Andai .... kata yang sering kali diucapkan di saat semua sudah berlalu. Di saat hal yang kita ingin gapain tersandung kenyataan dan takdir yang tidak bisa terelakan. Kadang aku berpikir andai saja waktu itu ibuku tidak meninggal, apakah aku masih bisa bersamanya? ataukah justru jika ibuku hidup kala itu aku bahkan tidak akan pernah dekat dengannya.
Ahhh ... mau bagaimana lagi, aku hanyalah sebuah wayang dari sang dalang maha kuasa. Mengikuti alur cerita tanpa tau akhirnya akan seperti apa.
Kini, aku hanya harus menikmati apa yang tertinggal dari masa-masa yang indah itu. Bukan berarti hari ini tidak indah, hanya saja hari akan terasa lebih cerah jika awan mendung itu sedikit saja pergi dari langitku yang tidak luas ini. Tapi setidaknya awan itu kadang melindungiku dari teriknya matahari yang mungkin saja membuatku terbakar. Hahaha lucu sekali. Aku bahkan kadang mencaci tapi selalu bersyukur atas apa yang aku caci dan aku sesali.
Hai, aku Ara. Mau tau kisahku seperti apa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mamah Mput, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Studio Musik
Mobil melaju dengan cukup kencang, membelah jalanan yang lengang tanpa ada hambatan. Tumben.
Otakku seakan mati, tidak bisa berpikir sedikitpun. Tidak tahu harus bagaimana dan melakukan apa. Mulut pun kelu.
Saat melewati pertigaan lampu merah, seharunya mobil berbelok ke kiri, tapi Alan tetap melaju lurus. Itu bukan arah menuju rumah tapi aku tidak ingin bertanya kenapa dan akan ke mana.
Untuk menenangkan hati dan pikiran, aku mencoba memalingkan wajah mengusap kaca luar mobil. berusaha menikmati pemandangan yang sebenarnya tidak ada indahnya sama sekali. Hanya gedung-gedung tinggi yang menjulang. Tak apalah, namanya juga usaha.
Mobil kami masuk ke pelataran sebuah gedung. Entah gedung apa itu. ingin bertanya tapi segan, tidak bertanya penasaran. Belum lagi jantungku yang semakin tak karuan.
Kami parkir di sebuah basement. Mobil terhenti, lalu dia keluar tanpa sepatah katapun. Sementara aku? Aku masih diam dengan kebodohan yang hakiki.
Pergi bersama Alan harus sangat pintar sepertinya, tanpa bicara dan hanya bertindak saja. Seperti saat ini dia membukakan pintu mobil untukku, itu artinya aku harus turun bukan? Baiklah, aku turun dengen perlahan.
Dia tidak mengatakan apapun dan pergi begitu saja. Dan aku mengekorinya seperti anak bebek di belakang sang induk.
Kami mulai menaiki sebuah lift, dia menekan angka 16 itu artinya tujuan kami berada di lantai tersebut.
Tringggg! Pintu lift terbuka, dia melangkah cepat dan aku segera mengikutinya kembali. Sebenarnya tidak cepat, hanya saja langkah dia memang lebar karena dia berpostur tinggi, sementara aku? Ya perbandingannya adalah satu langkah baginya, dua langkah setengah kakiku.
Tanpa bertanya kini aku tahu dia membawaku ke mana. Studio musik.
Ya, Alan adalah seorang CEO sebuah agensi musik dan para aktris terkenal. Ternyata dia membawaku ke tempat kerjanya.
"Wah, bawa siap Lo?" tanya seseorang.
"Itu pasti Amara. lagian mana mungkin Alan bawa perempuan sembarangan ke sini," ujar pria yang satunya lagi.
Entah apa yang harus aku lakukan sekarang. Haruskah aku menyapa mereka dan memperkenalkan diri? Atau .... Mbuhlah, mumet.

"Kamu baru pulang sekolah? Udah makan belum?"
Aku menggelengkan kepala pelan.
"Om, putih banget." Ah, elah. Kenapa juga sekalinya bicara harus kata itu yang keluar dari mulut. Tapi sebagian pria, orang itu memang sangat putih dan mulus. Berbanding jauh dengan kulitku. Ah, mindernya gak ketulungan ini sih.
"Hahaha. Bawaan lahir. Ibuku bilang aku adalah pangsit rebus."
"Cocok kok. putih, mengkilat dan kenyal."
"Kenyal? Memangnya udah pernah coba?" tanya laki-laki yang rambutnya sedikit ikal.
Aku mengangguk dengan percaya diri, lagi pula siapa yang belum pernah mencoba memakan pangsit?
Pria yang memakai baju hitam dan yang bertanya padaku tertawa renyah. Pun dengan om pangsit. Dia tertawa tapi seakan ditahan tidak selepas kedua temannya.
"Bisa kalian berhenti?"
Hening seketika.
Singkat, padat, dan sangat dingin. Ucapannya yang hanya tiga kata itu berhasil membuat mulut mereka bertiga terdiam seketika.
Apa mereka takut pada Alan?
"Kamu tunggu di ruangan itu saja, ya. Kami harus menyelesaikan sebuah lagu. Ada makanan dan minuman juga." pria yang memakai baju hitam mengantarkan aku ke sebuah ruangan. Ruangan yang sangat rapi dan tertata, serta wangi.
"Nama om siapa?" tanyaku sebelum dia menutup pintu.
"Ah, iya. Kita belum kenalan ya? Nama saya Vincent, panggil saja V. Kalau yang pangsit rebus itu Yoohan, panggil saja Yoon. Nah, om yang satunya namanya Chandra, panggi saja om chan."
"Oh, iya. Makasih ya, Om."
"Waduh, panggil saja kami kakak. Sama kayak kamu panggil Alan. Memangnya kita-kita di sini udah keliatan tua ya? Hahaha."
"Iya."
V kembali tertawa. Hingga tawa itu seketika terhenti saat Alan batuk. mungkin bukan batuk tapi memberi tanda untuk V agar dia segera pergi dari sana.
Pintu pun tertutup.
Melihat sekeliling adalah hal yang pertama aku lakukan. luar biasa, tempat ini begitu apik dan bersih. Nuansa monokrom membuatnya terlihat elegan dan juga cool.
Apa ini kantor kak Alan?
Ada lemari es besar juga di sana. Teringat ucapan V bahwa di ruangan ini ada makanan. Mungkin di sana dia berada. Dan benar saja. Saat aku buka, isinya begitu lengkap.
Berbagi macam minuman, Chiki, dan juga cokelat. Ada beberapa macam permen juga tapi tidak terlalu banyak. Buah potong pun tersedia dalam kotak bening hingga kita bisa melihat buah apa yang ada di dalam.
Aku mengambil beberapa macam Chiki, cokelat dan susu. Menunggu mereka yang entah kapan akan selesainya.
Satu jam, dua jam, hingga empat jam berlalu. Aku bahkan udah bosan dengan makanan yang ada di sini. Mereka belum juga selesai.
Drrrrtttttt. ponsellu bergetar.
Mama Lusy.
"Halo, Mah."
"Sayang, kamu di mana? Udah jam berapa ini kenapa belum pulang? Ada tugas sekolah? Lagi kerja kelompok? Di mana? nanti mama jemput."
"Aku ada di studio kak Alan, Mah."
"Alan? Kamu lagi sama dia?"
"Iya, tadi Abang gak bisa jemput, jadi kak Alan yang jemput aku. Maaf ya, Mah. lupa gak kasih kabar."
"Mama khawatir."
"Iya, Mah. Maaf ya."
"Ya udah, kalau kamu lagi sama Alan sih gak apa-apa. Udah makan belum?"
"Belum mah, tapi ...."
Tut Tut Tut.
Sebelum ponsel terputus aku sempat mendengar Mama Lusy mengumpat. Apa itu padaku?
Rasa bosan mulai kembali menerpa. Nonton film di ponsel, main game, ngemil, itu semua gak bisa mengobati rasa jenuhku yang terlalu lama berada di dalam.
Aku pikir lebih baik keluar dan melihat bagaimana mereka saat membuat sebuah lagu.
Duk!
"Aduhhh!"
Saat hendak membuka pintu, pintu itu lebih dulu terbuka dan mengenai kepalaku. rupanya Chan yang membuka pintu dari luar.
"Eh, sorry ... Sorry. Coba sini liat." Dia berusaha memberikan keningku yang kejedot pintu akibat ulahnya itu.
Alan berdiri, dia menghampiri lalu mendorong pelan tubuh Chan.
Dia menyingkirkan tanganku yang sedang memegang kening. Dia memperhatikan dengan seksama.
Tanpa berkata apa-apa, dia kembali duduk ke tempat semula.
Udah, gitu doang? CK!
Aku menghela nafas dalam. Bukan karena sikapnya tapi lebih ke putus asa. Aku benar-benar ingin pulang.
"Kenapa, Ra? Mulai bete ya?" tanya Yoon. Aku mengangguk pelan.
"Lan, gue anterin adik Lo balik lah ya. Lo masih lama kan di sini?"
Tidak ada jawaban.
"Oke, diam tandanya iya. Ayo, Ra. Aku anterin kamu balik."
"Eh, tapi kak."
"Udah, gak apa-apa. Alan pasti setuju kok."
Yoon menarik tas punggungku seperti menarik anak kucing. Aku berkali-kali melirik Alan meminta kepastian apakah aku benar-benar boleh pergi bersama Yoon?
Sial! Dia bahkan tidak melirik sedikitpun. Asik aja gitu dengan kerjanya.
Yah, lagi pula apa yang aku harapkan. Tidak akan ada kakak protektif yang sering aku lihat di film-film. Toh kenyataannya aku memang bukan adik baginya. Aku lupa bahwa hanya Bryan yang beneran berperan seperti kakak untukku.