Di sebuah negeri yang dilupakan waktu, seorang jenderal perang legendaris bernama Kaelan dikutuk untuk tidur abadi di bawah reruntuhan kerajaannya. Kutukan itu adalah hukuman atas dosa-dosa yang dilakukannya selama perang berdarah yang menghancurkan negeri tersebut. Hanya seorang gadis dengan hati yang murni dan jiwa yang tak ternoda yang dapat membangkitkannya, tetapi kebangkitannya membawa konsekuensi yang belum pernah terbayangkan.
Rhea, seorang gadis desa yang sederhana, hidup tenang di pinggiran hutan hingga ia menemukan sebuah gua misterius saat mencari obat-obatan herbal. Tanpa sengaja, ia membangunkan roh Kaelan dengan darahnya yang murni.
Di antara mereka terjalin hubungan kompleks—antara rasa takut, rasa bersalah, dan ketertarikan yang tak bisa dijelaskan. Rhea harus memutuskan apakah ia akan membantu atau tidak.
"Dalam perjuangan antara dosa dan penebusan, mungkinkah cinta menjadi penyelamat atau justru penghancur segalanya?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wati Atmaja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kebangkitan Rivendale
Sore itu, hujan mulai mereda, menyisakan gerimis tipis yang membasahi jalanan berbatu Rivendale. Langit kelabu dipenuhi semburat warna oranye samar ketika matahari mencoba menembus awan tebal di barat. Suara rintik hujan bercampur dengan aroma tanah basah, menciptakan suasana tenang, meskipun istana Rivendale tetap dirundung bayang-bayang kehancuran.
Di sebuah kamar yang diterangi cahaya perapian, Kaelan membuka matanya perlahan. Rasa kantuk masih membebani pikirannya, tetapi kehangatan tubuh yang ia peluk membuatnya sadar akan keberadaan Rea di sisinya. Gadis itu tertidur pulas di pelukannya, wajahnya tampak damai meskipun tubuhnya masih lemah setelah sakit yang dideritanya beberapa hari terakhir.
Kaelan merapatkan selimut yang melapisi tubuh mereka, memastikan Rea tetap hangat di tengah udara dingin yang masuk dari celah-celah jendela kamar. Wajahnya melembut saat ia menatap Rea, perasaan tak terjelaskan menyeruak dalam dadanya. Ia jarang membiarkan dirinya menunjukkan kelembutan seperti ini, tetapi Rea berbeda. Gadis itu telah membuktikan keberanian dan ketangguhannya, sesuatu yang diam-diam ia kagumi.
“Kau keras kepala,” gumamnya lirih sambil menyentuh rambut Rea dengan lembut. "Tapi itu membuatmu luar biasa."
Rea bergerak sedikit dalam tidurnya, tetapi tidak terbangun. Kaelan menatapnya sejenak, lalu memejamkan mata kembali. Pelukan itu, meskipun sederhana, memberikan rasa tenang yang jarang ia rasakan di tengah kekacauan hidupnya.
Malam perlahan menyelimuti Rivendale. Di luar, hujan telah benar-benar reda, menyisakan genangan air di jalanan kota yang hancur akibat perang. Udara dingin menyusup masuk melalui celah jendela-jendela besar istana, memaksa para pelayan menyalakan lebih banyak perapian untuk menghangatkan ruangan.
Kaelan akhirnya bangun dari tempat tidur. Ia memastikan Rea masih terlelap sebelum perlahan turun dari ranjang. Ia mengambil mantel panjang dari gantungan dekat pintu, mengenakannya dengan gerakan hati-hati agar tidak membuat suara yang bisa membangunkan Rea. Setelah memeriksa sekali lagi, ia melangkah keluar dari kamar.
Langkahnya membawa Kaelan ke koridor panjang yang sunyi. Bau tanah basah yang terbawa angin malam memenuhi udara, membuat suasana istana terasa lebih hidup meski sepi. Dari kejauhan, ia melihat siluet Lord Adric berdiri di dekat jendela besar aula timur, memandang keluar dengan ekspresi serius.
"Kaelan," panggil Lord Adric tanpa menoleh ketika mendengar langkahnya mendekat.
Kaelan berhenti beberapa langkah darinya. "Anda belum tidur, Lord Adric?"
"Tidak," jawab Lord Adric singkat. "Terlalu banyak yang harus kupikirkan."
Kaelan mendekat, berdiri di sampingnya. "Anda memikirkan Rivendale, atau sesuatu yang lain?"
Lord Adric tersenyum tipis, akhirnya menoleh ke arah Kaelan. "Aku memikirkan semuanya. Rivendale, para bangsawan, masa depan kota ini. Tapi aku juga memikirkanmu."
Kaelan mengangkat alis, tidak menyangka. "Apa maksud Anda?"
"Rea," jawab Lord Adric singkat, membuat Kaelan terdiam. "Kau peduli padanya, bukan?"
Kaelan mencoba menyembunyikan keterkejutannya. Ia mengalihkan pandangan ke luar jendela, menatap genangan air di jalanan kota. "Aku hanya ingin melindunginya. Itu saja."
Lord Adric menepuk bahunya perlahan. "Melindungi itu baik, Kaelan. Tapi kau tahu bahwa ada sesuatu yang lebih besar dari itu. Perasaanmu terhadapnya—kau tidak perlu menyangkalnya."
Kaelan menarik napas panjang, rahangnya mengeras. "Mungkin. Tapi ini bukan waktu yang tepat untuk memikirkan hal seperti itu. Rivendale sedang di ambang kehancuran."
"Cinta tidak pernah memilih waktu," kata Lord Adric bijak. "Bahkan di tengah kehancuran, cinta bisa menjadi kekuatan yang luar biasa."
Kaelan tidak menjawab. Ia hanya mengangguk pelan, menahan gelombang emosi yang mencoba menerobos temboknya.
Malam semakin larut, tetapi ruang pertemuan di bagian timur istana tetap ramai. Para bangsawan Rivendale telah berkumpul, duduk melingkar di sekitar meja kayu besar. Cahaya lilin yang menerangi ruangan menciptakan bayangan samar di dinding batu.
Lord Adric berdiri di ujung meja, ditemani Kaelan di sisi kanannya dan Lady Seraphine di sisi kiri. Mereka memimpin diskusi penting tentang rencana membangun kembali Rivendale.
"Rivendale pernah menjadi kota yang kuat," buka Lord Adric, suaranya penuh wibawa. "Namun, kehancuran ini menunjukkan kelemahan kita. Jika kita ingin bangkit, kita perlu merencanakan pembangunan kembali yang tidak hanya fokus pada infrastruktur, tetapi juga pertahanan dan pendidikan."
Seorang bangsawan tua, Duke Alaric, mengangguk pelan. "Apa yang Anda usulkan, Lord Adric?"
"Kita mulai dengan membangun benteng baru yang lebih kokoh," jelas Lord Adric. "Benteng ini akan melindungi pusat kota. Selain itu, kita akan mendirikan menara penjaga di empat sudut kota untuk memantau pergerakan musuh. Tahap kedua adalah menggali sungai buatan yang mengelilingi benteng, untuk meningkatkan pertahanan alami sekaligus mendukung irigasi dan transportasi."
Kaelan menambahkan, "Pembangunan ini akan dilakukan dalam tiga tahap:
Tahap Pertama (3 bulan ke depan):
Pembangunan benteng utama menggunakan batu granit dari tambang utara. Pendirian menara penjaga di empat titik strategis.
Tahap Kedua (6 bulan setelah tahap pertama selesai):
Penggalian sungai buatan yang mengelilingi benteng. Pembangunan jembatan kayu yang bisa diangkat.
Tahap Ketiga (Setahun setelah tahap kedua selesai):
Perbaikan akhir pada dinding benteng. Pembangunan sekolah untuk anak-anak Rivendale, baik dari kalangan bangsawan maupun rakyat biasa."
Count Edwin, bangsawan muda yang terkenal skeptis, menyela. "Pembangunan sungai buatan? Itu ide yang bagus, tetapi membutuhkan banyak tenaga kerja. Apa kita punya sumber daya untuk melakukannya?"
Lady Seraphine menjawab dengan tenang, "Kami akan memberdayakan petani dan pengrajin lokal. Mereka akan dibayar untuk kontribusinya, sehingga mereka mendapatkan penghasilan, dan kita mendapatkan tenaga yang kita butuhkan."
Duke Alaric mengangguk setuju. "Dan pendidikan? Apa benar sekolah ini akan setara untuk bangsawan dan rakyat biasa?"
Lord Adric menjawab dengan tegas, "Ya. Anak-anak dari semua lapisan akan diajarkan kurikulum yang sama. Tetapi, untuk melindungi anak-anak rakyat biasa dari potensi diskriminasi, sekolah akan dipisahkan secara fisik."
Para bangsawan saling bertukar pandang, beberapa mengangguk setuju. Akhirnya, mereka semua mencapai kesepakatan. Pembangunan Rivendale akan dimulai segera, dengan komitmen penuh dari semua pihak.
Diskusi malam itu berakhir dengan tekad yang bulat. Ketika para bangsawan meninggalkan ruang pertemuan, Kaelan kembali ke kamar Rea. Ia menemukan gadis itu masih tertidur, wajahnya terlihat lebih segar. Dengan hati-hati, Kaelan naik ke tempat tidur dan memeluk Rea kembali, membiarkan kehangatan tubuhnya melindungi gadis itu dari udara dingin malam.
"Besok, semuanya akan lebih baik," bisiknya pelan, seolah-olah berjanji pada dirinya sendiri dan Rea.
Di luar, langit yang gelap perlahan menunjukkan tanda-tanda terang bulan, seakan-akan memberikan harapan baru untuk Rivendale yang sedang bangkit dari kehancuran.
Pagi di Rivendale dimulai dengan sinar matahari yang perlahan menyelinap masuk melalui celah tirai jendela. Burung-burung mulai berkicau, membawa suasana segar setelah hujan semalam. Di dalam kamar yang hangat, Rea mulai menggeliat di bawah selimut tebal.
Ia membuka matanya perlahan, butuh beberapa saat untuk menyesuaikan diri dengan cahaya yang masuk. Di sampingnya, Kaelan sudah bangun lebih dulu, duduk di tepi tempat tidur sambil menatapnya dengan senyum tipis.
“Kau akhirnya bangun,” ujar Kaelan lembut, suaranya terdengar lega. “Bagaimana perasaanmu?”
Rea menggosok matanya dan mencoba duduk. Tubuhnya masih sedikit lemah, tetapi jauh lebih baik dibandingkan hari sebelumnya. “Aku merasa lebih baik. Terima kasih.”
Kaelan mengangguk puas. “Bagus. Aku akan membawakan sesuatu untukmu. Kau harus makan.”
Rea menatapnya, sedikit terkejut. “Kau sendiri yang akan membawakannya?”
“Siapa lagi? Kau pikir aku akan membiarkan pelayan membawa makanan yang mungkin tidak kau suka?” jawab Kaelan, setengah bercanda.
Rea tersenyum kecil. “Baiklah. Tapi jangan terlalu lama.”
Kaelan berdiri dari tempat tidur dan mengenakan mantelnya. “Aku akan kembali sebelum kau sempat merindukanku.” Ia menatap Rea sekali lagi sebelum keluar dari kamar, langkahnya terdengar ringan.
semangat terus yaa berkarya
oh iya jangan lupa dukung karya aku di novel istri kecil tuan mafia yaa makasih