Demi menjaga kehormatan keluarga, Chandra terpaksa mengambil keputusan yang tidak pernah terbayangkan: menikahi Shabiya, wanita yang seharusnya dijodohkan dengan kakaknya, Awan.
Perjodohan ini terpaksa batal setelah Awan ketahuan berselingkuh dengan Erika, kekasih Chandra sendiri, dan menghamili wanita itu.
Kehancuran hati Chandra membuatnya menerima pernikahan dengan Shabiya, meski awalnya ia tidak memiliki perasaan apapun padanya.
Namun, perlahan-lahan, di balik keheningan dan ketenangan Shabiya, Chandra menemukan pesona yang berbeda. Shabiya bukan hanya wanita cantik, tetapi juga mandiri dan tenang, kualitas yang membuat Chandra semakin jatuh cinta.
Saat perasaan itu tumbuh, Chandra berubah—ia menjadi pria yang protektif dan posesif, bertekad untuk tidak kehilangan wanita yang kini menguasai hatinya.
Namun, di antara cinta yang mulai bersemi, bayang-bayang masa lalu masih menghantui. Bisakah Chandra benar-benar melindungi cintanya kali ini, atau akankah luka-luka lama kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kyurincho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malam yang Penuh Intrik
Rumah itu terasa seperti benteng, namun tidak sepenuhnya memberikan rasa aman. Sinar matahari siang menembus jendela besar di ruang tamu, memantulkan kilau dari perabotan mewah yang dipilih dengan selera tinggi. Chandra berdiri di depan sofa kulit hitam, tangannya menyilang di dada, ekspresinya tajam. Tepat di seberangnya, Erika dan Awan duduk di sofa lainnya, tampak seperti pasangan yang baru saja memasuki medan pertempuran.
Shabiya berdiri di dekat pintu, menyandarkan punggungnya pada dinding. Meski ia ingin menjaga jarak, suasana di ruangan itu membuatnya sulit berpura-pura tidak peduli. Erika dengan wajah sempurnanya tampak tegang namuan berusaha terlihat tenang, sementara Awan—kakak Chandra—mencoba menyembunyikan senyuman kecil di sudut bibirnya.
“Aku tidak ingat pernah mengundang kalian untuk berkunjung ke rumahku,” kata Chandra akhirnya, nadanya datar, dingin seperti es.
“Kami tidak membutuhkan undangan, Chandra,” jawab Awan, santai. Ia mengenakan setelan kasual, tetapi tetap terlihat rapi. “Kita ini keluarga, bukan?”
“Lucu sekali mendengar kata keluarga darimu,” balas Chandra dengan senyum miring. Ada nada berbahaya dalam suaranya, seperti pisau yang baru saja diasah.
Shabiya memperhatikan dinamika itu, merasa seperti penonton dalam pertunjukan yang penuh ketegangan. Erika, yang sejak tadi hanya diam, akhirnya berbicara. Suaranya lembut tetapi ada ketegangan yang jelas. “Kami hanya ingin memastikan semuanya baik-baik saja. Setelah pesta tadi malam, banyak yang membicarakan kalian. Kami hanya ingin tahu keadaanmu... dan Shabiya.”
Nama itu, ketika keluar dari mulut Erika, terdengar seperti racun manis. Shabiya tidak bisa menahan tawa kecil, tapi nadanya sarkastik. “Oh, jadi sekarang kau peduli dengan kami? Betapa manisnya.”
Erika menoleh ke Shabiya, wajahnya tersenyum tipis, tetapi matanya tidak menunjukkan kehangatan. “Tentu saja. Aku hanya ingin memastikan kau tidak merasa terbebani dengan... semua ini.”
"Semua ini?" Shabiya mengangkat alis. “Maksudmu menikahi Chandra? Jangan khawatir, Erika. Aku lebih dari mampu menangani suamiku.”
Chandra tersenyum tipis mendengar ucapan itu, meski ia tidak menginterupsi. Sebaliknya, ia membiarkan Erika dan Shabiya saling melemparkan panah tersembunyi.
Awan, yang tadi memilih diam, akhirnya kembali bicara. “Kau tahu, Chandra, kau dan Shabiya terlihat... dekat, tapi ada sesuatu yang terasa dipaksakan.”
Chandra menoleh ke Awan, tatapannya menusuk. “Kau tidak berhak membicarakan tentang apa yang dipaksakan atau tidak, Awan. Kau kehilangan hak itu saat kau memilih jalanmu sendiri.”
Awan tersenyum tipis, mencoba tetap tenang, tetapi ada sedikit merah di pipinya. Erika menggenggam tangannya, mencoba menenangkan. “Chandra, kami tidak datang untuk bertengkar. Kami hanya ingin bicara.”
“Kalau begitu, katakan saja maksudmu,” kata Chandra, melipat tangan di dadanya. “Aku tidak punya waktu untuk basa-basi.”
Awan tersenyum kecil, sebuah senyum yang lebih terlihat seperti provokasi daripada keramahan. “Aku hanya menyampaikan kekhawatiran ayah. Kalian menolak berbulan madu. Itu sedikit… mencurigakan, bukan?”
“Bukankah kau lebih baik fokus pada persiapan pernikahanmu sendiri, Awan?” balas Chandra dengan dingin. Nada suaranya mengandung peringatan, membuat senyum di wajah Awan sedikit memudar.
Shabiya, yang memperhatikan interaksi itu, menyela. “Aku pikir urusan rumah tangga kami bukan sesuatu yang perlu dijelaskan kepada siapa pun, termasuk kalian.” Ia menoleh ke Erika, nadanya lebih dingin. “Dan jelas bukan untuk tamu tak diundang.”
***
Hujan rintik membasahi kaca mobil mewah milik Awan saat ia memacu kendaraannya keluar dari gerbang besar rumah Chandra dan Shabiya. Kilatan lampu jalanan yang remang-remang memantulkan bayangan muram ke wajah Erika yang duduk di sebelahnya. Ia tampak gelisah, bibirnya mengatup rapat, tapi matanya penuh dengan amarah dan rasa frustrasi.
"Sial!" geram Awan, tinjunya menghantam setir dengan keras. "Aku tidak menyangka Chandra dan Shabiya akan mempermalukan kita seperti itu."
Erika melirik sekilas, matanya menyipit penuh curiga. "Menurutmu apa yang harus kita lakukan sekarang? Sejak tadi kau terus mengeluh, tapi kita tidak mendapatkan solusi apa pun."
Awan menghela napas panjang, jari-jarinya mengetuk-ngetuk setir, seolah mencoba menahan sesuatu yang siap meledak kapan saja. "Aku tidak akan membiarkan Chandra mendapatkan simpati Ayah. Tidak. Dia sudah merebut terlalu banyak dariku. Aku tidak boleh gagal lagi kali ini, Erika. Semua ini karena wanita sialan itu—Shabiya—tidak mau bekerja sama denganku!"
Erika mendengus, tangannya mengelus perutnya yang mulai membesar. "Kau harus melakukan sesuatu, Awan. Aku tidak ingin kita berakhir seperti ini. Mengandung dan melahirkan anakmu tanpa mendapatkan sepeser pun dari harta Ayahmu? Itu bukan yang kita rencanakan."
"Aku tahu!" bentak Awan. "Aku hanya...sedang berpikir!"
Erika memutar matanya, lalu menatap ke luar jendela. "Seharusnya waktu itu kau menikah saja dengan Shabiya. Jadi aku tidak perlu mengkhianati Chandra. Aku tidak perlu menanggung semua ini."
Awan membanting setir ke kiri, membuat mobil meluncur lebih cepat di jalan basah. Ia menoleh tajam ke Erika, matanya penuh dengan kemarahan yang tidak terkontrol. "Kau benar! Kalau aku tahu kau ternyata tidak berguna seperti ini, aku pasti menikahi Shabiya. Dia lebih pintar, lebih tangguh, dan pasti bisa memanipulasi Ayah lebih baik darimu!"
"Dasar brengsek!" Erika hampir berteriak, suaranya pecah karena marah dan kecewa. "Kalau kau merasa aku tidak berguna, kenapa aku masih di sini bersamamu?!"
Awan mengerem mendadak, membuat Erika terhuyung ke depan. Ia menatapnya dengan dingin, nadanya menurun, tapi penuh ancaman. "Dengar, Erika. Sekarang kita adalah sekutu. Jika kau tidak ingin berakhir menjadi pengemis di jalanan dengan anak ini, kau harus terus membantuku sampai akhir. Kita akan menghancurkan pernikahan Chandra dan Shabiya, memastikan mereka tidak akan mendapatkan apa-apa."
Erika menggertakkan giginya, tapi ia tahu ia tidak punya pilihan lain. "Lalu apa rencanamu?"
Senyum dingin Awan muncul, penuh tipu daya. "Kita akan bermain dengan perlahan. Hancurkan kepercayaan mereka satu sama lain. Buat Shabiya merasa Chandra bukanlah pria yang bisa diandalkan. Dan kita punya banyak rahasia masa lalu Chandra yang bisa dimanfaatkan. Tapi pertama-tama..."
Erika menunggu dengan napas tertahan, sementara Awan menyandarkan punggungnya ke kursi, matanya menyipit penuh rencana jahat. "Kita harus membuat Chandra percaya bahwa Shabiya adalah ancaman untuk kekuasaannya. Lalu, kita akan menyerang ketika mereka tidak siap."
***
Ruangan kamar tidur Chandra dan Shabiya dipenuhi cahaya hangat dari lampu meja yang memantul lembut di dinding krem. Di luar, gemuruh kota besar tetap terdengar samar, meski mereka berada di lantai atas rumah mewah mereka. Chandra duduk di ujung ranjang, kemejanya dibiarkan terbuka di bagian atas. Sorot matanya tajam, tapi bibirnya melengkung tipis, menikmati pemandangan Shabiya yang berjalan mondar-mandir di depan jendela, tampak gelisah.
"Kau terlihat tegang," kata Chandra.
"Karena aku memikirkan Awan dan Erika," jawab Shabiya tanpa basa-basi. "Mereka tidak datang hanya untuk basa-basi. Sepertinya ada sesuatu yang sedang mereka rencanakan."
Chandra duduk di tepi ranjang, menatap istrinya dengan intens. "Aku juga merasakan hal yang sama. Tapi apapun yang mereka coba lakukan, mereka tidak akan menang. Tidak selama aku ada di sini."
Shabiya mendengus, tapi ada sedikit senyum di bibirnya. "Kau terlalu percaya diri."
"Itu karena aku punya alasan untuk percaya diri," Chandra membalas dengan nada rendah yang hangat. "Dan karena... sekarang aku punya kau di sisiku, bukan Erika."
“Ngomong-ngomong soal Erika, wanita itu sungguh menyebalkan,” gumam Shabiya, suaranya terdengar tegas meskipun ia mencoba terlihat santai. "Apa dia selalu punya kebiasaan berbicara sambil memamerkan cincin tunangannya?”
“Dia memang suka pamer,” jawab Chandra santai. “Tapi itu bukan berarti dia ingin menunjukkan apa-apa padaku. Erika hanya suka jadi pusat perhatian.”
Shabiya mendesah keras, lalu memutar mata. “Pusat perhatian? Dia seperti badut sirkus yang salah tempat.” Shabiya mendesah. “Kalau dia terus-terusan datang seperti itu, aku mungkin harus mempelajari beberapa trik untuk menanganinya. Atau mungkin aku cukup pukul wajahnya sekali.”
Chandra terkekeh pelan. “Aku tidak keberatan kau memukulnya. Tapi aku yakin Erika hanya mencoba mencari kelemahanmu.”
“Baiklah, aku tidak akan memberikan apa yang dia cari,” ujar Shabiya dengan nada dingin. Ia menatap Chandra, lalu mengangkat alis. “Tapi kau... kau terlalu santai tadi. Tidak bisakah kau setidaknya menunjukkan bahwa kau ada di pihakku?”
Chandra duduk di tepi tempat tidur, menatapnya dengan ekspresi penuh teka-teki. “Aku tidak perlu berteriak atau memihak, Shabiya. Kau sudah menang tanpa aku harus ikut campur.”
“Oh, jadi kau pikir aku menang?” tanya Shabiya, menyipitkan mata. “Padahal dia datang ke rumah kita, mempermalukanku dengan kata-kata manisnya yang berbisa, dan kau hanya diam.”
“Aku tahu kau bisa menangani Erika tanpa bantuan, sayang,” Chandra menekankan kata terakhir itu dengan nada yang membuat Shabiya mendengus.
Shabiya tertawa kecil, merasa lucu dengan panggilan baru itu. “Baiklah, suamiku yang bijaksana," balasnya seolah menerima panggilan baru dari Chandra untuknya. "apa rencanamu sekarang? Karena aku tidak punya niat untuk terus-terusan terjebak dalam drama keluarga ini tanpa mendapatkan sesuatu untuk diriku sendiri.”
Chandra menatapnya serius. “Kesepakatan, kalau begitu. Kita buat perjanjian. Ini akan menjadi pernikahan yang saling menguntungkan.”
***