Cegil? itulah sebutan yang pantas untuk Chilla yang sering mengejar-ngejar Raja.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rrnsnti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bunda
Suasana lapangan basket hari ini begitu ramai. Sorakan dari para siswa dan siswi memenuhi udara, memberikan semangat kepada para pemain yang sedang bersiap bertanding. Di tribun penonton, Chilla dan Peti sudah duduk di barisan paling depan, memastikan mereka mendapatkan pandangan terbaik dari pertandingan yang akan segera dimulai. Tapi mata Chilla tidak fokus pada lapangan. Pandangannya terus mengikuti Raja, yang baru saja datang bersama Sella.
Raja, dengan senyuman yang tampak hangat, menggandeng tangan Sella. Dia menuntun gadis itu untuk duduk tepat di samping Peti. Hati Chilla langsung mendidih melihat pemandangan itu.
“Tunggu di sini ya,” ujar Raja lembut pada Sella sambil mengusap kepalanya dengan sayang. “Nanti kalau udah selesai, aku yang nyamperin kamu.”
Chilla berusaha menjaga ekspresi wajahnya tetap netral, meskipun dalam hati ia sudah ingin melempar sesuatu ke arah Raja. Tapi, itu belum cukup. Sella membalas dengan suara lembut yang semakin membuat Chilla kesal.
“Semangat ya, sayang,” ucap Sella manja. “Kalau kamu menang, nanti aku kasih hadiah.”
Raja tersenyum sambil mengangguk. Namun, sebelum pergi ke lapangan, dia sempat menatap Chilla sekilas. Tatapan itu membuat Chilla semakin panas. Apa maksud Raja melihatnya seperti itu? Seolah sedang mengejeknya?
“Gue gak bakal biarin lo lama-lama sama nenek lampir ini, Ja,” pikir Chilla sambil melirik Sella dari ujung mata. Meski wajahnya tetap terlihat tenang, pikirannya sudah dipenuhi dengan rencana balas dendam. Dia tidak akan tinggal diam melihat Sella dengan santainya merebut perhatian Raja, suaminya. Ya, meskipun tidak ada yang tahu tentang status mereka, Chilla merasa punya hak untuk melawan.
Sambil berpura-pura memegang ponselnya dengan santai, Chilla langsung mengirim pesan kepada Bunda Mila.
“Bun, ajak Raja makan malam di rumah malam ini. Bilang kalau ada hal penting yang mau dibicarakan. Aku juga akan datang.”
Chilla tersenyum puas setelah mengirim pesan itu. Kalau ada satu orang yang pasti bisa menarik perhatian Raja, itu adalah Bundanya. Dia yakin rencananya akan berhasil. Tidak peduli seberapa manis Sella bertingkah, dia akan memastikan Raja menghabiskan malamnya di rumah bersama keluarga, jauh dari si nenek lampir.
“Lo ngapain senyum-senyum sendiri?” tanya Peti tiba-tiba, membuyarkan pikiran Chilla.
“Enggak. Gue cuma lagi mikirin sesuatu,” jawab Chilla sambil menyembunyikan ponselnya.
Sorakan dari tribun semakin ramai saat pertandingan dimulai. Raja terlihat lincah di lapangan, memimpin timnya dengan penuh percaya diri. Chilla sebenarnya bangga melihatnya, tapi tetap saja rasa kesalnya pada Sella tidak bisa hilang begitu saja. Setiap kali Sella bersorak dengan suara manja, Chilla harus menggigit bibirnya agar tidak kehilangan kesabaran.
“Lo kenapa sih? Bete amat,” tanya Peti lagi, melihat Chilla yang semakin cemberut.
“Gue kesel aja,” jawab Chilla pendek. “Nggak ada yang penting.”
Pertandingan berjalan sengit, tapi fokus Chilla tidak sepenuhnya ada di sana. Dia lebih sibuk mengatur rencana berikutnya. Dalam hati, dia sudah membayangkan bagaimana Sella akan kecewa saat tahu Raja harus pergi meninggalkannya malam ini.
“Lihat aja, Ren,” pikir Chilla sambil tersenyum licik. “Malam ini, lo cuma buat gue.”
******
Sorakan kemenangan menggema di lapangan basket ketika tim Raja akhirnya berhasil mengalahkan lawan mereka. Para pemain saling berpelukan, dan sorak-sorai penonton makin menggila. Raja terlihat berjalan keluar lapangan dengan peluh membasahi wajahnya, namun senyumnya tak pernah pudar. Di tribun, Sella berdiri sambil melambai ke arahnya, membawa sebotol air mineral.
“Sayang, hebat banget kamu!” seru Sella dengan penuh semangat ketika Raja menghampirinya. Dia menyodorkan botol air itu dengan manja, namun sebelum Raja sempat menerimanya, ponselnya bergetar.
Raja mengangkat alis saat melihat nama yang tertera di layar. Bunda Mila. Dia segera membuka pesan tersebut dan membaca isinya.
Raja, datang ke rumah sekarang sama Chilla. Bunda mau bicara sesuatu yang penting.
Raja menghela napas panjang. Jika yang mengirim pesan itu bukan Bunda Mila, dia pasti akan mengabaikannya. Tapi ini mertua sekaligus ibu kandung Chilla. Jika dia berani menolak atau mengabaikannya, bukan hanya Bunda Mila yang akan kecewa, tetapi juga ayahnya.
Sella yang melihat perubahan ekspresi Raja langsung memasang wajah khawatir. “Kenapa, sayang? Ada apa?” tanyanya dengan nada lembut.
Raja segera memasukkan ponselnya ke saku, mencoba tetap tenang. “Enggak apa-apa, aku cuma dapat pesan dari rumah. Ada urusan mendadak.”
Sella mendengus kecewa. “Tapi kan aku mau ajak kamu ngedate hari ini, yang. Aku pengen kita jalan-jalan malam bareng, seru kan? Udah lama juga kita enggak quality time.”
Raja merasa sedikit bersalah, tapi dia tahu tidak ada pilihan lain. “Maaf ya, sayang. Urusan ini penting banget. Nanti kalau urusannya selesai cepet, aku bakal langsung temuin kamu,” ujar Raja, berbohong.
Sella terlihat kecewa, tapi dia tidak memaksa. “Ya udah, tapi jangan lupa kabarin aku, ya. Aku nungguin.”
Raja mengangguk sebelum melirik Chilla yang berdiri tak jauh dari mereka. Gadis itu terlihat memasang senyum puas di wajahnya.
“Mampus lo, Sella. Mau sampai kapanpun gue tetap prioritas Raja,” pikir Chilla dalam hati. Dia tahu betul, sekuat apapun Sella mencoba, dia adalah satu-satunya istri sah Raja, dan kali ini Bunda Mila kembali membantunya memenangkan permainan ini.
Setelah berpamitan dengan Sella, Raja menghampiri Chilla dengan wajah kesal. “Lo puas sekarang?” tanyanya dengan suara rendah, memastikan tidak ada yang mendengar.
“Puas banget,” sahut Chilla sambil menyeringai. “Bunda gue itu selalu tahu kapan waktunya buat nyelamatin pernikahan kita. Jadi, lo siap-siap aja, Ja. Malam ini lo punya kewajiban sebagai suami.”
Raja hanya menggelengkan kepala. “Lo bener-bener manipulatif banget. Gue nggak ngerti kenapa Bunda lo begitu percaya sama lo.”
“Karena gue anak kesayangannya,” jawab Chilla santai. Dia kemudian berjalan mendahului Raja, meninggalkan Sella yang masih berdiri di tribun dengan wajah kecewa.
Di perjalanan menuju rumah Bunda Mila, suasana di dalam mobil terasa tegang. Raja mengemudi dengan raut wajah kesal, sementara Chilla sibuk memainkan ponselnya, terlihat puas dengan keberhasilannya.
“Gue bener-bener nggak ngerti apa maunya lo, Chilla,” ucap Raja akhirnya, memecah keheningan.
“Gue cuma nggak mau lo jalan sama cewek lain, itu aja. Lo tahu kan gue istri lo? Jadi, wajar dong kalau gue jagain hak gue,” jawab Chilla tanpa merasa bersalah.
“Lo lupa ya, pernikahan kita ini cuma formalitas. Gue nggak pernah anggap lo istri gue.”
“Terserah lo mau anggap gue apa. Yang penting di mata orang tua lo dan gue, gue tetap istri sah lo. Jadi, mau sampai kapanpun, lo nggak bisa kabur dari kenyataan itu, Raja.”
Raja menghela napas panjang. Dia tahu perdebatan ini tidak akan pernah berakhir.
Setibanya di rumah Bunda Mila, keduanya disambut dengan senyum hangat dari wanita paruh baya itu.
“Raja, Chilla, masuk. Bunda udah siapin makan malam. Kita ngobrol setelah makan, ya,” ucap Bunda Mila dengan penuh kelembutan.
Chilla melirik Raja dengan pandangan menang. Kali ini, dia berhasil lagi. Setidaknya untuk malam ini, Raja tidak akan bersama Sella. Dan itu sudah cukup untuk membuatnya puas.