— Lanna Xevellyn, gadis berusia 17 tahun itu harus mengalami kecelakaan maut yang membuat nyawanya melayang ketika menolong seorang anak kecil di jalanan.
Tetapi apakah memang Lanna benar-benar sudah tewas atau ternyata gadis itu masih hidup? Atau bagaimana tentang dirinya yang ternyata menjalani kehidupan keduanya untuk menggantikan peran orang lain yang sudah mati?
Ya, itulah yang di rasakan oleh Lanna. Gadis itu terbangun di dalam tubuh milik orang lain di semesta lain. Di mulai dari tubuh barunya itu, Lanna menjalani babak baru kehidupan keduanya dengan alur kehidupan berbeda yang tidak pernah terpikirkan sekalipun olehnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NAYTHAN, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CHAPTER 09 :
Mata gadis itu berkeliling menatap ruangan kamar milik Serena.
Tidak buruk, pikirnya.
Di mulai dari hari ini dan detik ini juga, Lanna akan menggunakan barang-barang milik Serena untuk memulai menjalani kehidupan sebagai gadis itu.
Tok... Tok... Tok...
"Siapa, ya?" Gumam Lanna mendengar seseorang mengetuk pintu kamarnya dari luar sana.
Lanna membalikkan tubuhnya, berjalan mendekati pintu lalu membukanya kembali. Baru juga Lanna menjadi penghuni kamar Serena sudah ada saja yang bertamu. Adalah asisten Rosie. Berdiri di depan pintu kamarnya tidak lupa dengan senyumannya.
"Oh, asisten Rosie?" Sapa Lanna seraya tersenyum ramah.
"Maaf, aku lupa akan sesuatu. Ini ponsel milik Serena," asisten rosie menyerahkan ponsel genggam dengan casing berwarna biru langit, polos tanpa aksesoris gantungan apapun.
"Ah, ya. Terimakasih," ucap Lanna meraih ponsel genggam tersebut kemudian asisten Rosie pergi meninggalkannya setelah mereka berdua melakukan gerakan membungkuk sebagai salam perpisahan.
Lanna menutup pintu kamarnya kembali, menaruh ponsel itu di atas meja nakas tanpa berniat mengecek isinya. Lanna merasa cukup lelah, dia akan pergi tidur sebentar selain karena hari ini tidak ada kegiatan lain. Dia juga terlalu malas untuk berkeliling melihat-lihat area sekolah.
Dia kini sudah melucuti pakaiannya, berganti memakai pakaian santai. Syukurnya ukuran tubuh Serena sama dengannya jadi Lanna tidak merasa takut akan kebesaran. Lalu membaringkan tubuhnya di atas kasur berukuran single. kedua matanya menatap langit-langit kamar, perlahan kelopak matanya berubah menjadi sayu dan tidak lama kemudian Lanna pun tertidur.
"Kurang ajar sekali kau sudah memakai tubuhku! Kau juga memakai barang-barangku tanpa ijin dariku! Lebih baik kau mati selamanya!"
Lanna terbangun dengan keringat yang bercucuran membasahi dahinya, dadanya kembang kempis, bahunya naik turun serta tarikan napas yang terasa sesak itu membuatnya nampak cukup kacau. Belum ada satu detik Lanna memejamkan matanya tetapi dia sudah mendapatkan semacam mimpi buruk?
Tadi itu apa? Batinnya.
Merasa gusar. Dengan jelas, sangat jelas Lanna melihat penampakkan seseorang yang mirip dirinya—maksudnya adalah Serena Lyra yang tiba-tiba saja sudah berada di atas tubuhnya, sedang mengangkanginya dengan amarah yang tergambar jelas di wajah Serena.
Semilir hembusan angin dingin menerpa wajahnya. Dia menoleh ke arah samping darimana asal angin itu berasal, jendela kamarnya terbuka lebar, tirainya pun melayang-layang di sebabkan karena angin menampakkan suasana malam yang gelap. Entah antara lupa menguncinya atau bagaimana, Lanna pun tidak tahu. Segera Lanna bangkit berjalan mendekati jendela dengan tergesa-gesa untuk menutup jendela kamar serta tirainya.
Lanna terduduk di bawah jendela, bersandar ke dinding kamar dengan matanya yang mengamati ke sekeliling. Dia takut jika itu bukanlah sebuah mimpi. Bagaimana kalau itu nyata? Pasalnya tadi itu terlihat sangat terlihat asli. Tiba-tiba saja suasana kamarnya agak mencekam. Situasi yang mirip seperti di film hantu yang seringkali di tontonnya saat dulu. Dia menundukkan kepalanya sambil memeluk kedua lutut, berpikir tentang sesuatu.
Ya, wajar saja kalau marah, pikirnya.
Lanna melupakan tentang sesuatu hal sekaligus dia juga mengerti, bahwasanya apa yang terjadi padanya barusan sebab dia sedang menempati kamar seseorang yang sudah meninggal.
Apa jiwanya tidak tenang di sana? Pikirnya.
Kemudian perasaan bersalah pun menyelimutinya.
Keesokan paginya, Lanna bertemu kembali dengan Xavier di kelas. Kelas yang mereka tempati itu memang hanya di huni oleh dua murid saja yakni Lanna dan Xavier, mereka sedang menunggu kedatangan guru Han pagi itu dan duduk bersebelahan di barisan tengah. Xavier dengan pikirannya dan Lanna pun juga sama, sejak kedatangannya ke kelas dia hanya menatap kosong mejanya saja. Tangannya mengeluarkan selembar kertas origami putih polos dari dalam saku seragamnya yang di lipat dua lalu mulai membuat sesuatu. Mula-mula Lanna menelan air salivanya sendiri sebelum memulai bicara.
"Semalam..., aku tidak tahu mimpi atau bukan. Tetapi itu terlalu nyata jika memang di katakan hanyalah sebuah mimpi," ucap Lanna tiba-tiba di tengah-tengah keheningan mereka. Nada suaranya terdengar begitu pelan, gadis itu masih fokus bergelut dengan kertas origaminya.
Xavier yang sedang melamun terhanyut dengan pikirannya sendiri sembari memangku wajah, merasa tertarik. Dia melirik Lanna juga origami di tangan gadis itu tanpa mengubah posisi.
"Aku melihat gadis itu, Serena Lyra. Dia duduk di atas tubuhku dan meneriakiku," sambung Lanna, dia sudah menyelesaikan lipatan origaminya dengan cepat.
"Ah, jadi begitu?"
"Hah!"
Lanna melonjak kaget mendengar suara seorang pria dari belakang. Menolehkan kepala ke belakang dan mendapati guru Han sudah berada di belakang mereka berdua dengan senyuman cerianya tanpa merasa bersalah sedikitpun. Dia lalu melirik ke arah Xavier yang terlihat begitu datar tanpa merasa terkejut sama sekali, berbeda dengannya yang jantungnya ingin terasa copot saat itu juga. Lanna menatap guru Han kesal, guru dan murid lelakinya itu ternyata sama saja kelakuannya. Sama-sama suka mengagetkan orang mentang-mentang keduanya memiliki kemampuan teleportasi.
"Sejak kapan guru Han di belakang kami?" Tanya Lanna.
"Yo! Sejak pertama kali kau berbicara," jawab guru Han. Bangkit dari kursi, berjalan ke depan kelas menuju meja guru dan mendaratkan bokongnya.
Padahal sebenarnya guru Han tinggal bilang sudah dari tadi saja sepertinya agak sulit. Terlebih kata Yo sepertinya memang sebuah ciri khasnya. Sekiranya tebakan Lanna guru Han juga sudah berumur berkisar 35 tahunan.
Guru Han nampak berpikir. "Untuk kali ini dalam sejarah, memang benar-benar pertama kalinya melakukan penculikan jiwa seperti ini,"
Terlebih Xavier memilih salah satu jiwa dari semesta lain.
Lanna menunjuk wajahnya sendiri menatap guru Han. "Jadi... aku yang pertama dan satu-satunya?"
"Itu juga karena keadaannya darurat. Kebetulan juga aku menemukan Lanna," timpal Xavier tanpa memandang Lanna sama sekali, dia lebih condong menatap ke arah luar jendela.
Memang tidak ada alasan khusus kenapa Xavier memilih Lanna, saat itu dia hanya tiba-tiba tercetus saja pemikiran untuk memilih salah satu jiwa dari semesta lain. Setelah banyak memantau Lanna, Xavier merasa cocok terhadap gadis tersebut.
Sebenarnya Lanna masa bodo dengan dirinya yang baru saja menciptakan sejarah baru di negeri ini, Lanna hanya memikirkan tentang kejadian semalam yang menimpanya, bagi Lanna itu sangatlah horor. Seumur hidup belum pernah dirinya di hantui oleh orang yang sudah meninggal seperti itu.
"Yo! Baiklah-baiklah, kalau begitu kita berangkat sekarang," ucap guru Han melangkahkan kakinya keluar kelas.
Lanna bangkit dari kursinya menatap guru Han serta Xavier yang juga ikut beranjak dari kursi mengikuti langkah guru Han.
"Xavier, kita mau kemana?" Lanna berusaha mengejar Xavier, langkahnya sudah sedikit tertinggal.
"Nanti kau juga akan tahu," jawab Xavier.
Lanna tidak mengomentari apa-apa dengan jawaban yang di lontarkan Xavier. Daripada terus bertanya mereka akan pergi kemana yang membuatnya terlihat begitu cerewet dan berisik, akhirnya dia pun ikut saja.
"Kita tidak menggunakan teleportasi?" Tanya Lanna.
"Kau mau?" Tanya balik Xavier.
Lelaki itu kemudian meraih tangan Lanna, menggenggamnya dan membawanya pergi. Menghilang dari sekolah menggunakan kemampuan teleportasi miliknya. Sedangkan guru Han, sudah pergi lebih dulu meninggalkan mereka.
...****************...