel bersamaan, lalu mereka bersamaan tertawa. Sedangkan yang lain hanya menganga mendengar ucapan mereka berempat.
Sedangkan Bara, segera memukul lengan Rio dan Dimas karena sebal.
Sedangkan Aldo yang selama ini memendam perasaan pada Nada tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Ia hanya bisa duduk diam di bangkunya, mencoba menyembunyikan rasa kesal yang mulai muncul.
Rio yang duduk di sebelah Aldo menepuk pundaknya. “Bro, lo kelihatan banget lagi bete. Gara-gara Bara, ya?” tanya Rio sambil menyeringai.
Aldo berusaha memasang ekspresi biasa. “Gue? Bete? Nggak lah. Biasa aja,” jawabnya sambil pura-pura sibuk membuka buku catatan.
Namun, Rio tidak menyerah. “Udah, ngaku aja, Do. Lo kan juga suka sama Nada. Sekarang Bara udah melangkahi lo?”
Aldo mendesah pelan, lalu menatap Rio. “Gue nggak tahu, bro. Tapi kalau Bara emang serius sama Nada, gue nggak bisa apa-apa. Gue cuma mau Nada bahagia.”
Rio tertawa kecil. “Ih, jawaban lo tuh kayak di sinetron. Lo nggak mau coba lawan Bara?”
Aldo menggeleng pelan. “Enggak tau, Rio, sebenarnya gue mau. Tapi, mungkin gue rasa Nada juga nggak suka kalau gue tiba-tiba berubah jadi posesif atau apa. Gue cuma akan tetap jadi teman baik buat dia.”
"Kok Lo mundur sebelum berperang, Do," ucap Rio heran.
Aldo hanya mengangkat kedua bahunya saja, dan Rio seketika terdiam tidak bertanya lebih lanjut.
“Jadi....” Dimas mulai berbicara sambil menatap Bara dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. "Kalian pacaran, ya?" tanya Dimas dengan nada menggoda,
Bara tanpa ragu menjawab, "Iya."
Sementara itu, Nada langsung memotong, "Enggak!"
Seluruh teman-temannya yang mendengar jawaban bertolak belakang itu langsung bingung. Mereka saling bertukar pandangan, mencoba mencari tahu mana yang benar.
Jessica menatap Nada dan Bara bergantian. "Jadi yang mana yang benar? Pacaran atau enggak?"
Nada melotot ke arah Bara sambil memukul lengannya. "Jawab yang benar, Bara! Jangan ngawur!"
Bara memasang ekspresi pura-pura kesakitan sambil memegang lengannya. "Aduh, sakit, ay..."
Nada yang bingung langsung menatap Bara dengan tajam. "Ay? Ay itu siapa? lo manggil Ayden?"
Bara yang panik langsung menggeleng cepat. "Enggak, enggak! Ayank maksud gue!"
Jessica, Dimas, dan yang lainnya semakin tertawa melihat Bara kebingungan. "Terus, yang mana yang benar, nih?" desak Dimas.
Bara akhirnya menghela napas, memasang wajah serius, dan berkata dengan percaya diri, "Yang benar itu... kita belum pacaran. Tapi—"
Belum sempat Bara melanjutkan, Nada langsung menutup mulut Bara dengan tangan. "Hush! Jangan ngomong macem-macem! Intinya, kita belum pacaran. Titik!"
Dimas menyeringai jahil. "Oh, belum pacaran. Jadi artinya masih ada peluang buat yang lain, ya?"
Nada menghela napas panjang, memutar matanya, sementara Bara langsung menatap Dimas dengan tajam dan berbisik "Gue udah nyatain perasaan ke Nada, dan gue masih ngejar dia, gue nggak akan nyerah sampai dia bilang 'iya.'"
Nada langsung menunduk, wajahnya mulai memerah karena malu. "Udah, udah, jangan bahas itu lagi!" katanya, mencoba mengalihkan pembicaraan.
Tawa teman-temannya pun semakin riuh. Sementara itu, Bara hanya tersenyum puas.
Saat bel istirahat berbunyi, Aldo melihat Bara dan Nada keluar kelas bersama. Bara tampak begitu santai menggoda Nada, sementara Nada terkadang tertawa kecil atau memasang wajah sebal. Aldo hanya bisa melihat dari jauh dengan perasaan campur aduk.
Jessica dan Gisel, yang juga memperhatikan Aldo, mereka tau jika Aldo memiliki perasaan suka kepada Nada. Jessika dan Gisel menghampirinya.
“Aldo, kok lo diem aja sih? Kalau gue jadi lo, gue udah ngajak Nada ngobrol atau jalan duluan sebelum Bara sempat gerak,” kata Gisel dengan nada setengah menggoda.
Aldo kaget. “Hah?kalian tau?”
Jessika dan Gisel saling pandang dan tertawa. "ya jelas tau, dari muka Lo keliatan. Hem mungkin Nada aja yang kurang peka," ucap Gisel kemudian.
Aldo mendesah panjang, "Gisel, gue nggak mau bikin ribut. Gue nggak kayak Bara yang langsung gerak tanpa pikir panjang.”
Jessica mengangguk, mencoba memahami perasaan Aldo. “Tapi Do. Lo gak mau mencoba? Kalau lo nggak ambil langkah, ya Bara bakal terus maju. Lo nggak takut nyesel nanti?”
Aldo tidak menjawab. Dalam hatinya, ia tahu Jessica ada benarnya, tapi ia juga tidak ingin merusak hubungan dengan Nada hanya karena perasaannya sendiri.
Malam harinya, di rumah, Aldo merenungkan semuanya. Ia tahu bahwa ia menyukai Nada, tapi selama ini ia terlalu pasif. Bara, meskipun kadang terlihat usil, setidaknya berani menunjukkan perasaannya.
“Kalau gue terus begini, gue nggak akan pernah tahu apa Nada punya perasaan yang sama atau nggak,” pikir Aldo.
Di tengah perasaan galau itu, Aldo memutuskan bahwa ia harus melakukan sesuatu. Ia tidak ingin hanya menjadi penonton dalam cerita ini. Bagaimanapun juga, ia ingin Nada tahu tentang perasaannya, meskipun hasilnya belum tentu seperti yang ia harapkan.
“Besok, gue bakal ngomong sama Nada. Apa pun yang terjadi, setidaknya gue udah jujur sama diri gue sendiri,” gumam Aldo sambil menatap langit-langit kamarnya.