Leo XII, Raja Kejahatan Dunia, adalah sosok yang ditakuti oleh banyak orang, seorang penguasa yang mengukir kekuasaan dengan darah dan teror. Namun, ironisnya, kematiannya sama sekali tidak sesuai dengan keagungan namanya. Baginya, itu adalah akhir yang memalukan.
Mati karena murka para dewa? Sungguh lelucon tragis, namun itulah yang terjadi. Dalam detik-detik terakhirnya, dengan sisa kekuatannya, Leo XII berusaha melawan takdir. Usahanya memang berhasil—ia selamat dari kematian absolut. Tapi harga yang harus dibayarnya mahal: Leo XII tetap mati, dalam arti tertentu.
Kini ia terlahir kembali sebagai Leon Dominique, dengan tubuh baru dan kehidupan baru. Tapi apakah jiwa sang Raja Kejahatan akan berubah? Akankah Leon Dominique menjadi sosok yang lebih baik, atau malah menjelma menjadi ancaman yang lebih mengerikan?
Satu hal yang pasti, kisahnya baru saja dimulai kembali!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Merena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hari Pertama
Keesokan harinya, Leon dan Fiona tiba di Colosseum, tempat yang dipenuhi oleh hiruk-pikuk penonton dan peserta. Leon memandangi bangunan megah itu dengan senyum tipis. Arena yang luas di tengahnya dipagari oleh tribun penonton yang menjulang, mampu menampung hingga ratusan ribu orang. Suasananya penuh dengan energi dan kegembiraan, seakan udara itu sendiri menggema dengan semangat para pengunjung.
Leon dan Fiona duduk di kursi penonton bersama para peserta lainnya. Meski mereka tampak tenang, perhatian mereka tertuju pada pusat arena, tempat seorang pria mengenakan jas elegan melangkah dengan percaya diri.
Pria itu berhenti di tengah arena, lalu mengangkat suaranya yang lantang dan jelas, mampu menjangkau seluruh penjuru Colosseum.
"Para peserta dan hadirin sekalian, selamat datang di hari yang telah kita nanti-nantikan—pembukaan resmi Eternal Colosseum tahun ini!" serunya, membuat penonton bersorak riuh. "Sebagai bentuk penghormatan kepada Yang Mulia Leo XIII, sebuah turnamen resmi akan diadakan! Sebuah momen bersejarah yang akan menguji kekuatan dan keberanian kalian."
Sorak-sorai semakin membahana, semangat yang membakar para peserta dan penonton. Pria berjas itu melanjutkan, "Namun, mengingat jumlah peserta yang sangat banyak, kami tidak mungkin mengadakan pertandingan satu per satu. Oleh karena itu, atas persetujuan Yang Mulia Leo XIII, hari pertama turnamen ini akan dimulai dengan Battle Royale!"
Kegaduhan di Colosseum seketika melonjak, tepuk tangan dan sorakan menggetarkan seluruh bangunan.
"Battle Royale ini akan dibagi menjadi 8 grup, dengan masing-masing grup berisi sekitar 200 peserta," jelasnya. "Kalian akan bertarung selama 60 menit penuh, dan hanya dua orang yang bertahan di setiap grup yang akan maju ke babak selanjutnya, yaitu babak 16 besar. Di sanalah hiburan sejati akan dimulai!"
Suara riuh membahana lagi, seakan-akan seluruh Colosseum menyatu dalam satu energi yang sama.
Pria itu menutup pengumumannya, "Silakan periksa kartu peserta kalian untuk mengetahui grup kalian. Grup pertama akan dimulai dalam lima menit, jadi persiapkan diri kalian. Selamat bertarung, dan semoga keberuntungan selalu berpihak pada kalian!" Setelah itu, ia membungkuk sedikit dan meninggalkan arena dengan elegan.
Leon mengangkat kartu peserta miliknya, membaca tulisan di atasnya dengan tenang. "Grup 3," gumamnya, lalu melirik Fiona. "Bagaimana denganmu?"
Fiona menunjukkan kartu miliknya, tersenyum tipis. "Grup 2. Kita tidak terlalu jauh, setidaknya."
Leon mengangguk. "Bagaimana kalau kita menonton grup pertama dulu? Kita bisa menilai kekuatan para peserta lainnya."
Fiona tersenyum, menyetujuinya. "Ide bagus. Akan menarik untuk melihat standar mereka."
Mereka berdua pun memutuskan untuk tetap di kursi penonton, memperhatikan bagaimana pertandingan grup pertama akan berlangsung. Mata Leon bersinar tajam, sementara Fiona bersandar dengan santai. Meski tampak tenang, keduanya tidak sabar untuk menyaksikan kegilaan yang akan segera dimulai.
Para peserta grup pertama mulai menaiki arena yang luas, jumlah mereka sesuai dugaan—sekitar 200 orang, mungkin lebih. Meski dipenuhi sebanyak itu, ukuran arena yang kolosal tetap memberikan ruang yang cukup bagi semua orang. Suasana menjadi tegang, dengan tatapan tajam yang saling bertukar antara para peserta.
Seorang pria berjas hitam, yang tampak seperti wasit, berdiri di tepi arena. Ia menatap para peserta dengan tatapan tajam penuh wibawa sebelum akhirnya berbicara.
"Aturannya sederhana," katanya, suaranya menggema di seluruh Colosseum. "Ini adalah Eternal Colosseum, di mana hidup dan mati kalian dipertaruhkan. Kematian berarti kalah. Jika kalian memilih melompat keluar dari arena, itu juga dianggap menyerah dan eliminasi. Bertarunglah hingga hanya dua orang terakhir yang bertahan di atas arena."
Setelah memberikan waktu sejenak agar aturan tersebut dipahami, pria itu mengangkat tangannya tinggi-tinggi, lalu mengayunkannya ke bawah dengan tegas. "Kalau begitu, mulai!"
Sorakan penonton meledak seketika, menandai dimulainya pertarungan. Arena berubah menjadi medan pertempuran brutal. Darah mulai terciprat, dan mayat-mayat bergelimpangan di sana-sini, tak tersentuh karena pertarungan terus berlangsung tanpa henti.
Leon memperhatikan jalannya pertempuran dengan ekspresi tenang. "Menarik," gumamnya. "Tapi sepertinya jumlah pengguna Aura di sini tidak banyak."
Fiona, yang duduk di sebelahnya, mengangguk setuju. "Itu wajar. Membangkitkan Aura bukanlah hal mudah, hanya sedikit orang yang berhasil melakukannya. Sebagian besar dari mereka biasanya sudah berada di level yang berbeda." jelasnya.
Waktu terus berjalan, dan arena semakin berlumuran darah. Mayat-mayat berserakan seperti daun kering, menjadi saksi kebrutalan pertandingan ini. Setelah 50 menit, hanya sepuluh peserta yang masih berdiri di atas arena.
Mereka yang tersisa menunjukkan ekspresi berbeda—ada yang terlihat kelelahan, ada juga yang tetap berdiri tegap dengan senyum percaya diri. Salah satu dari mereka, seorang pria tua dengan tubuh bungkuk namun aura mengintimidasi, tersenyum tipis.
"Anak-anak muda," ucapnya dengan nada santai, "sebaiknya kalian menyerah. Melawanku hanya akan membawa kalian ke kematian."
Salah satu peserta muda, yang merasa diremehkan, melompat maju dengan amarah. "Apa katamu, Pak Tua? Kau terlalu sombong! Biar ku tunjukkan siapa yang akan mati!"
Namun, sebelum pria muda itu berhasil mencapai pria tua tersebut, tubuhnya tiba-tiba terbakar hebat. Dalam hitungan detik, ia berubah menjadi abu tanpa meninggalkan jejak.
Pak tua itu menatap sisa-sisa api yang membakar lawannya dengan ekspresi penuh simpati palsu. "Sayang sekali. Sudah kubilang, anak muda... sekarang bahkan keluargamu tak bisa melihat jasadmu," katanya dengan nada seolah iba, meski senyum lebarnya memperlihatkan betapa ia menikmati momen itu.
Melihat kejadian itu, dua peserta lain—yang tampaknya masih muda dan kurang pengalaman—memutuskan untuk melompat keluar arena. Wajah mereka penuh ketakutan, nyawa lebih penting daripada ambisi.
Pak tua itu mengarahkan pandangannya ke sisa enam peserta lainnya. "Jadi, siapa lagi yang mau mencoba? Aku cukup murah hati untuk memberikan kalian kesempatan menyerah."
Namun, seorang pria besar dengan tubuh seperti raksasa, setinggi hampir tiga meter, maju dengan percaya diri. Tubuhnya penuh otot seperti bukit bergerak, dan aura kuat memancar dari dirinya.
"Pak tua, kau memang pengguna Aura. Orang biasa mungkin tak bisa melawanmu, tapi aku juga pengguna Aura. Mari kita lihat siapa yang lebih kuat!" Pria besar itu menghantam tanah dengan tinjunya, menciptakan kawah besar di arena.
Pak tua itu melompat mundur dengan lincah, meski tubuhnya bungkuk. Ia tersenyum penuh ejekan. "Begitu bersemangat, Anak Muda. Tapi bukankah kau lupa sesuatu?"
Sebelum pria besar itu sempat menjawab, tiga peserta lain tiba-tiba mengepungnya. Mereka menyerang tanpa ampun, dan dalam hitungan detik tubuh besar itu tercincang habis.
Akhirnya, waktu 60 menit pun habis. Dari ratusan peserta, hanya dua orang yang tersisa berdiri di atas arena.
Salah satunya adalah pak tua tadi, yang masih tersenyum tenang dengan aura misterius mengelilinginya. Di hadapannya berdiri seorang pria muda dengan postur ramping, wajahnya memancarkan ketenangan yang sama sekali tidak sesuai dengan situasi brutal yang baru saja berlalu.