Kisah seorang gadis pembenci geng motor yang tiba-tiba ditolong oleh ketua geng motor terkenal akibat dikejar para preman.
Tak hanya tentang dunia anak jalanan, si gadis tersebut pun selain terjebak friendzone di masa lalu, kini juga tertimbun hubungan HTS (Hanya Teman Saja).
Katanya sih mereka dijodohkan, tetapi entah bagaimana kelanjutannya. Maka dari itu, ikuti terus kisah mereka. Akankah mereka berjodoh atau akan tetap bertahan pada lingkaran HTRS (Hubungan Tanpa Rasa Suka).
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zennatyas21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
8. Siapa Yang Kecelakaan?
Sepulang sekolah Salsha masih berada di halte untuk menunggu bus supaya bisa pulang ke rumah. Pada saat ia duduk sambil memainkan ponselnya, tiba-tiba ada sebuah motor berhenti di depan halte tersebut.
"Ayo gue anter pulang," ucap seorang lelaki memakai baju seragam SMA Putra Bangsa.
Salsha mendongak bingung, "Nino? Lo ngapain baru balik? Bukannya anak IPA udah balik?" tanya Salsha.
Cowok bernama Nino Saputra itu tersenyum. "Tadi ada kumpul bentar sama anak pramuka, temen lo si Cindy juga kumpul kan tadi?"
"Iya sih, terus lo ngapain ngajak gue?"
"Ya ngajak pulang lah, masa culik anak orang." jawab Nino malas.
Cewek memakai cardigan warna coklat yang menutupi seragam pramukanya itu mengerutkan keningnya bingung. "Sejak kapan lo peduli sama gue?"
"Sejak dulu lah,"
"Lah, terus lo ngapain dulu bully gue monyet? Lo pikir itu gak nyakitin? Gak melanggar?" Pertanyaan Salsha kembali mengungkit kejadian masa SMP nya yang kelam.
Nino memutar matanya sambil mengembuskan nafas. "Ya dulu kan masih bocil, gue juga baru pindah dari Bandung waktu itu. Sekarang gue udah gede, udah tahu pembullyan itu melanggar hak asasi manusia. Ya ... gue minta maaf juga kalau dulu sempat ganggu hak pribadi lo buat hidup tenang di sekolah. Tapi, gue sebenarnya orang baik kok. Cuma kalau ketemunya sama temen-temen kayak mereka itu emang suka ketularan." jelas Nino tanpa turun dari atas motornya.
Salsha mendengus kesal, "bodoamat ya, gue gak peduli sama penjelasan lo. Gue males pulang sama lo, gue gampang takut sama orang yang udah pernah ngebully gue dari kelas tujuh sampai kelas sembilan. Lo harusnya ngertiin gimana rasanya sembilan tahun di bully dan disakitin sama temen-temen sendiri." Penjelasan Salsha mampu membuat Nino terdiam.
Lelaki itu merenungi perkataan Salsha, jika dipikir-pikir memang amat sakit rasanya menjadi korban bully. Selain sakit hati, hal itu juga berbahaya untuk mental sang korban. Nino menghembuskan nafas sabar.
"Iya Sal, gue ngerti kok posisi lo. Gue paham banget gimana rasanya jadi lo saat itu. Tapi lo jangan ngebenci gue ya? Karena kita temen, Sal, sebenci-bencinya kita pasti diantaranya ada yang kembali membutuhkan. Jadi, gue cuma bisa minta maaf sebesar-besarnya, walaupun itu gak ngerubah perasaan dan diri lo kembali utuh tanpa luka karena pembullyan itu." ucap Nino menyadari sembari menundukkan kepalanya.
Salsha juga menarik nafas untuk berusaha tenang. Tanpa kembali mengingat sakitnya diri pada masa itu. "Gue udah maafin lo, bahkan jauh sebelum lo minta maaf. Gue gak pernah benci ke orang, No, jadi lo gak perlu ngerasa salah banget. Karena awalnya juga bukan dari lo kok yang ngebully gue duluan." ujar Salsha.
Nino mendongak lalu menoleh ke Salsha. "Tapi mereka cukup keterlaluan, Sal. Mereka hampir ngerusak mental lo. Mereka jahat sama lo dan mereka kayak gak pernah ngerasa punya salah sama lo. Dan sekarang dengan hidupnya lo di SMA Putra Bangsa ini, gue berharap lo gak pernah ketemu mereka lagi."
"Kenapa lo ngomong gitu? Lo tahu apa soal mereka?"
"Karena mereka gak pernah berubah, sampai sekarang mereka masih mereka yang dulu. Yang ketemu selalu gibah dari belakang, bahas soal yang udah berlalu. Gue bahkan ngerasa mereka kejam, ya gue bayangin aja dibully dengan disebut monyet versi lebih kasar istilahnya kata gue lah. Mental siapa yang kuat kalau kayak gitu?" Nino nyaris tersulut emosi mengingat ucapan-ucapan kasar teman-temannya pada SMP kepada Salsha.
"Namanya juga manusia, No,"
"Tapi mereka gak nyebut bahkan anggap lo sebagai manusia, Sal. Mereka kayak anggap lo hewan,"
"Yang penting bukan anjing, gue masih bisa sabar dan berusaha bangkit. Buktinya sekarang gue hidup tenang di sekolah ini."
"Lutung, gue tandain orang-orang yang pernah ngebully lo dengan sebutan itu."
"Termasuk diri lo sendiri?"
Seketika Nino menunduk. "Gue minta maaf, Sal. Sekalipun gue tau ucapan gue gak ada apa-apanya dengan rasa sakit hati yang lo alamin dulu." Lagi-lagi lelaki itu merasa bersalah.
"Dengan minta maaf udah cukup kalau lo bener-bener ngerasa diri lo salah, dan sadar mana yang baik, mana yang enggak." Nasehat Salsha diangguki oleh Nino.
Tak berselang lama, hari sudah pukul 15.50 membuat Nino tidak bisa berlama-lama. "Oh iya, gue langsung balik ya, Sal? Soalnya gue harus ke rumah nenek sama adek dan mama gue." Pamit Nino segera menyalakan mesin motornya.
Salsha mengangguk. "Iya, hati-hati di jalan."
"Siap,"
Setelah Nino berlalu, Salsha merenungi banyak hal yang telah ia hadapi sendirian selama ini. Ada ribuan masalah hingga jutaan ujian hidupnya untuk sampai di titik ini. Dirinya pun tak pernah menyangka akan mengenal seorang ketua geng motor yang katanya sopan-santun, ramah-tamah itu. Tak sadar Salsha tersenyum saat melamuni beberapa momen indahnya bersama lelaki bernama Zidan Alvano Putra.
Dan tak disangka-sangka kala melamun, ternyata orangnya hadir di depan dirinya.
"Eh, sore-sore jangan ngelamun," ucap seseorang berhenti di depan halte.
Salsha masih saja melamun tanpa menyadari siapa yang berbicara.
"Aduh, ini anak kalau lagi asik sama dunianya sendiri ya kayak gini nih. Selalu berimajinasi terus, lama-lama jadi kayak tukang bubur lo Sal," ujar lelaki itu turun dari motor dan memilih duduk di samping Salsha.
Jika orang lain lihat pasti sudah dibilang orang gila karena senyum-senyum sendiri. "Sal, ngelamunin siapa sih, hm? Serius banget kayaknya sambil senyum-senyum mulu dari tadi," tanya seseorang tersebut seraya mengusap sebelah bahu Salsha.
Seketika Salsha tersentak bahkan hampir terjungkal. Saking terkejutnya ada seseorang di sampingnya yang entah datang dari mana. Hadeh, orang melamun mana lihat ada orang dari tadi.
"Anjri-"
"Eumgh! Huft ... Ihh, Zidan!" Disaat Salsha hendak mengumpat dengan kata kasar, lelaki diketahui Zidan itu langsung menutup mulut Salsha.
Plakk
"Lo bener-bener ya! Gak usah ngagetin!" Bentak Salsha setelah menampar pipi Zidan.
Lelaki berpakaian pramuka tertutup hoodie memegang pipinya yang terasa panas. Sambil menatap Salsha dengan sebelah pipi kanannya sedikit kemerahan.
"Gue cuma mau nyadarin lo doang, biar gak ngelamun mulu. Terus juga, cewek gak boleh ngomong kasar kayak gitu." Nasehat Zidan hanya angin lewat bagi Salsha.
"Kepo banget sih lo! Lo selalu aja ada di sekitar gue! Lo kenapa sih?!"
"Udah, ayo pulang sama gue,"
"Gak! Gue udah males ketemu sama lo! Lo tuh dimana-mana ada! Gak capek apa ngikutin terus dari kemaren kenal gak ada tuh henti-hentinya buat gak keliatan." ketus Salsha terus menerus marah.
Zidan menunduk sabar, "yaudah iya, kalau gak mau pulang bareng oke gak papa. Nanti, gue bantu cariin bus dulu." katanya sembari menengok ke belakang untuk menghentikan bus yang lewat.
Salsha melihat awan sudah mendung, suasana langit semakin teduh. Ditambah lampu-lampu jalan yang mulai menyala terang.
"Cowok kasar berpura-pura baik itu banyak, cuma ini satu yang gue bosan banget ketemu terus." gumam Salsha kesal.
Selang tiga menit menunggu bus lewat, akhirnya Zidan berhasil menghentikan satu bus yang biasa ditumpangi oleh anak sekolah yang pulangnya sore hari.
"Mas, tolong antar teman saya ya. Ini uangnya, ambil aja kembaliannya." ucap Zidan memberikan uang pada seorang pria sebagai kernet bus yang turun membukakan pintu untuk Salsha.
Salsha melangkah masuk.
Ini orang baiknya kebangetan, udah dimarahin malah semakin baik ke gue. Batin Salsha.
Sebelum busnya pergi, Zidan sempat mengirim pesan kepada Salsha.
← Zidan
Terakhir dilihat pukul 16.50
Jangan turun dari bus
Kalau di jalan ada musibah.
Usai kepergian bus yang mengantarkan Salsha pulang ke rumah, Zidan berniat untuk menjaga perempuan itu dari belakang.
Di tengah perjalanan dengan suhu dalam bus yang cukup dingin, Salsha duduk di jok urutan kedua dari jok paling belakang. Tepat ketika ia sudah duduk, tiba-tiba hujan turun begitu deras.
Untung gue bawa jas hujan, ya ... Walaupun itu punya Zidan sih, Batin Salsha.
Sesekali ia menengok ke belakang, melihat berbagai kendaraan di belakang bus yang ditumpanginya sampai matanya tertuju pada sebuah motor matic.
Salsha mendengus kesal.
Itu bocah gak ada capeknya ngikutin gue mulu, dari kemaren setiap ketemu selalu aja ikut kemana-mana. Bodo ah, gue gak berurusan tuh anak kagak pakai jas hujan, lagian pakai hoodie juga kayaknya cukup. Batin Salsha tak memikirkan keadaan Zidan yang kehujanan.
Kebetulan ia duduk sendiri, sehingga Salsha memilih membuka ponselnya. Terdapat di layar kunci muncul notifikasi dua pesan dari Zidan.
Salsha hanya membacanya lalu membuka aplikasi pemutar musik dan mulai mendengarkan musik yang baru ia download hingga akan menjadi lagu favoritnya.
Perempuan itu menyumpal telinganya di sebelah kiri dengan sebuah benda mungil berupa headset keong berwarna hitam.
Seraya menoleh ke kanan, menatap jendela dan melihat suasana jalanan di sore hari yang hujan.
Lagi-lagi ia melihat motor yang dikendarai oleh Zidan menyalip bus itu.
Salsha menghela nafas lelah. Kepalanya teroleh lurus ke depan. Sembari menghayati lagu yang tengah didengarnya.
Tak kan kusakiti dia
Hukum aku bila terjadi ...
Saat sedang asik meresapi setiap lirik lagu tersebut, tiba-tiba bus yang ditumpanginya berhenti mendadak. Seketika ia mengurangi volume lagunya agar mendengar apa yang terjadi hingga membuat busnya berhenti.
"Huft ... Sore-sore begini lagi hujan, jalanan licin banget kayak gini. Gimana itu yang depan lah, cuaca lagi gak terlalu mendukung ramai." ucap sang supir.
"Iya, siapa coba itu yang salah. Jalanan lagi ramai harus ekstra hati-hati rawan kecelakaan," sahut seorang kernet bus.
Salsha kembali menambah volume mendengarkan musiknya, lalu tak lama ada yang berucap lagi.
"Disrempet itu lah. Ya, yang salah mobilnya lah, dari arah lawan nyupir gak bener." Celetuk salah seorang penumpang ibu-ibu samping jok yang diduduki Salsha.
Perempuan itu heran sekaligus menjadi penasaran dan akhirnya ikut berdiri seperti para penumpang lainnya yang heboh.
Disaat Salsha melihat korban kecelakaan itu, perasaan mendadak tidak enak. Ada rasa khawatir yang aneh.
Hoodie si korban kok kayak hoodie yang dipakai Zidan sih? Ih, yang bener aja lah. Batin Salsha mulai khawatir.
Di sebelah kirinya, seorang penumpang depannya pun menanggapi kejadian tersebut.
"Owalah, itu korbannya yang tadi lah orangnya. Yang nganter anak SMA tadi, orang cowok masih remaja. Kasihan orangnya ya, padahal keliatannya si cowok itu penyabar." Celetuk salah satu penumpang seorang laki-laki.
Perasaan Salsha semakin campur aduk, sedih dan khawatirnya menjadi satu. Lalu ia mencopot headset keongnya dan diletakkan ke saku roknya.
Gue gak mau kehilangan dia ... Dia baik banget ke gue, lo gak boleh ninggalin gue, Zidan ...
Disaat Salsha berperang dengan pikirannya yang selalu bermunculan prasangka buruk tentang Zidan, tiba-tiba ponselnya menyala menandakan ada notifikasi pesan dari seseorang.
Terlihat kiriman sebuah video berdurasi satu menit lima puluh detik. Salsha pun memencet video tersebut setelah diunduh.
"Kakak tuh gak ngerti! Kakak cuma bisa ngekang Monica buat gak pacaran sama Aldi! Dia itu cowok yang baik, Kak!"
"Kakak bukan ngekang Monica buat pacaran, Dek. Kakak kayak gini karena kakak tahu Aldi itu orang gak baik!"
"Kakak tuh anak motor! Anak berandalan! Mana ada tahu soal kak Aldi yang anak rumahan biasa!"
"Aldi itu pemab—"
"Diam kau ya, Kak! Gak usah urusin Monica sama Aldi! Jangan mentang-mentang kau gak punya pacar, jadi ngatur-ngatur aku!"
"Kakak gak ngatur kamu, Monica. Kakak cuma gak mau kamu salah pergaulan, kakak gak mau kamu salah jalan. Aldi itu bukan orang yang baik."
"Alah, sok tau!"
"Monica harus tahu, kalau kakak ini say—"
Jleb!
Sebuah pisau ditancapkan ke perut Zidan oleh seorang lelaki bertopeng monyet.
"Ka—kak say—ang sama kamu Monica ..." Suara Zidan putus-putus karena tak tahan merasa sakit yang begitu luar biasa di perutnya.
Monica seketika histeris melihat seorang lelaki yang menusuk Zidan itu, ia menggeleng tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Kak Aldi ...?"
Lelaki tersebut tersenyum penuh kemenangan. Bagai seorang psikopat yang berhasil membunuh musuhnya. "Hahaha ... Yang sok baik sudah kuhabisi, Monica. Kamu akan hidup tenang bersamaku, hahaha ..." Aldi menunjukan senyum kejamnya, sementara Monica meneteskan air mata melihat Zidan langsung terkapar lemah di atas tanah.
"Kak Zidan! Kak, Kak Zidan bangun ... Kakak gak boleh ninggalin Ica, Kak bertahan ya ... Ica janji sama Kakak gak akan mau ketemu sama baj*ng sialan itu lagi! Dasar psikopat bodoh! Kejam kau seperti hewan!" Dengan raut wajah penuh amarah, Monica menoleh ke arah Aldi yang ada di belakangnya dengan tatapan amat benci.
Sedangkan kondisi Zidan yang nafasnya mulai tercekat, dalam keadaan lemahnya ia mengangkat satu tangan kanannya meraih pipi basah Monica.
"I-ingat ya, Ica kesayangannya Kak Zidan, Kakak gak akan ngelarang Ica buat berteman sama siapapun, kecuali kalau Kakak tahu bahwa orang itu gak baik untuk Ica. Kakak minta ma—af, ya? Tadi ucap—an Kakak sedikit kasar dan ngebentak kamu, tapi itu karena Kakak sayang sama kamu, Ica." Ucap Zidan sebelum memejamkan matanya.
"Kak Zidan! Kak! Kak bangun, Kak Zidann!!" Jerit Monica sangat keras sembari memeluk tubuh Zidan yang lemas.
Aldi sang pelaku justru tertawa senang. "Bodoh lo bocil! Dideketin sama gue doang langsung pakai hati! Bodoh lo bodoh! Dasar bocil ingusan!"
Si lelaki bertopeng monyet itu pergi meninggalkan Monica dan Zidan tanpa rasa peduli.
Ctit.
Salsha memasukan ponselnya ke dalam saku roknya, kemudian ia meminta bus berhenti karena sudah sampai di jalan sebelum masuk gang ke rumahnya.
"Zid, gue bakal ke rumah lo malem ini, tunggu dan jangan kenapa-napa." lirihnya.