Raja Kejahatan Dunia
Eternal Abyss
Lembah itu seperti kanvas kehancuran. Tanah yang dulunya subur kini tenggelam dalam genangan darah yang menghitam, menyerap sinar matahari yang suram. Mayat-mayat manusia bergelimpangan, bercampur dengan serpihan baju zirah dan senjata patah yang berserakan tanpa pola, menciptakan pemandangan mengerikan sisa pertempuran. Di tengah kekacauan itu, sebuah tumpukan mayat menjulang tinggi, menyerupai monumen mengerikan.
Di puncak tumpukan itu, seorang pria muda berdiri dengan pakaian gelap yang compang-camping, auranya memancarkan ancaman yang tidak bisa diabaikan. Wajahnya tenang, dihiasi senyuman tipis yang kontras dengan horor di sekitarnya. Dia menarik napas panjang, seolah menikmati aroma kematian yang menyengat, lalu mengembuskannya perlahan. Kepalanya terangkat, matanya terpejam, mengarah pada matahari yang perlahan menghilang di balik awan kelam.
"Ah, betapa... menghibur," gumamnya, suaranya rendah dan penuh sindiran.
Tatapannya menyapu lembah itu, memandangi mayat-mayat yang berserakan di setiap sudut. "Orang-orang bodoh," katanya dingin, suaranya bergema seperti duri di udara. "Berapa kali pun kalian mencoba, hasilnya akan tetap sama. Tidak ada yang bisa menandingi aku."
Dari balik kegelapan, suara tajam seorang wanita memecah keheningan. "Kau benar-benar tidak punya hati. Setidaknya, tunjukkan sedikit rasa hormat pada mereka yang telah mati."
Leo menoleh perlahan, sorot matanya bertemu dengan seorang wanita muda yang berdiri dengan tenang. Rambutnya keperakan, jatuh seperti kilau sinar bulan, sementara matanya menyala penuh tekad.
"Alexia Frances," katanya dengan nada mengejek, menyebut namanya seperti sebuah lelucon. "Kalau kau datang hanya untuk memberikan khotbah, pergilah. Aku tidak punya waktu untuk mendengarkan ocehan moral dari seseorang sepertimu."
Alexia melipat tangan, wajahnya tidak menunjukkan sedikit pun ketakutan. "Leo XII, Raja Kejahatan Dunia," ucapnya tegas. "Kau sudah melewati batas yang bahkan Langit tidak akan ampuni. Dosa-dosamu telah mencemari dunia ini terlalu lama."
Leo melompat turun dari puncak mayat, gerakannya ringan meski tanah di bawahnya berlumpur darah. Kini, dia berdiri di hadapan Alexia, begitu dekat hingga jarak di antara mereka hanya sebilah pedang. Mata mereka bertemu, dua tatapan tajam yang seperti dua bilah pedang siap saling menikam.
"Langit murka?" Leo tertawa kecil, suaranya penuh dengan sinisme yang menggigit. "Biarkan saja. Aku tidak peduli pada omong kosong seperti itu."
"Omong kosong?" Alexia menyipitkan mata, nadanya penuh tantangan. "Kau bahkan tidak memahami kata-katamu sendiri."
Leo menyeringai, penuh percaya diri. "Aku memahami segalanya. Aku hidup hanya untuk diriku sendiri. Tidak ada yang bisa mengendalikan keinginan atau pikiranku. Siapa pun yang mencoba—" dia mencondongkan tubuh, suaranya menjadi bisikan mematikan, "—akan lenyap sebelum sempat menyesal."
Namun Alexia tidak goyah. Dia berdiri tegap, napasnya stabil meski ancaman mematikan baru saja meluncur ke arahnya. "Arogan sekali," katanya dingin. "Kau berbicara seolah-olah kematian bukanlah akhir yang menunggumu."
Seolah merespon ucapan Alexia, langit mendadak gelap. Awan hitam menggulung-gulung, menyelimuti matahari sepenuhnya. Petir menyambar, membelah keheningan dengan suara yang memekakkan telinga.
Langit semakin pekat, dan awan hitam yang menggulung tampak seperti naga purba yang siap menerkam mangsanya. Leo mendongak, senyuman kecil kembali menghiasi wajahnya, kini dipenuhi antusiasme yang ganjil. Kilatan petir sesekali menerangi wajahnya, memantulkan sorot mata yang tidak terganggu sedikit pun oleh ancaman di atasnya.
"Oh, ya? Bukankah ini semakin menarik," gumamnya pelan, seolah ancaman kehancuran hanyalah sebuah lelucon.
Di depannya, Alexia masih berdiri tegak. Matanya membara oleh tekad untuk mengakhiri kesombongan pria itu. "Leo XII," katanya tegas, suaranya tajam seperti pedang. "Mohonlah ampun atas dosamu. Mungkin Langit akan memberimu kesempatan untuk hidup."
Leo tertawa kecil, namun tawa itu dingin, tanpa sedikit pun kehangatan. "Ampunan?" dia menggeleng perlahan. "Tidak perlu. Jika Langit ingin runtuh, biarkan saja. Aku bahkan tidak peduli dengan eksistensinya."
Dia memiringkan kepalanya, menatap Alexia dengan tatapan yang berubah. Matanya kini bersinar tajam, penuh dengan intensi yang sulit ditebak. "Namun, ada sesuatu yang lebih menarik dari murka Langit, Alexia," ucapnya, senyumannya semakin melebar.
Alexia menyipitkan mata, berjaga-jaga. "Apa maksudmu?"
Leo melangkah mendekat, langkahnya pelan namun membawa tekanan yang tak kasatmata. Senyumannya berubah menjadi seringai ketika dia berhenti tepat di hadapannya. "Kau," bisiknya, nadanya serak. "Bagaimana jika kau menjadi milikku, Alexia? Aku sudah lama mengamatimu. Penasaran seperti apa rasanya memiliki seseorang seperti dirimu."
Ucapan itu membuat udara di sekitar mereka terasa lebih berat, namun Alexia tidak bergeming. Alih-alih marah, dia hanya mendesah, seolah sudah terbiasa menghadapi kebodohan semacam itu darinya. Dia berbalik, membelakanginya tanpa ragu sedikit pun.
"Leo," katanya datar, suaranya tanpa emosi. "Kau benar-benar pria paling bodoh yang pernah kutemui."
Alexia melangkah pergi, membiarkan keheningan dan jarak tumbuh di antara mereka. Dia bahkan tidak menoleh.
"Kalau kau berubah pikiran, panggil aku!" seru Leo dari belakang, nada bercandanya memantul di lembah yang sunyi. Namun tatapannya kembali ke langit, senyumnya memudar, berganti dengan ekspresi serius.
Dia mengangkat satu tangannya ke arah langit yang kini bergemuruh seperti monster buas yang akan melahap segalanya. "Sekarang," katanya pelan, "bagaimana aku harus menghadapi kehancuran ini?"
Awan-awan hitam berkumpul, berputar seperti pusaran energi, semakin rendah hingga hampir menyentuh tanah. Petir menyambar tiada henti, menciptakan suara yang memekakkan telinga. Cahaya ungu yang menakutkan mengitari tubuh Leo, membingkai siluetnya seperti sosok iblis dalam legenda.
"Split Soul," bisiknya dengan nada tenang namun menggema.
Saat kata-kata itu meluncur dari bibirnya, langit meledak. Energi raksasa menghantam Leo dengan kekuatan yang begitu besar hingga tanah di sekitarnya terbelah, menciptakan retakan-retakan yang meluas seperti jaring laba-laba. Cahaya menyilaukan menyelimuti tubuhnya, mengaburkan keberadaannya.
Dari kejauhan, Alexia berhenti melangkah. Dia menoleh sekali lagi, menatap ke arah ledakan cahaya yang membelah lembah. Wajahnya tetap dingin, namun ada kilatan rasa iba yang singkat di matanya.
"Pria bodoh hingga akhir," gumamnya pelan, sebelum berbalik kembali.
Dalam sekejap, tubuh Alexia lenyap, menyatu dengan angin, meninggalkan lembah yang kini tenggelam dalam kehancuran, penuh dengan puing-puing sisa dari ego dan kesombongan seorang Leo XII.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments
Yurika23
akuh mampir ya Thor...keknya seru...Leo anti Hero ya?... keren
2024-12-20
0