Istri mana yang tak bahagia bila suaminya naik jabatan. Semula hidup pas-pasan, tiba-tiba punya segalanya. Namun, itu semua tak berarti bagi Jihan. Kerja keras Fahmi, yang mengangkat derajat keluarga justru melenyapkan kebahagiaan Jihan. Suami setia akhirnya mendua, ibu mertua penyayang pun berubah kasar dan selalu mencacinya. Lelah dengan keadaan yang tiada henti menusuk hatinya dari berbagai arah, Jihan akhirnya memilih mundur dari pernikahan yang telah ia bangun selama lebih 6 tahun bersama Fahmi.
Menjadi janda beranak satu tak menyurutkan semangat Jihan menjalani hidup, apapun dia lakukan demi membahagiakan putra semata wayangnya. Kehadiran Aidan, seorang dokter anak, kembali menyinari ruang di hati Jihan yang telah lama redup. Namun, saat itu pula wanita masa lalu Aidan hadir bersamaan dengan mantan suami Jihan.
Lantas, apakah tujuan Fahmi hadir kembali dalam kehidupan Jihan? Dan siapakah wanita masa lalu Aidan? Akankah Jihan dapat meraih kembali kebahagiaannya yang hilang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syitahfadilah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 9~ GAK SEMUA IBU TIRI ITU JAHAT
"Dok, bagaimana keadaan anak saya?" Tanya Jihan pada dokter lelaki yang kira-kira seusia suaminya, usai memeriksa Dafa.
"Kami akan pantau dulu selama 2 sampai 3 jam setelah minum obat, kalau panasnya belum turun juga maka akan dilakukan pemeriksaan lebih lanjut." Tutur sang dokter.
"Baiklah, Dok. Tolong lakukan yang terbaik untuk anak saya." Ucap Jihan, tatapannya menggantungkan harapan pada sang dokter, dan dalam hati berdoa semoga putranya baik-baik saja.
"Insyaallah, kami akan berusaha melakukan yang terbaik. Kalau begitu saya permisi dulu,"
"Silahkan, Dok."
"Bunda, Dafa gak mau punya dua Bunda. Kata Adit, ibu tiri itu jahat. Adit sering dimarahin dan dipukul sama ibu tirinya."
Gumaman pelan itu berhasil menghentikan langkah sang dokter yang hendak pergi. Sedangkan Jihan lekas merengkuh tubuh putranya.
"Ya Allah, Nak. Kenapa bisa sampai begini?" Ia membelai rambut dan wajah putranya. Apakah sebegitu nya Dafa tidak mau menerima Windi sebagai ibunya, sampai-sampai dalam tidurnya pun masih mengatakan kalimat yang sama seperti beberapa hari lalu.
Namun, ada satu hal yang menjadi pertanyaan dalam benak Jihan. Bagaimana bisa Dafa mengatakan sesuatu yang berhubungan dengan Adit, yang merupakan anak mas Adi tetangganya yang beberapa waktu lalu memberi tumpangan ke rumah sakit. Istri mas Adi memang hanya ibu tirinya Adit, sedang ibu kandungnya telah meninggal dunia dua tahun lalu.
"Apa Adit pernah cerita sesuatu ya ke Dafa, dan itu yang buat Dafa takut sama Windi?" Gumamnya dalam hati.
Sementara itu tanpa Jihan sadari, sang dokter yang sejak tadi masih berdiri di belakangnya. Akhirnya keluar dari ruangan begitu memastikan ternyata pasiennya hanya mengigau, dan itu sudah biasa terjadi pada anak-anak yang sedang mengalami demam tinggi seperti Dafa.
.
.
.
"Alhamdulillah, panasnya sudah turun." Jihan tersenyum lega sembari menyentuh kening Dafa, akhirnya demam putranya pun reda juga.
Dafa masih tertidur efek pengaruh obat, sambil menunggu putranya bangun Jihan beberapa kali mencoba menghubungi suami nya, namun ponselnya Fahmi tidak bisa dihubungi.
"Mungkin Mas Fahmi lagi sibuk banget di sana, jadi hapenya dimatikan." Ia mencoba berpikir positif. Menyimpan kembali ponselnya kedalam tas seraya duduk di kursi yang tersedia di samping brankar, tatapannya sayu memandangi wajah putranya yang sudah tak sepucat sebelumnya.
"Nak, kalau seandainya Ayah kamu mau dengan suka rela memberikan kamu pada Bunda. Bunda akan bawa kamu pergi jauh, dan Bunda akan berusaha untuk melakukan apapun untuk membahagiakan kamu. Tapi, yang Bunda takutkan, Ayah justru mempersulit Bunda untuk membawa kamu pergi. Bunda gak akan sanggup pisah sama Dafa,"
Air matanya pun luruh. Sesungguhnya ia merasa tidak sanggup lagi berada disisi suaminya, namun kata perpisahan itu juga sangat terasa berat ia ucapkan lantaran takut akan dipisahkan dengan anak semata wayangnya. Pengadilan jelas akan memberikan hak asuh pada Fahmi yang dinilai layak dan mampu mengasuh Dafa.
Jihan segera mengusap air matanya begitu mendengar suara pintu terbuka. Berdiri dari tempat duduknya dan memberi ruang pada dokter untuk memeriksa putranya.
Dafa mengerjapkan matanya ketika merasakan sentuhan di keningnya. Tangan kecilnya bergerak meraba dan langsung menggenggam tangan yang menempel di keningnya.
"Bunda," gumamnya pelan.
"Syukurlah, akhirnya kamu bangun dan panasnya juga sudah turun." Ucap sang dokter sambil tersenyum.
Dafa pun membuka mata, dan seketika terlihat kebingungan saat mendapati laki-laki asing sedang tersenyum padanya. Ia langsung melepas genggaman tangannya. "Om siapa?"
"Dafa, ini Dokter yang menangani kamu, Nak. Kamu sekarang lagi di rumah sakit. " Sahut Jihan.
Dafa menoleh menatap bundanya, "Bunda, kenapa Dafa ada di rumah sakit?"
"Dafa demam, Nak. Jadi Bunda bawa ke rumah sakit." Jawab Jihan.
"Dafa," panggil sang dokter. Bocah lelaki itupun menoleh menatapnya. "Apa Dafa sekarang ada keluhan, semisalnya pusing atau mual?" Tanyanya.
Dafa menggeleng, "Enggak, cuma lemes aja." Jawabnya.
"Karena panasnya sudah turun jadi Dafa boleh pulang sekarang, nanti di rumah istirahat dan makan yang teratur ya biar badannya cepat pulih."
"Iya, Om."
"Panggilnya Pak Dokter, Nak." Ralat Jihan, ia tersenyum canggung pada sang dokter.
"Gak apa-apa, Bu. Namanya juga anak-anak. Oh ya, saya akan tuliskan resep dan bisa Ibu tebus di apotik rumah sakit. Nanti di rumah tolong diperhatikan asupan makanannya ya, Bu. Terutama cairannya, karena anak-anak yang demam rentan terkena dehidrasi."
"Baik. Dok."
Dokter tersebut pun berpamitan setelah memberikan secarik kertas pada Jihan yang bertuliskan resep obat untuk Dafa.
Setelah menebus obat, Jihan pun lekas membawa putranya meninggalkan rumah sakit dengan mengendarai taksi.
"Dafa, boleh Bunda tanya sesuatu?" Tanya Jihan sambil mengusap-usap rambut putranya yang rebahan di pahanya.
"Tanya apa, Bunda?" Dafa mendongak menatap bundanya.
"Tadi Dafa ngigau, Dafa bilang kalau kata Adit ibu tiri itu jahat. Adit sering dimarahi dan dipukul sama ibu tirinya."
Ekspresi Dafa seketika berubah, dapat Jihan lihat ketakutan di raut wajah putranya.
"Apa Safa mau cerita sesuatu sama Bunda?"
Dafa terdiam sejenak, kini raut wajahnya terlihat bingung. Apakah ia harus cerita pada Bundanya, sedang Adit pernah mengatakan agar ia tidak menceritakan pada siapapun.
"Tapi Bunda janji ya jangan bilang siapa-siapa?"
Jihan tak langsung mengangguk, ia tersenyum sambil membelai rambut putranya. "Memangnya serahasia apa sih sampai Bunda gak boleh bilang siapa-siapa?"
"Karena Adit takut bakal dipukulin lebih keras lagi sama ibu tirinya kalau sampai berani ngadu sama Ayahnya." Ucap Dafa, namun sesaat kemudian ia menutup mulut begitu tersadar telah keceplosan bicara.
"Jadi Adit pernah cerita sama Dafa?"
Dafa akhirnya mengangguk dan mengakui semua yang pernah diceritakan Adit, "Makanya Adit selalu pakai baju lengan panjang karena ditangannya banyak memar. Ibu tirinya jahat suka mukulin. Dafa juga takut sama Tante Windi, dia juga pasti jahat makanya Dafa gak mau keluar kamar. Dafa takut dipukulin."
"Astagfirullah," Jihan mengurut batang hidungnya, jadi karena itu selama beberapa hari ini Dafa sampai mengurung diri di kamar.
"Nak, dengerin Bunda ya. Gak semua ibu tiri itu jahat. Mungkin aja Aditnya kali yang susah dibilangin makanya dimarahin."
"Adit enggak nakal kok, Bunda. Memang ibu tirinya yang jahat."
Jihan terdiam, tidak tahu lagi harus mengatakan apa. Untuk sekarang ia harus fokus dengan kesembuhan putranya terlebih dahulu, setelah itu ia akan mencoba memberi pengertian pada Dafa.
Sejenak, pikirannya teralihkan pada Adit. Andai benar yang dikatakan Dafa sungguh malang nasib anak itu, padahal ayahnya adalah orang baik.
Tak berapa lama kemudian mereka pun akhirnya sampai. Jihan mengerutkan keningnya begitu melihat mobil suaminya telah berada di pelataran. Setelah membayar ongkos taksi, ia pun bergegas mengajak putranya masuk ke rumah.
Jihan yang tenang ya jangan gugup keluarga Aidan udah jinak semua kok paling Fio aja yang rada2🤭🤭🤭
makanya Jihan jangan meragu lagi ya Aidan baik dan bertanggung jawab kok g kayak sie onta
sampai rumah langsung ajak papa Denis ngelamar ya Ai biar g ditikung si onta lagi soalnya dia dah mulai nyicil karma itu