Sang Dewi Nemesis Hukum Nolite, yang jutek harus berkelahi dengan berondong teknik yang Playboy itu. Iyuuuuh .. nggak banget!!!!!
Tapi bagaimana kalau takdir berkata lain, pertemuan dan kebersamaan keduanya yag seolah sengaja di atur oleh semesta.
"Mau lo sebenernya apa sih? Gue ini bukan pacar lo Cakra, kita udah nggak ada hubungan apa-apa!" Teriak Aluna tertahan karena mereka ada di perpustakaan.
Pria itu hanya tersenyum, menatap wajah cantik Aluna dengan lamat. Seolah mengabadikan tiap lekuk wajah, tapi helai rambut dan tarikan nafas Aluna yang terlihat sangat indah dan sayang untuk dilewatkan.
"Gue bukan pacar lo dan nggak akan pernah jadi pacar lo. Cakra!" Pekik Aluna sambil menghentakkan kakinya di lantai.
"Tapi kan waktu itu Kakak setuju mau jadi pacar aku," pria itu memasang ajah polos dengn mata berkedip imut.
"Kalau lo nggak nekat manjat tiang bendera dan nggak mau turun sebelum gue nuritin keinginan gila lo itu!!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aluna
"Kak, kak Luna, pacaran yuk!" teriak seorang anak laki-laki berseragam merah putih, dengan ingus meler kehijauan dan ada bekas yang mengering di pipinya.
Matanya berbinar menatap Luna dengan memelas.
"Lo siapa sih? mana orang tua lo?" tanya Luna dengan tatapan jijik krena anak itu terus mengusap ingus yang seolah tak berhenti keluar dari lubang hidungnya.
"Jadi pacar aku yuk Kak!" Anak kecil itu mengapai ujung kemeja Aluna tapi dengan cepat Aluna menepisnya, Namun dengan cepat pula tangan kecil kotor itu kembali mencengkeram ujung kemejanya.
"Lo tuh siapa? Bocil gila ya, dateng-datang ngajak gue pacaran!" sentak Aluna tidak sabar, bukan dia bermaksud kasar tapi sedari tadi anak ini selalu mengikuti kemana Aluna berjalan, meski Aluna
sudah mengusirnya secara halus tetap saja dia mengekor dan mengatakan hal yang sama.
Demi Tuhan Aluna sangat frustasi dengan Bocah ingusan ini.
"Aku pacar kak Aluna, aku pacar kak Aluna!Aku pacar kak Aluna!aku pacar kak Aluna!aku pacar kak Aluna!aku pacar kak Aluna!aku pacar kak Aluna!"
Aluna berlari menjauh, tapi bocil ingusan seperti magnet yang menempel.
"Pergi! lepasin baju gue!"
"Aku pacar kak Aluna, aku pacar kak Aluna!Aku pacar kak Aluna!aku pacar kak Aluna!aku pacar kak Aluna!aku pacar kak Aluna!aku pacar kak Aluna!"
Aluna terus berlari dengan cepat sampai.
Brugh
Aluna tersandung dan terjatuh. Melihat itu, anak dengan ingus berwarna hijau yang belepotan itu menyeringai dan mendekatkan wajahnya ke wajah Aluna.
"Aku pacar kak Aluna, aku pacar kak Aluna!Aku pacar kak Aluna!aku pacar kak Aluna!aku pacar kak Aluna!aku pacar kak Aluna!aku pacar kak Aluna!"
Tiba-tiba ribuan bocil datang dari segala penjuru mengerubungi Aluna dengan mengumamkan hal yang sama.
"Hua ...! diem, berisik!" Aluna menutup kedua telinga.
tok
tok
"Luna ... Luna ... kenapa kok teriak-teriak? Ada apa Lun? Luna?!"
Aluna terjingkat, matanya seketika terbuka, keringat dingin membasahi kening gadis berusia sembilan belas tahun itu. Nafasnya memburu seperti di kejar singa di padang sahara.
"Astaga untung cuma mimpi," gumam Aluna dengan tangan memegangi jantungnya yang berdegup sangat kencang gara-gara mimpi sialan itu.
"Luna ...Aluna...!"
"Aluna nggak apa-apa Bu, ada cicak aja tadi luna jadi kaget!" teriak Aluna yang masih belum bergerak sama sekali dari tempat tidur.
"Ya sudah, kamu udah mandi kan? udah siang lho, katanya ada kelas pagi."
"Iya!" sahut Aluna lagi.
"Sial gara-gara bocil sialan gue telat bangun, lagian bocil siapa sih itu. Hobi banget gangguin mimpi gue."
Gadis berpiyama warna pink pucat berbahan satin itu mengeliatkan tubuhnya,sedikit merenggangkan otot setelah tidur yang tidak begitu lama. Aluna harus begadang menyiapkan materi untuk simulasi sidangnya siang ini, dan sialnya tidur yang hanya beberapa jam itu malah diganggu bocah ingusan.
Dengan langkah yang masih sedikit gontai Aluna berjalan ke arah kamar mandi. Tidak butuh waktu lama untuk gadis bermayang panjang berwarna coklat terang itu untuk membersihkan dirinya. Setelah memakai blazer warna hitam dengan kemeja warna putih tulang, rok midi pendek, scarft warna biru tua yang dia ikatkan di kerah kemeja, dan heels yang tidak begitu tinggi menjadi pilihan Aluna. Gambut yang tadinya tergerai ia gelung rapi tapi tetap menyisakan helaian yang membingkai wajahnya.
Setelah semua siap Aluna pun turun dengan menenteng tasnya.
"Selamat pagi!" ucap Aluna sedikit keras.
"Pagi, cantik banget putri Ayah," puji Evan yang sudah duduk di meja makan sambil menikmati kopinya.
"Iya dong, kan bibitnya jug cantik. Iya kan Bu," sahut Aluna sambil menarik kursi untuk bergabung di meja makan.
Calista hanya mengangguk, ia sibuk mengoles selai di roti tawar untuk sarapan kedua anaknya.
"Luga mau yang coklat Bu," ujar Luga yang duduk di samping sang ayah.
"Iya, ini udah kok." Calista meletakan dua lembar roti yang sudah beroleskan selai coklat untuk putranya.
"Kok cuma Luga, Ayah juga mau," ujar Evan dengan nada manja.
"Dih Ayah, udah tua juga manja," sindir Luga sambil mengigit roti miliknya.
"Wajar ayah manja sama istri," Evan berkata sambil melirik tajam anak laki-lakinya yang sudah remaja itu.
"Ya kan tapi sekarang Ibunya, Luga. Jadi ya harus lebih manjain luga," sahut Luga dengan senyum tengilnya.
"Tidak bisa begitu, Ayah kenal lebih dulu dari pada kamu, kamu itu nggak ada apa-apanya kalau dibandingin sama ayah."
"Ayah itu harus ngalah sama anaknya..."
"Kenapa harus ngalah, Ayah kan belahan jiwanya Ibu, patner senang susahnya Ibu, kalau kamu mah apa," potong Evan dengan senyum mengejek.
"Luga tuh...
Calista mengerutkan kening, memijit pelipisnya dengan kuat.
"Udah-udah, Ibu pusing kalau kalian ribut kayak gini!" potong calista yang sudah jengah dengan pedebatan yang tidak berujung itu.
"Sekarang cepat habiskan sarapannya!"
"Iya Bu."
"Siap Sayang," jawab Evan dengan senyum menggoda, Calista hanya merespon dengan helaan nafas panjang. Bapak dua anak ini benar-benar tidak mau mengalah sedikitpun.
Luga dan Evan akhirnya diam dan menikmati sarapan mereka masing-masing dengan tenang. Dan sejak tadi Aluna malah sibuk dengan ponselnya sambil sesekali mengigit roti tawar berselai stoberi sama seperti sang Ibu.
"Luna, ponselnya di taruh dulu. Habiskan dulu rotinya," tegur Calista dengan lembut.
"Aluna," ulang Evan karena anak gadisnya itu tidak merespon saat Ibunya menegur.
"Emh iya, Maaf ayah." Aluna menghentikan sejenak jari yang sedari tadi terus bergerak mengulir materi di layar ponsel.
"Nanggung Bu, luna sambil hafalin materi soalnya," jawa Aluna tanpa mengalihkan pandangannya pada benda pipih dengan casing kucing itu.
Calista tidak mengatakan apa-apa lagi, dia sudah sangat hafal dengan sifat Aluna yang entah kenapa lebih mirip Papa Adrian daripada Evan. Aluna sangat perfecsionis dalam mengerjakan tugas-tugasnya. Dengan cepat Aluna memasukan roti yang tersisa separuh ke mulut saat mendengar suara deru mobil yang berhenti di depan rumah mereka.
"Luna, berangkat dulu ya." Aluna bangkit mencium pipi sang ayah dan ibunya secara bergantian dan saat giliran luga, Aluna memberikan sentilan kecil di kening adik tampannya itu.
"Makan mulu kayak kambing," goda Aluna.
"Emang kambing, kan Lo kakaknya kambing!" sahut Luga kesal.
"Aluna cepat berangkat gih, jangan godain adiknya terus," tegur Calista yang disambut gelak tawa oleh gadis itu.
"ALUNA REYNATA!" teriak Luga kakaknya dengan sengaja mengacak-acak rambut yang sudah ia tata rapi dengan pomade.
Aluna hanya tertawa sambil berlari keluar menghindari amukan Luga. Gadis itu segera menghampiri mobil berwarna merah yang terparkir di halamannya.
"Buset, lo apain si Luga sampe teriak-teriak begitu?" tanya seorang pria yang sepantaran dengan Aluna.
"Gue acak-acak rambutnya," jawab Aluna dengan tawa lebar.
"Tengil banget Lo jadi kakak," sahut seorang gadis dengan wajah yang hampir sama dengan pria yng sedang menyetir.
"Heheee .. lumayan buat naikin mood gue pagi ini."
"Serah Lo dah Lun."
William mulai menyalakan mesin mobil kesayangannya. Kuda besi beroda empat itu mulai melaju meninggalkan halaman keluarga Wijaya, membawa mereka ke Nolite university.
Sepanjang perjalanan Aluna memilih fokus untuk mempelajari materinya, sementara dua temannya yang notabenya kakak beradik itu juga sibuk dengan dunia mereka sendiri. Wiliam fokus memperhatikan jalanan Kota KertaKarta yang sibuk dan cukup macet di pagi hari, sementara Wilona melakukan hal yang sama dengan Aluna, sibuk dengan benda elekronik pipih mereka.
Tak butuh waktu lama andai jalan tidak begitu macet. Namun, mereka beruntung bisa sampai tepat sebelum kelas mereka dimulai. Wiliam memarkirkan mobilnya dengan sempurna sebelum mereka turun.
"Pulang nanti Lo nebeng lagi atau gimana?" Tanya Wiliam saat Aluna turun dari mobilnya.
"Liat ntar deh Will, gue nggak tau sidangnya kelar jam berapa nanti," sahut Aluna cepat.
"Oke, ntar hubungi gue. Jangan sampai lupa, kalau nggak mau gue tinggal."
Aluna hanya mengacungkan jempol sebelum berjalan cepat ke arah gedung FH. Begitu pula William dan Willona, mereka segera ke kelas mereka masing-masing.
ini juga kenapa pada Ngeliatin Aluna kaya coba.
apalagi dia yang setatusnya sebagai orang tua Cakra. kenapa gak di laporin aja kepolisi si.
Nyatanya mau Cakra tw Om Hail pun sama² keras kepala dalam mempertahankan rasa cinta mereka buat seseorang yg spesial di hati mereka,,,
Apa ini??bakalan ada Drama apalagi yg akan Luna liat???
padahal anak gak tau apa", masa ibunya kecelakaan dan meninggal kesalahan nya harus di tanggung sang anak sampai dewasa?? emang kecelakaan itu disengaja?? salut sama Cakra yg bisa kuat menjalani kehidupan yg keras tanpa kasih sayang orang tua..
padahal anak ny Cakra tapi lebih pro ke Miranda, pasti perkara uang lagi 😒😒