Rara Maharani Putri, seorang wanita muda yang tumbuh dalam keluarga miskin dan penuh tekanan, hidup di bawah bayang-bayang ayahnya, Rendra Wijaya, yang keras dan egois. Rendra menjual Rara kepada seorang pengusaha kaya untuk melunasi utangnya, namun Rara melarikan diri dan bertemu dengan Bayu Aditya Kusuma, seorang pria muda yang ceria dan penuh semangat, yang menjadi cahaya dalam hidupnya yang gelap.
Namun Cahaya tersebut kembali hilang ketika rara bertemu Arga Dwijaya Kusuma kakak dari Bayu yang memiliki sifat dingin dan tertutup. Meskipun Arga tampak tak peduli pada dunia sekitarnya, sebuah kecelakaan yang melibatkan Rara mempertemukan mereka lebih dekat. Arga membawa Rara ke rumah sakit, dan meskipun sikapnya tetap dingin, mereka mulai saling memahami luka masing-masing.
Bagaimana kisah rara selanjutnya? yuk simak ceritanya 🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Queen Jessi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Melangkah Ke Wijaya Group
Pagi itu, Rara Maharani Putri terbangun di kamar kecil, tempat Bi Inah menyiapkan ruang untuknya karena keasikan mengobrol semalaman, rara tertidur pulas di pelukan bi inah. Meskipun kamar bi Inah tidak mewah, kehangatan Bi Inah membuatnya merasa lebih nyaman dibandingkan dengan kamar megah yang ia tempati di rumah ini. Namun, satu hal masih mengganjal di hatinya rara, ia belum bertemu dengan ayahnya, Rendra Wijaya.
“Bi, Ayah belum pulang?” tanya Rara sambil menyesap teh hangat yang disiapkan Bi Inah.
Bi Inah menggeleng. “Belum, Nak. Katanya masih di pertemuan bisnis. Tapi biasanya kalau begini, dia ada di kantornya.”
Rara menatap cangkir di tangannya. Tekadnya kembali menguat. “Kalau begitu, aku akan pergi ke perusahaan. Aku harus bicara dengannya, Bi.”
Bi Inah tampak ragu. “Kamu yakin, Nak? Orang-orang di kantor itu mungkin tidak mudah menerimamu.”
“Aku tidak peduli, Bi. Aku anaknya. Aku punya hak untuk berada di sana,” jawab Rara tegas.
Setelah berpamitan, Rara melangkah keluar dari rumah dengan hati yang penuh tekad. Ia menaiki taksi menuju Wijaya Group, perusahaan besar yang menjadi sumber kekayaan dan kekuasaan keluarganya.
Rara Maharani Putri berdiri di depan gedung Wijaya Group, bangunan megah yang mencerminkan kejayaan keluarga ayahnya, Rendra Wijaya. Namun, di balik kemegahan itu, tersimpan luka dan ketidak adilan yang selama ini Rara rasakan.
Rara menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan keberanian. Sejak kecil, ia tahu dirinya tak pernah dianggap penting oleh ayahnya. Tetapi kali ini, ia tak lagi mau berdiam diri. Haknya sebagai anak Rendra harus ia perjuangkan, meskipun itu berarti menghadapi lelaki yang selalu bersikap dingin dan egois terhadapnya.
Dengan langkah mantap, Rara memasuki lobi perusahaan. Mata para karyawan beralih padanya, beberapa berbisik pelan, mengenal wajah gadis itu sebagai anak Rendra Wijaya yang jarang terlihat.
“Selamat pagi, Mbak. Ada yang bisa kami bantu?” tanya seorang resepsionis dengan senyum profesional.
“Saya ingin bertemu dengan Pak Rendra Wijaya,” ujar Rara tegas.
“Maaf, Mbak. Pak Rendra sedang ada rapat penting. Kalau berkenan, Anda bisa meninggalkan pesan—”
“Saya bukan tamu biasa. Saya Rara Maharani Putri, anak kandungnya. Tolong sampaikan pada beliau bahwa saya ingin bertemu sekarang juga,” potong Rara dengan nada penuh wibawa.
Resepsionis itu terdiam, sedikit gugup, sebelum akhirnya menghubungi lantai atas. Beberapa menit kemudian, seorang pria berkemeja hitam datang menghampiri.
“Maaf, Mbak Rara. Saya Sekretaris Pak Rendra. Beliau sedang sangat sibuk hari ini. Apakah Anda ingin membuat janji lain?”
Rara mengepalkan tangannya. “Kemarin beliau pulang dari dinas, tapi tidak menemui saya di rumah. Sekarang saya ke sini, beliau juga menghindar. Sampai kapan beliau akan bersikap seperti ini?”
“Sekali lagi, maaf, Mbak. Tapi…”
Sebelum pria itu selesai berbicara, Rara sudah melangkah menuju lift. Dua petugas keamanan mencoba menghentikannya, tapi Rara tetap berjalan dengan kepala tegak.
Di lantai atas, suasana koridor sunyi. Ruang rapat besar di ujung lorong terlihat penuh, tapi Rara tidak peduli. Ia membuka pintu dengan lantang, menarik perhatian semua orang di dalamnya.
“Pak Rendra, kita perlu bicara,” ujarnya dengan suara tegas.
Semua mata tertuju pada Rara, termasuk Rendra yang duduk di tengah ruangan. Wajah lelaki itu mengeras.
“Rara, apa-apaan ini?” tanya Rendra, suaranya rendah namun tajam.
“Ini tentang hak saya sebagai anak Anda. Saya sudah cukup bersabar selama ini. Anda mungkin bisa melupakan saya, tapi saya tidak akan membiarkan Anda menghapus saya dari keluarga ini!”
Ruangan menjadi hening. Rendra berdiri perlahan, menatap putrinya dengan dingin.
“Ini bukan tempat untuk drama, Rara,” katanya. “Kita bicara nanti.”
“Tentu saja ini tempatnya,” balas Rara dengan nada menantang. “Karena semua yang duduk di ruangan ini tahu siapa Anda. Tapi mereka tidak tahu apa yang Anda lakukan pada anak Anda sendiri. Anda menjual saya untuk melunasi utang, lalu Anda bahkan tidak mau mengakui saya sebagai ahli waris.”
Desis Rara itu membuat beberapa peserta rapat tersentak. Wajah Rendra tampak memerah, entah karena marah atau malu.
“Cukup, Rara!” bentaknya. “Kita selesaikan ini di tempat lain.”
“Baik,” jawab Rara, menatap ayahnya dengan tajam. “Tapi ingat, saya tidak akan pergi sebelum mendapatkan apa yang menjadi hak saya.”
Rendra mengepalkan tangannya, lalu memberi isyarat kepada sekretarisnya untuk mengakhiri rapat. Rara tahu, pertarungan baru saja dimulai, dan ia tak akan menyerah sampai keadilan berpihak padanya.
Di dalam ruang kerjanya yang megah, Rendra Wijaya duduk dengan sikap angkuh. Saat pintu terbuka dan Rara melangkah masuk, ia menatap putrinya dengan tatapan dingin, seolah kehadiran gadis itu hanyalah gangguan kecil dalam harinya yang sibuk.
"Jadi, akhirnya kamu kembali juga," kata Rendra sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi, senyumnya sinis. "Cukup berani setelah melarikan diri seperti pengecut, ya? Atau mungkin kamu kehabisan tempat untuk bersembunyi?"
Rara mengepalkan tangan, mencoba menahan emosinya. “Saya kembali untuk menuntut apa yang menjadi hak saya, Ayah.”
Rendra mendengus, lalu berdiri, berjalan perlahan mengitari meja kerjanya. "Hak? Kamu berbicara soal hak? Gadis sepertimu tidak punya hak apa pun. Kamu bahkan tidak bisa menjalankan tugas sederhana untuk keluargamu."
“Tugas sederhana?” Rara memandang ayahnya dengan mata berkilat. “Ayah menjual saya kepada pria tua hidung belang, lalu menyebut itu tugas sederhana?”
Rendra tertawa pendek, suaranya penuh penghinaan. “Dan apa yang kamu harapkan? Aku punya banyak utang saat itu. Kamu pikir aku bisa mempertahankan perusahaan ini tanpa pengorbanan? Aku memberikanmu kesempatan untuk menyelamatkan keluarga kita, tapi apa yang kamu lakukan? Kamu kabur. Meninggalkan semuanya.”
“Kesempatan?” Rara menggertakkan giginya. “Kesempatan untuk menjadi barang dagangan? Saya adalah anak Anda, bukan alat untuk membayar utang!”
Rendra mendekat, berdiri hanya beberapa inci dari Rara. “Dan sekarang kamu kembali, berpikir bisa menuntut sesuatu dariku? Kamu tidak layak. Kamu tidak lebih dari kenangan memalukan yang seharusnya sudah kulupakan.”
Rara menelan ludah, merasakan hatinya retak mendengar kata-kata itu. Tapi ia menegakkan punggungnya, menatap langsung ke mata ayahnya.
“Saya memang melarikan diri, tapi bukan karena saya pengecut. Saya pergi karena saya tahu harga diri saya lebih berharga daripada semua harta yang Anda miliki. Dan sekarang, saya akan memastikan bahwa saya mendapatkan apa yang seharusnya menjadi milik saya. Mau Anda suka atau tidak, saya tetap anak Anda, dan saya akan memperjuangkan hak saya.”
Rendra mendengus, kembali ke kursinya. “Kita lihat saja, Rara. Dunia ini tidak pernah berpihak pada orang lemah seperti kamu.”
Tapi kali ini, Rara tidak akan goyah. Kata-kata ayahnya tidak akan lagi mematahkan semangatnya. Ia berbalik, meninggalkan ruangan itu dengan tekad yang semakin kuat. Pertarungan belum berakhir, dan ia bersumpah akan menang.