Hidup Kirana Tanaya berubah dalam semalam. Ayah angkatnya, Rangga, seorang politikus flamboyan, ditangkap KPK atas tuduhan penggelapan dana miliaran rupiah. Keluarga Tanaya yang dulu disegani kini jatuh ke jurang kehancuran. Bersama ibunya, Arini—seorang mantan sosialita dengan masa lalu kelam—Kirana harus menghadapi kerasnya hidup di pinggiran kota.
Namun, keterpurukan ekonomi keluarga membuka jalan bagi rencana gelap Arini. Demi mempertahankan sisa-sisa kemewahan, Arini tega menjadikan Kirana sebagai alat tukar untuk mendapatkan keuntungan dari pria-pria kaya. Kirana yang naif percaya ini adalah upaya ibunya untuk memperbaiki keadaan, hingga ia bertemu Adrian, pewaris muda yang menawarkan cinta tulus di tengah ambisi dan kebusukan dunia sekitarnya.
Sayangnya, masa lalu keluarga Kirana menyimpan rahasia yang lebih kelam dari dugaan. Ketika cinta, ambisi, dan dendam saling berbenturan, Kirana harus memutuskan: melarikan diri dari bayang-bayang keluarganya atau melawan demi membuktika
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lucky One, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jebakan
Kirana duduk di depan cermin, menatap bayangan dirinya yang perlahan berubah di bawah sentuhan tangan ibunya. Arini sibuk mengaplikasikan makeup tipis di wajah Kirana, memastikan riasannya tetap lembut namun menonjolkan kecantikan alaminya.
“Mah, kenapa aku harus dandan seperti ini? Bukannya kita cuma mau bertemu seseorang untuk urusan pekerjaan?” tanya Kirana dengan nada bingung.
Arini berhenti sejenak, menatap Kirana melalui pantulan cermin. “Sayang, ini penting. Haryo adalah pria yang sangat berpengaruh. Kalau kamu terlihat cantik dan anggun, dia akan lebih terkesan. Ini bisa jadi peluang besar untuk masa depanmu.”
Kirana mengernyitkan dahi, tangannya meremas ujung gaun merah yang sedikit terbuka di bagian dada. “Tapi, mah… baju ini terlalu terbuka. Aku merasa nggak nyaman.”
Arini mendekati Kirana, meletakkan tangan di pundaknya. “Kirana, dengar. Hidup kita sedang sulit. Kalau kamu ingin membantu keluarga, kamu harus sedikit berkorban. Haryo adalah pria baik yang bisa membuka banyak pintu untuk kita. Dia mungkin bisa membantumu mendapatkan pekerjaan atau bahkan beasiswa.”
Kirana menunduk, mencoba mencerna kata-kata ibunya. “Tapi, kenapa harus seperti ini? Kenapa aku harus berpakaian seperti… ini?”
Arini menghela napas panjang, mencoba menahan kesal. “Sayang, kamu masih muda. Dunia ini keras. Kadang, kamu harus bermain sesuai aturannya kalau ingin berhasil. Aku hanya ingin kamu punya kesempatan lebih baik daripada yang pernah aku punya.”
Kirana tidak menjawab, hanya menatap pantulan dirinya di cermin dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, ia ingin percaya pada ibunya. Tapi di sisi lain, hatinya merasa ada sesuatu yang tidak benar.
“Sudahlah, Kirana,” Arini berkata, suaranya lebih lembut. “Percayalah pada mama. Ini semua demi kebaikanmu.”
Dengan berat hati, Kirana mengangguk. Dalam hatinya, ia berharap ibunya benar.
...****************...
Arini menatap Kirana dari kursi pengemudi dengan senyuman kecil, mencoba memberikan dorongan. Mereka telah tiba di depan hotel mewah di pusat kota. Lampu-lampu terang menyala, menciptakan suasana megah yang membuat Kirana merasa semakin gugup.
“Sudah sampai, sayang,” ujar Arini, menepuk tangan Kirana lembut.
Kirana menggigit bibirnya, matanya menatap hotel yang menjulang tinggi di depannya. “Mah… aku nggak yakin soal ini. Apa aku harus benar-benar melakukannya?”
Arini menahan napas, mencoba menyembunyikan rasa bersalah yang muncul. Ia mengulurkan tangan, menggenggam tangan Kirana erat. “Kirana, kamu sudah besar. Ini bukan hal yang buruk. Kamu hanya perlu berbicara dengan Haryo. Dia pria baik, dan aku yakin dia akan membantumu. Percayalah pada mama.”
Kirana mengangguk pelan, meskipun hatinya masih diliputi keraguan. Ia keluar dari mobil, merapikan gaun merahnya yang terasa tidak nyaman di tubuhnya, lalu berjalan memasuki hotel.
Setelah menanyakan kamar yang sudah dipesan, Kirana menaiki lift menuju lantai paling atas. Jantungnya berdegup kencang ketika pintu lift terbuka, memperlihatkan restoran eksklusif dengan suasana intim. Ia melihat seorang pria dengan jas mahal duduk di meja pojok, tersenyum lebar ke arahnya.
“Halo, kamu pasti Kirana,” sapa Haryo ramah, berdiri dan mengulurkan tangan.
“Iya, Pak Haryo,” jawab Kirana sambil menjabat tangannya.
“Panggil saya Haryo saja. Tidak perlu formal,” ujar Haryo sambil mempersilakannya duduk.
Kirana mengangguk dan duduk dengan kaku di kursi yang empuk. Haryo memanggil pelayan, memesan beberapa makanan mahal yang tidak pernah ia dengar sebelumnya.
“Kirana, kamu cantik sekali malam ini,” puji Haryo dengan nada yang terasa tulus.
Kirana tersipu, mencoba tersenyum. “Terima kasih.”
Obrolan mereka awalnya ringan. Haryo bertanya tentang kehidupan Kirana, impiannya, dan kesulitannya mencari pekerjaan. Cara bicaranya yang lembut membuat Kirana merasa sedikit nyaman, meskipun masih ada perasaan aneh di hatinya.
Setelah beberapa waktu, Haryo memanggil pelayan lagi. Kali ini, ia memesan dua gelas anggur merah.
Kirana tertegun melihat minuman itu disajikan di depannya. “Maaf, Pak… maksud saya, Haryo. Saya tidak minum alkohol.”
Haryo tersenyum, mendorong gelas itu ke arahnya. “Anggur ini sangat ringan, hanya untuk menenangkan diri. Kamu pasti gugup, bukan? Cobalah sedikit saja.”
Kirana menggeleng pelan, merasa tidak nyaman. “Saya benar-benar tidak biasa minum.”
Haryo mendekatkan gelas itu lagi. “Kirana, santai saja. Saya tidak akan memaksamu. Tapi, ini adalah cara orang dewasa untuk rileks. Kalau kamu ingin sukses di dunia ini, kamu harus belajar menyesuaikan diri.”
Kirana ragu-ragu, tetapi akhirnya mengangkat gelas itu dan menyesapnya sedikit. Rasa anggur yang asing dan pahit membuatnya meringis.
Haryo tertawa kecil. “Pelan-pelan saja. Nanti juga kamu akan terbiasa.”
Mereka melanjutkan obrolan, tetapi Kirana mulai merasa aneh. Suasana di restoran itu, meskipun formal, terasa semakin tidak nyaman bagi dirinya.
“Jadi, bagaimana menurutmu sejauh ini?” tanya Haryo tiba-tiba, menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan.
Kirana merasa dadanya sesak. “Tentang apa, Haryo?”
“Kesempatan. Dunia yang bisa kubuka untukmu, Kirana,” jawab Haryo dengan senyuman tipis, suaranya terdengar semakin dalam.
Haryo memperhatikan Kirana dengan tatapan tajam, menyembunyikan niatnya yang sebenarnya di balik senyum ramah. Saat Kirana menyesap anggurnya untuk kedua kali, ia mulai merasa pusing. Kepalanya terasa berat, pandangannya perlahan kabur.
“Kirana, kamu baik-baik saja?” tanya Haryo dengan nada lembut, meskipun di dalam hatinya, ia sudah menduga efek obat itu mulai bekerja.
Kirana mengangguk lemah, tangannya mencoba meraih meja untuk menjaga keseimbangan. “Saya… saya pusing, Haryo. Kenapa saya tiba-tiba merasa seperti ini?”
“Oh, mungkin kamu tidak terbiasa minum alkohol,” jawab Haryo, menatapnya penuh perhatian. “Tenang saja, kamu cuma butuh istirahat sebentar. Ayo, aku bantu ke kamar.”
Kirana mencoba menolak, menggeleng lemah. “Tidak, saya… saya bisa sendiri.”
Namun, tubuhnya mulai kehilangan kendali. Kakinya gemetar saat ia berdiri, hampir jatuh kalau saja Haryo tidak segera menangkapnya.
“Kirana, kamu tidak bisa seperti ini. Kalau kamu jatuh, itu akan memalukan. Biar aku bantu,” ujar Haryo dengan nada yang terdengar penuh perhatian.
Haryo melingkarkan lengannya di pinggang Kirana, membantunya berjalan menuju lift. Kirana mencoba melawan, tetapi tubuhnya terasa terlalu lemah. “Haryo… aku nggak mau… ke mana kita?” tanyanya dengan suara yang hampir tidak terdengar.
“Kamu hanya butuh tempat yang tenang untuk beristirahat. Jangan khawatir, aku di sini untuk menjagamu,” jawab Haryo sambil menekan tombol lift menuju lantai suite yang sudah dipesannya.
Ketika mereka tiba di kamar hotel, Haryo membuka pintu dengan santai, seolah semuanya biasa saja. Ia membantu Kirana duduk di sofa besar. Wajah Kirana tampak memucat, matanya setengah tertutup.
“Kirana, kamu harus minum air,” ucap Haryo sambil menuangkan segelas air putih dan membawanya ke bibir Kirana.
Namun, Kirana hanya menggeleng lemah. “Aku… aku mau pulang. Tolong…”