Entah dari mana harus kumulai cerita ini. semuanya berlangsung begitu cepat. hanya dalam kurun waktu satu tahun, keluargaku sudah hancur berantakan.
Nama aku Novita, anak pertama dari seorang pengusaha Mabel di timur pulau Jawa. sejak kecil hidupku selalu berkecukupan. walaupun ada satu yang kurang, yaitu kasih sayang seorang ibu.
ibu meninggal sesaat setelah aku dilahirkan. selang dua tahun kemudian, ayah menikah dengan seorang wanita. wanita yang kini ku sebut bunda.
walaupun aku bukan anak kandungnya, bunda tetap menguruku dengan sangat baik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alin26, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 9
Aku mulai ketakutan dengan sikap janggal ayah. Ada apa di depan mobil, sejak tadi dia tidak melepaskan pandangannya. "Ayah, ngapain berenti di sini?" tanyaku sambil menepuk pundaknya.
Ayah menoleh padaku dengan mata berkaca-kaca. "Ada apa, Ayah?"
"Di jembatan ini, Leon kecelakaan," ucapnya dengan bibir bergetar.
Aku hanya terdiam, tak sanggup berkata-kata. Ini pertama kali kulihat ayah menangis.
"Mungkin selama ini Novita pikir ayah ini jahat. Ayah cuman berusaha tegar. Di dalam hati rasanya sakit banget, harus kehilangan dua orang anak," ucap Ayah sambil menatapku.
Aku masih terdiam dengan mata mulai berembun. "Ayah," ucapku seraya meraih tangannya.
"Novita gak marah sama ayah. Novita cuman kesel. Ditambah kepulangan Novita ke Indonesia disambut dengan kepergian Kevin."
Kami terus larut dalam suasana haru, hingga tak sadar ada mata lain yang menatap dari luar.
Dep!
Mobil tiba-tiba mati. Suasana haru kini berubah menjadi menakutkan. Kondisi sangat gelap. Entah kenapa lampu jalan yang di dekat mobil pun ikutan mati.
"Ayah." Aku mulai panik sambil mencondongkan tubuh, mendekati ayah.
"Jangan takut," ucap Ayah, tetap berusaha menyalakan mobil.
Dug!
Bunyi hentakan yang cukup keras di atap mobil. Sukses membuatku menjerit ketakutan dan menundukan kepala. "Ayah!!" teriakku panik.
Mobil menyala.
"Ayah, ayo jalan!" Mobil sudah menyala tapi ayah belum juga pergi dari tempat ini. "Ayah?" tanyaku seraya mengangkat kepala.
Kulihat ada seseorang berdiri di tengah jembatan. Seseorang yang pernah kulihat sebelumnya. Wanita Berambut Panjang itu.
Tut! Tut! Tut!
Ayah menyalakan klakson tiga kali. Matanya beradu dengan sosok itu. Mobil pun mulai berjalan perlahan, mendekati sosok itu.
Aku menutup mata, tak sanggup melihat wajahnya yang begitu menyeramkan. Sangat pucat dengan lengkung mata menghitam.
Kurasakan mobil melaju semakin kencang. Perlahan kubuka mata, ternyata sudah lumayan jauh dari Jembatan. "Ayah gak takut?" Ayah terlihat sangat tenang, seperti tidak terjadi apa-apa.
"Gak usah takut sama begituan," balas Ayah.
"Mukanya serem."
"Namanya juga setan. Novita belum pernah liat setan?"
"Pernah. Sebelumnya pernah liat perempuan tadi."
"Di mana?"
"Di kamar."
"Dia memang penunggu rumah kita, tapi beberapa bulan terakhir ini sering sekali mengganggu dan menampakan diri. Kevin sampai dibuat ketakutan."
"Iya, Novita juga udah tau semua cerita tentang Kevin."
"Mbok Wati udah cerita?"
"Iya."
Obrolan terus berlanjut. Sampai mobil kami tiba di sebuah Warung Pecel Lele, yang letaknya tepat di pinggir jalan besar. Aku pikir ayah bercanda ketika bilang akan makan di sini. "Ya ampun, beneran makan di sini," keluhku.
"Kan tadi ayah udah bilang."
"Iya, aku kira ayah bercanda."
"Novita udah lama juga kan gak makan di sini."
"Terakhir sih pas pulang ke Indo, makan sama bunda."
Warung Pecel Lele ini memang kesukaan bunda. Hampir beberapa hari sekali, bunda selalu mengajak kami makan di sini.
Aku dan ayah turun dari mobil. Pakaianku sukses menjadi pusat perhatian pelanggan lain. Mungkin mereka baru pertama kali lihat wanita mengenakan gaun, makan di warung pinggir jalan.
Kami tidak berlama-lama di warung itu. Setelah selesai makan, langsung melanjutkan perjalanan ke rumah sakit. Lagian, aku juga merasa risih terus dijadikan tontonan orang-orang.
***
Sekitar 10 menit kemudian, kami sudah sampai di rumah sakit. Setelah memarkirkan mobil, kami berjalan masuk ke dalam. Letak kamar perawatan bunda tidak terlalu jauh dari pintu masuk.
Kamarnya cukup besar, ada sebuah sofa panjang dan televisi. Kamar mandinya pun di dalam. Ingin sekali coba menginap di sini, seperti yang pernah dilakukan leon dan Kevin.
Kutatap wajah bunda yang tetap terlihat cantik. Kata ayah, bunda hanya sedang tertidur. Namun dokter sekalipun tidak tau kapan bunda akan bangun. "Coba bundanya diajak ngomong. Biar tau kalau anak kesayangannya datang," perintah Ayah.
Aku berjalan mendekati tempat tidur. Menatap wajah bunda lebih dekat. Lalu menyentuh tangannya. Hangat, itulah yang kurasakan saat menggenggam tangannya.
Belum sempat berucap satu patah kata pun. Air mataku sudah jatuh lebih dulu. Aku membaringkan kepala tepat di samping tubuh bunda. "Bunda," bisikku. "Bunda bangun dong, Novita udah pulang."
"Novita kangen ngobrol sama bunda. Kangen jalan-jalan dan makan bareng bunda."
"Liat deh, Bun. Aku pake gaun cantik, warna gold. Aku juga beliin baju yang sama buat bunda, biar nanti kalau bunda bangun kita bisa kembaran."
Tut!
Bunyi Patient Monitor. Sebuah monitor kecil yang berisikan informasi denyut jantung, respirasi dan tensi. Terlihat angka denyut jantung bunda perlahan naik.
"Bunda?" Angkanya kembali naik. Sepertinya bunda tau aku datang. "Ayah," panggilku sambil menengok ke sofa di belakangku. Namun ayah tidak ada di sana.
"Bunda, Novita di sini." Kedua tanganku menggenggam tangan kirinya, lalu mencium punggung tangannya. "Ayah!" panggilku dengan sedikit meninggikan suara.
Tak lama ayah masuk ke dalam kamar. "Ada apa, Novita?" tanya Ayah bingung.
"Ayah, bunda ...." Terlalu senang sampai membuatku kehilangan kata-kata.
"Ada apa sama bunda?" Ayah mendekatiku.
"Bunda tadi ngerespon omonganku."
"Novita serius?"
"Iya, nih liat." Aku membisikan sesuatu ke telinga bunda. Lalu menatap monitor kecil di dekatnya. "Loh?" Tidak terlihat peningkatan denyut jantung di monitor. "Tadi setiap aku ngomong, angka denyut jantungnya naik," jelasku.
"Mungkin bundanya malu ada ayah," balas Ayah sambil memegang pundakku.
"Bunda?" bisikku, tapi masih tidak ada pergerakan angka di monitor.
"Yuk pulang! Udah malem," ajak Ayah.
"Sebentar lagi, Yah."
"Ayah tunggu di luar ya."
Ayah ke luar kamar.
"Bunda," gumamku pelan.
Tut!