"Assalamualaikum, ini pak Ahmad. Bapak, anak anda sedang tidak baik-baik saja. Bila anda mau bertemu langsung, dengan anak anda... Serahkan kepada saya 1M secepatnya, jangan banyak alasan. Ketemu di depan gedung Serbaguna"
"Apa! Apa maksud mu! Siapa kau!! "
....
Ahmad Friko, pengusaha sukses setelah ia mengadopsi anak panti asuhan, yang diberi nama Rara, pak Ahmad bekerja dengan serius sampai terkadang lupa dengan kewajibannya untuk mengurus anak. Hingga saat ia bangkrut, ia mendapat pesan dari seseorang bahwa anaknya sedang di sekap, ditawan dan dimintai uang satu milliar, yang jumlahnya tak biasa. Apa yang akan dilakukan Ahmad setelah ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bu Alisa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12-Putriku, ditawan preman satu milliar
Selamat membaca kawan-kawan 🤣
Acara berlanjut, setelah tadi sedikit kericuhan rupanya hanya kesalahpahaman, untung saja Ahmad tak membuat topik trending. Keduanya, Roma dan Ahmad seolah berbicara biasa saja, bicara formal tak seperti ucapan ambigu Ahmad tadi saat datang-datang sudah meremas kerah pria albino itu.
Sindy duduk bersama kedua orangtuanya, tapi tatapan mata gadis itu tak bisa lepas dari Paman Ahmad yang datang sendirian tanpa mengajak anaknya, lalu Rara bersama siapa bila ditinggal? Pikir gadis itu terus menerus, hingga mom nya menggoyangkan lamunan gadis ini.
"Sindy, what's wrong honey? "
"Ada apa sayang... Apa yang kamu lihat? Apa kamu masih mau kue? "
Tanya Ratih mengarahkan pandangan pada setumpuk cupcake yang di susun rapi memanjang ke atas bagai gunung. Tetapi jawaban Sindy bukan menginginkan kue, dia hanya sungkan untuk mengatakan sebenarnya.
"No mom, Sindy... "
"Sindy... Merasa... Kalau... "
"Kalau apa Sindy? "
Tanya Ratih penasaran, jawaban anaknya suka membingungkan dirinya. Apalagi sang anak seperti menoleh kesana-kemari mencari sesuatu yang bahkan tak kedua orang tuanya ketahui apakah itu.
"Coba Sindy lihat mom, ayo buka mulut lebar dulu... Sini biar mom suapi, "
"Ayo... Ini. . Aaa...." ucap Ratih seraya membuka mulut sendiri. Sindy melihat makanan yang di tusuk sate berwarna merah, Sindy sedikit memundurkan wajar. "Mom... Sindy gak suka pedes... "
"Ini gak pedes sayang, ini manis... Coba deh, ini jagung bakar sayang... Gak pedes sama sekali... " bujuk Ratih, anaknya memang tak suka makanan yang warnanya merah, atau berkuah merah karena bagi anaknya warna merah sangat menakutkan, apalagi Sindy takut sekali dengan darah.
Ratih sedikit tersenyum telah menggoda anaknya, hingga suaminya yang ada di sisi wanita itu menepuk bahu istrinya kecil. "Ya sudah kalau Sindy gak mau... Biar ayah aja, ayo ma... Suapi aku, aku juga mau... "
"Ihh ayah... Ih.. "
"Malu... "
Sindy melihat kedua orangtua nya yang seperti itu ikut tertawa juga, gadis itu terhibur oleh keduanya yang saling bercanda. Mereka sudah tak muda lagi, tapi bawaannya selalu candaan anak remaja pas pacaran dan berduaan, anak cuma nongkrong di satu dunia yang mereka ciptakan.
***
Di hadapan Roma, sebenarnya Ahmad terus mencurigai pria itu bahkan saat dirinya masuk ke dalam mencari pria ini perkataannya tadi bukanlah sekadar acting, ia benar-benar bertanya mengapa pria di depannya dapat ia pikirkan bisa jadi pelaku nya?
Saat itu ada acara dimana beberapa pengusaha besar saja yang di undang, kala itu ia sebagai pemenang namun di kategori kedua, banyak yang tak terlalu memilihnya, yang dipilih adalah Roma kebanyakan adalah pria itu, tak segan Ahmad bisa mencurigai orang ini dan bisa jadi... Orang ini juga tahu semua muslihat buruk yang coba Ahmad sembunyikan.
"Kadang... Aku juga sering makan buah kering dari perusahaanmu. "
"Oh ya? " seru Ahmad tak menyangka, berlagak sok sahabat di samping pria albino itu padahal tujuannya mendekati dan membuat rusuh tadi agar cepat di kenal pria ini, Roma yang kadang pelupa dan tak hafal nama pesaing nya sendiri Tetapi setiap orang yang bersaing dengannya semua musuh pria ini selalu di kalah telak, bahkan ada yang pernah menghilang sampai saat ini tak muncul.
Ahmad tahu ia berurusan dengan siapa, pasti setelah tadi dan ia yang tiba-tiba berlaku seperti ini pada Roma. Orang ini akan mencurigainya, tapi tak masalah. Selama sekarang keduanya dapat melakukan hubungan, Ahmad secara dekat bisa membekap mulut pria di depannya diam-diam bila tahu tentang dirinya yang tidak-tidak.
"Seharusnya ku rekomendasikan dirimu yang Snack berminyak pedas itu, soalnya banyak sekali anak muda yang suka... "
"Nanti akan kucoba tanya adikku. " kata Roma, setiap diajak bicara atau tatap muka pria itu selalu menutup kedua matanya erat dengan bulu tipis putih nya. Pria ini tampan, tapi hanya saja Roma dikenal sebagai orang yang tak mau berurusan dengan masalah percintaan.
Ahmad menyeka bibirnya yang basah karena mencoba menenangkan pikiran dengan segelas air putih, acara belum sepenuhnya dimulai tapi hati pria itu sudah tak sabar ingin mengkorek bagaimana sifat asli Roma.
"Nanti kapan-kapan aku kirimkan ke perusahaanmu Roma... Biar kamu bisa merasakan semua jenis makanan yang ku buat, "
Roma mengangguk sendiri, merasa tersanjung. Bersama di belakang pria albino itu terdapat dua penjaga nya yang tak terlalu besar, tapi di depan gedung hotel indah ini ada beberapa bodyguard yang bukan milik Santo mungkin saja milik pria di hadapan Ahmad ini.
Penjaga yang bertugas sebagai pembicara Roma, berada di samping kanannya tiba-tiba berbisik. Membuat hati Ahmad seketika menyeruak, takut merasa rencana nya diketahui. Terlihat Roma hanya mengangguk-angguk kepala, tak mengerti apa yang dibicarakan pembicaranya pada pria itu. Shafira berdiri di belakang atasannya, Roma tiba-tiba berdiri dari duduknya, seakan mengakhiri pembicaraan keduanya.
Tanpa menoleh, suara Roma terdengar dari samping. "Saya harus pergi, ada waktu mendadak pak Ahmad. Tapi saya begitu tertarik dengan pembahasan tadi, bila ada kerabat saya yang menginginkan jajan pedas, akan saya rekomendasikan langsung ke tempat anda, bagaimana? " tanya Roma sedikit menoleh, kedua matanya tertutup seolah tak memberitahu bagaimana ekspresi pria itu.
Ahmad segera berdiri, tersenyum aneh. "Baik saya ikut senang... Kalau begitu, silakan pak semoga urusan anda lancar selalu, "
"Amin. Terimakasih ya pak, "
Shafira dan Ahmad saling membungkuk melihat kepergian pria albino itu bersama kedua penjaganya, ah selama beberapa menit sekitar 30 menit lebih berlangsung antara Ahmad dan pak Roma saling berbincang, Shafira sedikit merasa aneh dengan pembicaraan tadi yang terkesan dipaksakan, atau hanya perasaan wanita itu saja?
'Ah sudahlah... ' pikir Shafira masa bodoh. Atasannya itu memang memiliki banyak perkiraan konyol yang membuat Shafira setiap detik, dan setiap saat dirinya bersama sang atasan baru ini menjadi lebih menantang. Hati Shafira terus dibawa berdebar.
"Pak... Apa anda mau ke toilet atau bagaimana? Biar saya tunggu disini.... " tanya Shafira menatap mata pria itu. Ahmad menggeleng kecil, lalu duduk kembali di kursi yang mereka tempati. Juga tatapan pria itu tak henti menatap Shafira, "Kamu juga, duduklah di depan sana. Jangan berdiri terus, setelah ini masih ada kegiatan.. "
"Ya pak. Baik. "
Jawab wanita itu, tak memiliki pilihan lain. Perintah atasannya selalu mutlak bagi wanita itu di tempat kerjanya, ia tak memiliki alasan melawan. Untuk apa juga melawan? Pak Ahmad adalah malaikat baginya, bahkan saat interview kerja hanya pak Ahmad yang seolah mengerti keadaannya.
"Bapak setelah ini... Apa ada yang mau anda kunjungi, boleh saya temani, saya bisa sampai jam 10 malam... "
"Mungkin acara ini akan habis 2 jam lagi, setelah maghrib"
"Em, oke"
"Tidak ada, pulang ke rumah masing-masing saja. Persiapkan diri, jangan sampai kelelahan, besok harus fit saat bekerja. "
Lagi, Shafira mengangguk. "Baik."
Saat kedua orang tua Sindy saling berhadapan, mereka berbincang. Tatapan gadis itu tak pernah lepas, atau dari tadi menatap punggung paman Ahmad. Baginya pria itu seakan membuat Sindy penasaran, tak tahan saking penasarannya. Sindy langsung berdiri dan berlari menghampiri.
Suara langkah kaki kecilnya terdengar di sepanjang keramik ia pijaki. "Paman! "
"Paman Ahmad... "
"Paman tahu aku? Aku Sindy... Teman kelas Kita, tetangga sebelah nya... " ucap Sindy berhenti kelelahan, ia sedikit mengusap keringat. Pertanyaan yang ingin sekali ia pertanyakan adalah dimana keberadaan Rara, tapi selalu takut karena dirinya saja tak suka dengan kehadiran anak itu.
Sindy menggenggam lengan satunya, "Paman kenapa sendirian datangnya, kenapa dia gak di ajak? "
Ahmad menoleh, tak sadar bila ada tetangga kecil nya yang juga berada disini. Tatapan pria itu langsung mengedarkan pandangannya ke sekitar, mencari kedua orangtua anak ini yang baru juga ia sadari ada di sana seolah tak peduli kalau ada Ahmad. 'Apakah dari tadi? ' pikirnya sedikit berkeringat.
Shafira melihat ke samping, ada seorang anak kecil yang menghampiri atasannya, antusias ia bertanya. "Pak, itu siapa? "
"Em.. Ini.. "
Sindy menoleh ke samping, sifat ekstrovert tanpa malu-malu nya itu selalu dikeluarkan saat ada orang penasaran dengan dirinya. Sindy mengangkat kedua sisi gaun pink nya ke atas, lalu salah satu kaki di taruh ke belakang, hingga rambut panjang lembut nya bercerai berai. "Perkenalkan... My name Sindy, i'm him neighborhood... Aku tetangga nya paman Ahmad... Salam kenal kak... "
Shafira menepuk tangan kagum dengan kejagoan anak ini yang bisa berbahasa Inggris, bahkan dalam hati Shafira bertanya bekal apa yang diberi kedua orangtuanya bisa sampai pengucapan dan aksen nya seperti orang luar.
Sindy mengangguk singkat, tersenyum senang. Ahmad berdecak dalam dada, menurunkan pandangannya, "Rara... Dia keluar bersama saya, jadi... Dia di jaga babysister nya.. "
Shafira baru ingat, sang atasannya memiliki anak yang pria itu adopsi selama 4 tahun ini bahkan sampai masa jabatannya sekarang. Shafira menepuk tangan kecil, 'Oh ya namanya Rara ya? ' pikir Shafira kecil, penasaran bagaimana rupa anak angkat pak Ahmad.
Sindy sedikit terdiam, tatapannya seolah berpikir sebentar. "Begitu? "
"Tapi paman. Kenapa dia gak izin? Bu guru nyari lho, katanya gak masuk-masuk itu kenapa? "
"Tapi ya... Semoga aja gak sakit.. " ucap Sindy sedikit ingin di anggap anak baik, dirinya tak ingin terlihat kalau sudah kecil-kecil cabe riwit suka menindas, sehari tanpa anak itu tak ada yang Sindy tindas atau di ejek. Kalaupun ada pasti Sindy khawatir seperti ini.
"Nanti... Nanti biar saya bilang ke guru mu itu, Rara mungkin tak sekolah... Dia masih ku pindah di rumah yang jauh, tenang saja... Dia akan pulang nanti, katakan pada gurumu itu.. "
Entah mengapa saat mendengarnya Sindy setengah senang, setengah tidak. Sindy menganggap ia senang karena bisa berdekatan dan mendapat kesempatan mendekati Kiya, setengah tidak karena ia tak bisa memiliki halangan yang harus dia lawan. Pikiran anak ini sangat beragam variasi. Shafira menghampiri Sindy, dan berjongkok di depannya.
"Manis... Kamu mau permen? "
Sindy reflek menoleh, dan mengangguk mantap. "MAU!! "
"Sindy mau permen!! "
Seru Sindy kesenangan, Shafira segera merogoh dalam tas hitam yang dia cangklungkan di bahu, dengan teliti dia cari. Sampai lah Shafira mengeluarkan sebiji permen Milkita dan diberikan kepada Sindy.Gadis itu tertawa senang, tak lagi menghawatirkan atau menanyakan tentang Rara lagi.
"Terimakasih kakak cantik... " puji Sindy, melepas ikatan permen lalu ia emut cepat. Shafira tersenyum senang, apalagi saat dirinya di puji cantik. Dari atas pria itu menatap kepala asistennya lalu mengalihkan wajah segera.
"Sudah kembali ke orangtua mu lagi ya? "
"Nanti mereka mencarimu... "
"Iya kak! " seru Sindy, berlari kembali ke kedua orangtuanya yang ada di meja sana tak jauh dari langkahnya dengan setangkai permen yang terpaut di mulutnya. Shafira berdiri, membenarkan kacamata minus nya. Menoleh ke samping, "Mari pak kita kembali duduk, menikmati acara... "
Ahmad yang entah mengapa tak bisa melepas pandangan dari asistennya mengangguk segera, "Iya duduklah dulu.. "
Ucap pria itu mengulurkan tangan, Shafira sedikit kaget apalagi sikap atasannya semakin menganggap dirinya sebagai tuan putri, padahal ia lah yang harus menjaga pria itu. "Ba-ik"
Ucap Shafira gagap sendiri. Wanita itu terpaksa duduk saat di persilahkan pria itu, tatapan Shafira melihat ke atas, ke wajah Ahmad yang terus mengalihkan wajahnya ke samping seolah sedang menghindari sesuatu, atau sedang mencari sesuatu.
Bersambung...