Btari harus menjalani pernikahan kontrak setelah ia menyetujui kerja sama dengan Albarra Raditya Nugraha, musuhnya semasa SMA. Albarra membutuhkan perempuan untuk menjadi istru sewaan sementara Btari membutuhkan seseorang untuk menjadi donatur tetap di panti asuhan tempatnya mengajar.
Sebenarnya Btari ragu menerima, karena hal ini sangat bertolak belakang dengan prinsip hidupnya. Apalagi Btari menikah hanya untuk menutupi skandal Barra dengan model papan atas, Nadea Vanessa yang juga adalah perempuan bersuami.
Perdebatan selalu menghiasi Btari dan Barra, dari mulai persiapan pernikahan hingga kehidupan mereka menjadi suami-istri. Lantas, bagaimanakah kelanjutan hubungan kedua manusia ini?
Bagaimana jika keduanya merasa nyaman dengan kehadiran masing-masing?
Hingga peran Nadea yang sangat penting dalam hubungan mereka.
Ini kisah tentang dua anak manusia yang berusaha menyangkal perasaan masing
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Edelweis Namira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jangan Terlalu Baik
Nadea menatap Barra dengan penuh perhatian, namun kali ini ada sesuatu yang berbeda. Biasanya, pertemuan mereka selalu penuh dengan kedekatan dan romantisme, tetapi malam ini suasananya tegang. Barra tampak tidak sepenuhnya hadir, pikirannya teralihkan pada Btari yang masih marah padanya.
Setelah melihat Barra yang mempermasalahkan kemesraannya dengan Ardya, Nadea mulai merebut hati Barra kembali. Ia mengajak Barra bertemu. Bagaimana pun ia membutuhkan Barra. Walaupun sebenarnya ia juga membutuhkan Ardya. Dua lelaki yang perannya amat penting dalam hidupnya.
Barra dengan segala perhatian dan rasa nyaman, Ardya dengan koneksi dan materi yang sangat dibutuhkan Nadea dalam menunjang karirnya sebagai model papan atas.
Ia tidak bisa memilih di antara keduanya. Lagipula jika dua-duanya berada dalam genggaman, bagaimana bisa ia merelakan salah satunya berpindah tangan ke orang lain?
Namun Barra tampak gelisah sedari datang tadi. Dia bahkan beberapa kali tidak merespon ucapan Nadea.
"Seserius ini kamu memikirkan Btari, Bar? Setakut itu kamu sama amarahnya?" Tanya Nadea. Seperti biasa, ia bertanya lembut namun wajah anggunnya tidak menampakkan rasa suka.
Barra duduk dengan gelisah, sesekali melirik ke arah ponselnya yang tergeletak di meja. "Nad, aku... aku merasa tidak tenang," katanya dengan suara rendah, suaranya tidak sebersemangat biasanya.
Nadea yang duduk di hadapannya memperhatikan, ekspresinya berubah seiring mendengarkan kata-kata Barra. "Jadi ini memang tentang Btari?" tanyanya, nada suaranya mulai tajam. Ia tidak suka dengan situasi ini.
Barra mengangguk, menundukkan kepalanya. "Ya, aku... aku merasa bersalah, Nad. Dia tidak marah lagi namun itu justru membuatku merasa aneh."
Nadea mendengus kesal, tangannya terkepal di atas meja. "Jadi sekarang kamu merasa bersalah?" ujarnya dingin. "Dan kamu pikir itu akan memperbaiki segalanya? Seharusnya kamu lebih memperhatikan aku, bukan wanita itu. Aku yang sudah bersamamu sejak awal, Bar."
Lelaki itu diam. Perkataan Btari tadi sudut perasaannya tidak nyaman. Ia merasa ada yang aneh.
"Iya aku tahu. Tapi bagaimana pun ia juga istriku, Nadea. Dia tanggung jawabku."
"Aku muak , Bar. Berhenti berpikir seperti itu. Hubungan kalian tidak lebih dari kerja sama saja. Jangan bersikap seperti suami aslinya." Perkataan itu pelan namun begitu tajam.
Barra mengerti. Namun sekarang begitu sulit rasanya menghadapi Btari yang kembali kaku dan irit bicara. Bahkan sekarang ia lebih suka menghabiskan waktunya di kamar.
Nadea meremas gelas minumannya, matanya menatap tajam pada Barra. "Kamu selalu begitu," katanya, suara penuh kebencian. "Kamu selalu berpikir tentang wanita lain. Lalu, bagaimana dengan aku, Barra? Apa kamu benar-benar ingin hidup dengan orang yang tidak akan pernah sepenuhnya mencintaimu?"
Kata-kata Nadea meluncur tajam, membuat Barra semakin tertekan. Namun tekanan Nadea juga membuatnya teringat dengan hubungan Nadea dan suaminya. "Lantas kamu bagaimana? Kamu bahkan masih melanjutkan hubunganmu dengan Ardya." Katanya dengan pelan namun penuh emosi.
Nadea merasa tersudut. Namun ia tetap keukeuh dengan pembelaannya. "Aku dan Ardya itu berbeda, Barra. Kami dijodohkan. Walaupun perlakuannya buruk kepadaku, namun menikah dengannya itu keinginan orang tuaku. Kami harus sebisa mungkin menampilkan kemesraan dimana pun itu." Ujar Nadea emosi. Matanya menatap Barra tajam. Akhir-akhir ini Barra sering mempermasalahkan itu. Nadea kesal sekaligus khawatir. "Kalau memang yang ada di otakmu itu hanyalah Btari, lebih baik aku pulang. Kamu seperti bukan Barra yang aku cintai."
Perempuan itu bersiap-siap pergi. Matanya menatap Barra sekali lagi. Menunggu respon lelaki itu. Hingga beberapa menit kemudian, Barra masih diam.
Nadea menghela napasnya dengan kasar. "Aku pulang, Barra." Katanya dengan emosi lalu segera pergi.
Lagi, ia menoleh ke belakang. Berharap Barra menahannya. Namun tidak. Lelaki itu masih diam. Ntah apa yang dipikirannya.
"Ini gara-gara perempuan itu." Kata Nadea gusar.
...****************...
Malam semakin larut. Pergolakan batin yang dirasakan Btari membuatnya memilih untuk menyibukkan diri dengan berbagai macam proyek. Setelah proyeknya yang di Malang hampir rampung kini Btari memilih ikut serta dalam acara pameran Amal untuk Kepedulian terhadap Warga Palestina.
Dalam kepekatan malam tersebut, Btari akhirnya tiba di rumah. Udara dingin menyelimuti tubuhnya yang lelah setelah seharian sibuk mengurus persiapan proyek amal kepedulian untuk Palestina. Motornya ia parkir di teras di samping mobil Barra. Ia berjalan dengan sisa-sisa tenaganya. Tangannya menggenggam tas kamera yang berat, sementara pikirannya masih penuh dengan rapat, daftar tugas yang belum selesai, dan... Barra. Lelaki itu tidak pernah luput dari benaknya, meski ia berusaha keras untuk mengabaikannya.
Ketika ia membuka pintu rumah, aroma masakan hangat menyambutnya. Lampu ruang tengah masih menyala, dan di sana, duduklah Barra di sofa dengan kemeja santainya. Ia menatap Btari, wajahnya bercampur lega dan kesal.
“Kamu pulang juga akhirnya,” kata Barra dengan nada datar, tapi jelas ada kekhawatiran di baliknya.
Btari menahan diri untuk tidak menghela napas panjang. Ia tidak ingin terjebak dalam situasi seperti ini lagi—situasi di mana Barra menunjukkan perhatiannya, membuat hatinya melemah, lalu ia harus mengingatkan dirinya sendiri bahwa pernikahan mereka hanya sementara. Tapi ia lebih membenci dirinya yang harus lemah karena segala perhatian Barra.
Mengapa lelaki ini harus setega ini padanya? Kepala Btari berdenyut seketika.
“Sudah ku bilang jangan menunggukan?” jawab Btari singkat sambil melepas sepatunya. Ia tidak menatap Barra, hanya berjalan melewatinya menuju dapur untuk mengambil segelas air.
Barra mengikutinya, bersandar di ambang pintu dapur sambil melipat tangannya di dada. "Aku nggak bisa nggak nunggu, Btari. Kamu pergi pagi, pulang malam, nggak pernah cerita apa pun. Aku khawatir."
Btari meletakkan gelasnya dengan sedikit keras di meja. Ia berbalik menatap Barra, berusaha keras menahan emosinya. Ia lelah, dan perhatian lelaki itu hanya membuatnya semakin bingung.
“Kamu nggak perlu khawatir. Aku bisa jaga diri,” kata Btari tegas, meski suaranya terdengar lelah. "Lagipula, kita... kita nggak perlu repot begini, kan? Kita cuma kerja sama, Barra. Kamu nggak harus peduli sedalam itu."
Barra terdiam, rahangnya mengeras. Ia tahu Btari mencoba menjaga jarak, tapi hatinya menolak untuk tidak peduli. "Kerja sama? Btari, aku tahu ini memang hanya hubungan kerja sama, tapi kita tinggal serumah. Kamu istriku, meskipun hanya di atas kertas. Gimana aku bisa nggak peduli? Aku nggak bisa pura-pura kamu nggak ada."
Kalimat itu menusuk Btari, membuat pertahanannya hampir runtuh. Tapi ia menegakkan tubuh, menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan dirinya.
"Barra, kamu terlalu baik. Tapi justru karena itu, aku nggak bisa. Aku nggak mau terjebak dalam ini semua. Bukankah kita sudah sepakat kalau kita akan memulainya dari awal lagi? Sama seperti hubungan kita di awal-awal. Bersikaplah selayaknya rekan kerja. Jangan terlalu dekat."
Barra mendekat, matanya menatap tajam ke arah Btari. “Dan aku nggak bisa pura-pura dingin sama kamu, Bi. Kita hidup satu atap, Btari. Abangmu dan orang tuaku taunya kita suami-istri."
Kata-kata itu membuat Btari terdiam. Ia merasakan pergolakan di dadanya, perasaan yang ia coba tekan selama ini. Ia tahu bahwa Barra mungkin tulus, tapi situasi mereka terlalu rumit. Ia tidak bisa membiarkan dirinya terhanyut.
“Aku capek, Barra. Kita bicara besok aja, ya,” kata Btari akhirnya, menghindari tatapan Barra. Ia berjalan melewatinya menuju kamarnya, meninggalkan lelaki itu berdiri sendirian di dapur.
Btari berjalan pelan ke kamarnya. Hingga ketika ia sampai, segera ia menutup pintu kamarnya. Ia terduduk lemas di pinggir tempat tidurnya. Lelah fisiknya nyatanya tak selelah batinnya mengatasi perasaannya sendiri.
"Kamu terlalu baik, Bar. Sampai aku sendiri lupa kalau itu hanya kepedulianmu sesama manusia." Lirih Btari.
ceritanya kayak beneran, jd senyum" sendiri