Rasa bersalah yang menjerumuskan Evelin, atlet renang kecil untuk mengakhiri hidupnya sendiri, karena sebuah kecelakaan yang merenggut nyawa seluruh keluarganya. Kesepian, kosong dan buntu. Dia tidak mengerti kenapa hanya dia yang di selamatkan oleh tuhan saat kecelakaan itu.
Namun, sebuah cahaya kehidupan kembali terlihat, saat sosok pria dewasa meraih kerah bajunya dan menyadarkan dia bahwa mengakhiri hidup bukanlah jalan untuk sebuah masalah.
"Kau harus memperlihatkan pada keluargamu, bahwa kau bisa sukses dengan usahamu sendiri. Dengan begitu, mereka tidak akan menyesal menyelamatkanmu dari kematian." Reinhard Gunner.
Semenjak munculnya Gunner, Evelin terus menggali jati dirinya sebagai seorang perenang. Dia tidak pernah putus asa untuk mencari Gunner, sampai dirinya tumbuh dewasa dan mereka kembali di pertemukan. Namun, apa pertemuan itu mengharukan seperti sebuah reuni, atau sangat mengejutkan karena kebenaran bahwa Gunner ternyata tidak sebaik itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elsa safitri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bar
Evelin mengangguk. Setelah pembicaraan berakhir, dia kembali bersiap untuk terjun ke dalam air. Dia harus mempersiapkan diri untuk lomba yang di gelar setiap tahun. Lomba ini bisa di hadiri setiap perenang, dari dalam kampus atau dari luar kampus. Bahkan di pertandingan lain, pesertanya khusus seorang pelajar SMA.
Sementara itu, Gunner pergi menemui kekasihnya yang ternyata sudah menunggu dari saat kelas berakhir. Sebenarnya dia bisa di bilang sangat friendly, namun memilih seorang gadis yang paling dia sukai untuk di jadikan pacar. Dia hanya memilih satu dari sepuluh gadis yang sudah dia tiduri untuk menjadi kekasih resminya. Namun, hubungan itu tidak bertahan lama. Mereka akan putus dalam waktu paling lama tiga bulan.
*
*
*
Setelah kencan dengan sang kekasih berakhir, Gunner pergi menuju bar tua langganannya. Saat dia masuk, beberapa gadis tampak melambai dari jarak yang cukup jauh. Dia membalas lambaian mereka lalu bergabung. Pria brengsek itu duduk di tengah-tengah dan menikmati setiap belaian lembut dari setiap sudut. Dia menyalakan rokok lalu mulai meminum sebotol alkohol.
"Sayang, kamu lama sekali."
Satu wanita di antaranya mulai mengeluh. Dia tampak sangat akrab sampai diizinkan tidur di atas paha Gunner. Sambil memainkan rahang Gunner yang tegap dan kuat, wanita itu terus memicingkan mata penuh nafsu.
"Maafkan aku, baby. Aku pergi berkencan dengan pacarku setelah kelas berakhir."
Gunner menyahut. Dia meraih tangan wanita itu lalu mendekatkannya ke arah mulut. Kemudian, dia membuka mulut dan menggigit sedikit jari telunjuknya.
"Kapan kamu akan berkencan denganku kalau begitu?"
"Setelah aku putus dengannya."
Di antara waktu itu, segerombolan anak muda tiba-tiba memasuki bar. Karena suara bising yang di buat bertambah, fokus Gunner jadi teralihkan pada pintu masuk. Dia melihat beberapa mahasiswa dari jurusan pendidikan jasmani, kesehatan dan rekreasi.
Dia merengut melihat kehadiran mereka yang tidak biasa. Mau bagaimanapun, mereka tidak biasanya menghabiskan malam di sebuah bar.
Namun, semakin banyak orang yang masuk, dia melihat Evelin yang berada paling belakang. Gadis itu tampak mendengarkan salah satu temannya yang terus mengoceh dari samping. Dia tidak berpartisipasi dalam pembicaraan.
Melihat kehadiran Evelin, Gunner sontak membola terkejut. Dia memang pernah melihat Evelin di bar itu beberapa hari lalu saat pertama kali mereka bertemu, namun hal ini masih mengejutkannya.
Setelah sekumpulan anak muda itu mendapat tempat duduk, mereka mulai memesan dan menikmati pembicaraan. Begitu pula dengan Evelin. Dia tampak menikmati waktunya di tempat itu.
Setelah semua minuman dan makanan di sajikan, mereka mulai menggila. Mereka menuangkan alkohol ke dalam gelas besar sampai penuh lalu meneguknya. Begitu terus sampai beberapa dari mereka pingsan karena mabuk berat.
Sementara itu, Evelin hanya memperhatikannya sambil sekali-kali meneguk minuman dari gelas kecil. Salah satu temannya sadar bahwa Evelin tidak berpartisipasi dalam party ini, dan mulai memberinya alkohol dalam gelas besar.
"Hei, Evelin. Anggur tidak akan terasa jika kau meminumnya di gelas seperti itu. Nah, ambil ini."
Evelin tampak sangat gugup saat satu gelas besar berisi full anggur itu mendekat ke arahnya. Dia menolak dengan menjauhkan kembali gelas tersebut.
"Tidak. Aku tidak bisa minum sebanyak itu."
"Oh ayolah. Kau tidak akan mati hanya karena minum alkohol."
"Tapi--"
"Hei, ayo paksa Evelin meminumnya! Ayo hilangkan sifat penakut dari sang atlet~"
Salah satu temannya yang merupakan seorang pria itu tiba-tiba berseru. Dia mengajak semua orang untuk membuka mulut Evelin dan membuat gadis itu merasakan betapa nikmatnya alkohol dalam jumlah besar.
"Ayo Evelin~"
"Kamu sudah dewasa. Kamu harus menikmati masa muda dengan bersenang-senang."
Karena semakin gugup di perhatikan oleh banyak orang, Evelin tidak punya pilihan dan mulai mengambil gelas besar tersebut. Dia meminumnya satu teguk, dua teguk dan seterusnya sampai gelas besar itu tidak menyisakan air sedikitpun.
"Wah.. Gila!"
"Sang atlet hebat, Evelin Jenniver ternyata sangat berbakat dalam menghabiskan alkohol."
Evelin mulai tidak stabil. Dia merasa pusing dalam waktu singkat dan hampir ambruk. Namun, beberapa temannya malah semakin memberi dia banyak minuman.
"Ini gelas selanjutnya."
Evelin mengambil gelas itu dan meneguknya lagi. Dia sudah kehilangan akal untuk berpikir bahwa itu terlalu berlebihan. Sampai beberapa botol masuk ke dalam perut, dia tiba-tiba beranjak dari kursi.
"Kau mau kemana?"
Bertha, salah satu teman yang paling dekat dengan Evelin meraih tangan gadis itu untuk bertanya. Evelin menoleh dengan mata yang hampir padam.
"Aku mau ke luar untuk mencari udara segar."
"Segeralah kembali."
Evelin mengangguk lalu pergi dari meja itu. Saat dia keluar dari bar, Gunner memperhatikannya dalam diam. Pria itu sangat sibuk dengan para gadisnya sampai dia tidak tahu bahwa Evelin sudah menghabiskan alkohol dalam jumlah yang sangat banyak.
Sementara itu, Evelin pergi ke bagian belakang bar dan berjongkok sambil bersandar ke tembok. Dia mendongak menatap bulan yang bersinar jauh di atas langit. Sambil menghirup udara segar berkali-kali, gadis itu tampak sangat mengantuk.
"Bulannya sangat terang hari ini."
Dia mulai menggosok matanya untuk menghilangkan efek kabur karena mabuk. Namun, saat dia melakukan itu, Gunner muncul dan meraih tangannya untuk menghentikan tingkahnya saat ini.
"Jangan menggosok matamu."
Dia menarik tangan gadis itu dan membuatnya berdiri dengan cepat. Saat Evelin kembali mengangkat tubuhnya, dia mulai sempoyongan dan jatuh ke arah dada pria itu. Dadanya yang kokoh dan hangat, entah kenapa terasa seperti sebuah kasur yang tebal dan nyaman.
Evelin tidak mengangkat kembali kepalanya. Dia terlelap dalam kenyamanan tersebut tanpa sadar, bahwa sosok di hadapannya adalah seorang Gunner.
Dalam keheningan tersebut, Gunner menatap Evelin dalam diam. Dia mendekatkan hidungnya ke arah gadis itu dan menemukan bau alkohol yang sangat pekat.
"Kamu benar-benar sangat mabuk. Apa kamu tahu dimana kamu sedang bersandar sekarang?"
"Aku tahu."
"Sepertinya kamu tidak tahu."
"Aku tahu."
Gunner tidak lagi membuat tanggapan. Dia menghela nafas berat sesaat untuk bisa lebih sabar dalam menyadarkan Evelin. Saat ini, dia masih menyimpan kedua tangannya dalam saku jaket. Dia tidak menyentuh gadis itu kecuali saat dia menarik tangannya untuk membuat Evelin kembali berdiri.
"Di mana kamu tinggal? Aku akan mengantarmu pulang."
"Siapa kamu? Aku tidak diizinkan membawa orang asing kerumah."
"Aku Gunner, seniormu."
Mendengar jawaban tersebut, Evelin membola terkejut dan menjauh dari tubuh pria itu. Karena pergerakan yang tiba-tiba, dia hampir membenturkan belakang kepalanya ke dasar tembok. Namun, Gunner dengan sigap memegang kepala Evelin dan berakhir membenturkan tangannya sendiri ke tembok keras itu.
Evelin semakin di buat terkejut dan mendongak. Saat dia menatap ke arah Gunner, pria itu mendekatkan wajahnya ke arah Evelin.
"Bukankah sebelumnya kamu bilang kamu tahu? Kenapa keterkejutanmu sangat terlambat, nona atlet?"