Raka, seorang pemuda 24 tahun dari kota kecil di Sumatera, datang ke Jakarta dengan satu tujuan, mengubah nasib keluarganya yang terlilit utang. Dengan bekal ijazah SMA dan mimpi besar, ia yakin Jakarta adalah jawabannya. Namun, Jakarta bukan hanya kota penuh peluang, tapi juga ladang jebakan yang bisa menghancurkan siapa saja yang lengah
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irhamul Fikri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9 Pilihan yang Tak Terduga
Pagi itu, Jakarta seperti biasa, penuh dengan hiruk-pikuk. Matahari baru saja menyembul dari balik gedung-gedung tinggi, tetapi suara klakson, pedagang kaki lima, dan kendaraan yang berlomba-lomba di jalanan sudah memenuhi udara. Raka, yang sedang bersiap untuk kembali ke proyek Tanah Abang, merasa ada sesuatu yang berbeda. Perasaan itu, meski samar, membuatnya sedikit gelisah.
Di lokasi proyek, suasana lebih sibuk dari biasanya. Pak Hasan memanggil semua pekerja untuk briefing pagi. Ia berdiri di depan, dengan sikap tegas seperti biasa, namun ada nada serius yang lebih dalam dari biasanya.
“Proyek ini menghadapi tantangan besar,” ujar Pak Hasan, sambil menatap para pekerja satu per satu. “Ada perubahan jadwal. Kita harus mempercepat pekerjaan, karena klien meminta semuanya selesai dua minggu lebih awal. Ini bukan permintaan mudah, tapi saya yakin tim kita mampu.”
Raka tertegun. Mempercepat pekerjaan berarti jam kerja lebih panjang, risiko kecelakaan meningkat, dan tekanan semakin besar. Ia menoleh ke Dimas, yang berdiri di sampingnya, tetapi temannya itu hanya menghela napas panjang.
“Gue udah kebayang, bakalan begadang terus nih,” bisik Dimas pelan.
Raka mengangguk, meski dalam hatinya ia merasa ragu. Apakah ia benar-benar sanggup menghadapi tekanan ini?
**Pilihan yang Sulit**
Saat jam istirahat siang, Raka duduk sendirian di sudut proyek. Di tangannya, ada secarik kertas yang baru saja diberikan oleh Pak Hasan. Itu adalah penawaran untuk mengambil posisi baru di proyek, sebagai asisten pengawas. Posisi itu berarti tanggung jawab lebih besar, tetapi juga gaji yang lebih tinggi dan peluang untuk naik karier.
Namun, ada satu hal yang membuat Raka bimbang. Jika ia menerima posisi itu, ia harus mengorbankan banyak waktu untuk belajar keterampilan teknis yang selama ini ia nikmati. Sebagai asisten pengawas, ia lebih banyak bekerja di kantor lapangan, mengurus laporan, dan mengawasi jalannya pekerjaan, daripada turun langsung menangani material seperti yang ia lakukan sekarang.
“Gimana menurut lo, Dim?” tanya Raka kepada Dimas, yang duduk di sebelahnya sambil mengunyah roti.
“Ini kesempatan bagus, bro,” jawab Dimas sambil menatap kertas di tangan Raka. “Jarang-jarang ada pekerja baru yang langsung ditawarin posisi kayak gini. Lo harus ambil. Ini bakal bikin karier lo melesat.”
“Tapi gue belum yakin, Dim. Gue suka kerja langsung di lapangan. Kalau gue jadi pengawas, gue bakal lebih banyak di belakang meja.”
Dimas tertawa kecil. “Lo tahu kan, nggak selamanya lo bakal bisa angkat-angkat material atau pasang kerangka baja. Cepat atau lambat, lo harus naik level. Ini waktunya.”
**Mendekat ke Keputusan**
Malam itu, di kosannya, Raka duduk termenung di depan meja kecil. Ia memandangi secarik kertas itu berulang kali, mencoba membayangkan seperti apa hidupnya jika ia menerima posisi itu.
Di satu sisi, ia tahu Dimas benar. Posisi itu adalah peluang besar yang mungkin tidak akan datang dua kali. Namun di sisi lain, Raka merasa belum sepenuhnya siap. Ia masih ingin belajar lebih banyak di lapangan, memahami detail teknis pekerjaan yang selama ini membuatnya merasa hidup.
Ia membuka ponselnya dan menghubungi ibunya di kampung. Saat suara lembut ibunya terdengar, semua beban yang ia rasakan sedikit berkurang.
“Gimana kerjaan kamu, Nak? Lancar?” tanya ibunya.
“Lancar, Bu. Tapi ada tawaran baru di tempat kerja. Kalau aku ambil, mungkin aku nggak akan terlalu sering kerja di lapangan lagi.”
“Kalau menurut ibu, ambil aja kalau itu baik buat kamu. Tapi ingat, jangan lupa sama apa yang bikin kamu bahagia. Kalau kamu merasa terlalu berat, nggak ada salahnya buat tetap di tempat yang bikin kamu nyaman.”
Kata-kata sederhana itu membuat Raka terdiam. Kebahagiaan. Ia sudah lama tidak memikirkan hal itu. Dalam beberapa bulan terakhir, hidupnya terasa seperti perlombaan tanpa akhir—mengejar target, membuktikan diri, dan bertahan di kerasnya Jakarta.
**Hari Penentuan**
Keesokan harinya, Raka kembali ke lokasi proyek dengan hati yang masih bimbang. Pak Hasan memanggilnya ke kantor kecil di sudut lokasi untuk membahas keputusan tentang tawaran itu.
“Jadi, bagaimana, Raka? Kamu mau ambil posisi ini atau tidak?” tanya Pak Hasan dengan nada serius.
Raka terdiam sejenak. Ia memikirkan semua yang telah ia lalui, semua pelajaran yang ia dapatkan, dan semua mimpi yang ingin ia capai. Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, ia akhirnya menjawab.
“Saya akan ambil, Pak. Tapi saya minta satu hal.”
Pak Hasan mengerutkan kening. “Apa itu?”
“Saya tetap ingin sesekali turun ke lapangan, Pak. Saya ingin tetap belajar dari bawah, meskipun posisi saya berubah.”
Pak Hasan tersenyum tipis, sesuatu yang jarang terjadi. “Kamu punya semangat yang bagus, Raka. Baiklah, saya setuju. Tapi ingat, tanggung jawab kamu sekarang lebih besar. Jangan kecewakan saya.”
Raka mengangguk mantap. Ia tahu, keputusannya ini akan membawa perubahan besar dalam hidupnya. Namun, untuk pertama kalinya, ia merasa yakin bahwa ia telah memilih jalan yang benar.
**Refleksi di Malam Hari**
Malam itu, saat berjalan pulang, Raka merasakan angin malam yang hangat menyapa wajahnya. Jakarta tetap sama—gemerlap, penuh tantangan, dan tidak pernah berhenti bergerak. Namun, di dalam dirinya, ada sesuatu yang berubah.
Ia tahu, tanggung jawab barunya tidak akan mudah. Akan ada tekanan yang lebih besar, harapan yang lebih tinggi, dan mungkin juga lebih banyak kegagalan. Tapi ia siap. Jakarta telah mengajarinya untuk bertahan, dan kini ia merasa siap untuk melangkah lebih jauh.
Di bawah lampu jalan yang redup, Raka tersenyum. Ini adalah awal baru, babak baru dalam perjuangannya. Apa pun yang akan terjadi, ia berjanji pada dirinya sendiri untuk terus maju, untuk tidak menyerah, dan untuk membuktikan bahwa ia bisa menjadi bagian dari kerasnya kota ini—tidak hanya sebagai penonton, tetapi sebagai pemain yang tangguh.
Langkah Raka semakin mantap saat mendekati kosannya. Malam itu, Jakarta terasa lebih hidup dari biasanya, seolah mengiringi langkah kecilnya menuju perubahan besar.
Di kepalanya, berbagai rencana mulai tersusun bagaimana ia akan menjalani tanggung jawab baru ini, bagaimana ia akan membuktikan bahwa keputusannya bukanlah kesalahan.
Sesampainya di kamar, Raka memandang jendela kecil yang selalu menjadi tempatnya merenung. Ia membuka jendela itu, membiarkan angin malam menyelinap masuk.
Jakarta, dengan segala kerasnya, kini terasa seperti medan tempur yang siap ia taklukkan.
“Gue nggak cuma mau bertahan di sini,” bisiknya pelan, seperti berjanji pada dirinya sendiri. “Gue mau menang.”
Di luar sana, kota tetap gemerlap, menyimpan jutaan mimpi yang sedang diperjuangkan. Dan di dalam kamar kecilnya, Raka memejamkan mata dengan satu keyakinan—jalan yang ia pilih ini mungkin sulit, tetapi ia tahu, di ujungnya ada cahaya yang sedang menunggunya.
hadeh hadeh, kesal banget klo inget peristiwa pd wktu itu :)