Novel ini lanjutan dari Antara Takdir dan Harga Diri. Bagi pembaca baru, silahkan mulai dari judul diatas agar tau runtun cerita nya.
kehilangan orang yang paling berharga di dalam hidup nya, membuat Dunia Ridho seakan runtuh seketika. Kesedihan yang mendalam, membuat nya nyaris depresi berat hingga memporak porandakan semua nya.
Dalam kesedihan nya, keluarga besar Nur Alam sedang bertikai memperebutkan harta warisan, sepeninggal Atu Nur Alam wafat.
Mampu kah Ridho bangkit dari keterpurukan nya?.
silahkan simak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alvinoor, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pilu.
*Tisu nya di persiapkan kan*
Setelah beberapa lama nya, tiba tiba Pitu ruang UGD terbuka, seorang dokter tua muncul dari balik pintu itu.
"Kau keluarga pasien?" tanya nya pada Ridho.
"Be betul Dok, saya suami nya, bagai mana dengan keadaan istri saya dok?" tanya Ridho.
"Masuklah, pasien ingin bertemu, bawa serta putra putri mu" ucap dokter tua itu menepuk bahu Ridho penuh makna, lalu melangkah kearah ruang pribadi nya. Dia tahu apa yang akan terjadi, karena sudah sangat sering dia menerima pasien dengan sakit semacam ini selama dia ditugaskan di rumah sakit kecil ini.
Ridho melangkah memasuki ruang UGD dengan berjuta perasaan berkecamuk di dada nya.
"Hai sayang Tasya!, kesini lah!" ucap Anastasya sambil melambaikan tangan nya kearah Ridho, seulas senyum yang dipaksakan terbit di bibir pucat pasi nya.
Dipaksakan nya tubuh lemah nya untuk duduk bersandar di dada Ridho yang memeluk nya dari belakang.
Berkali kali dia mencium pipi kanan dan kiri Ridho , sembari berurai air mata.
"Papah sayang!, jangan menangis ya, ikhlaskan mamah, jaga buah hati kita baik baik" ucap Anastasya lemah, lalu di lambai kan nya tangan nya pada ketiga buah hati nya itu.
"Firdaus putra mamah, jaga adik adik ya sayang, kau juga Hafizah, jaga adik baik baik, juga jaga papah, nurut sama papah ya sayang, mamah sayang kalian semua" ucap Anastasya menciumi putra putri nya satu persatu.
Kembali di cium nya kedua pipi Ridho sembari berucap, "papah sayang, bolehkan Tasya tidur di pangkuan papah?" ....
Tak kuasa berkata kata lagi, Ridho duduk di ujung brankar, lalu Anastasya meletakan kepala nya di pangkuan Ridho.
"papah sayang, Tasya sayang papah, Tasya akan menunggu papah di alam sana, jaga buah hati kita ya sayang" ucap Anastasya dengan air mata nya yang kembali mengalir membasahi kedua pipi nya.
Lalu ditarik nya nafas dalam dalam, "laa Ilaha ilallah!",dengan senyum merekah di wajah nya, Anastasya menutup mata nya untuk selama lama nya. Kepala nya terkulai dipangkuan sang suami tercinta.
"Mamah!" ....
"Mamah!" ....
"Mamah!" ....
"Jangan tinggalkan Fizah mah!, Fizah mau ikut mamah!" jerit Hafizah meronta dalam pelukan Abang nya yang juga berurai air mata.
Sedangkan si bungsu Syafiq, meringkuk di sudut ruangan, duduk dengan dengkul di tekuk keatas, dan kepala nya diletakan diatas dengkul, pundak nya turun naik karena menangis.
Ridho tidak lagi kuasa berkata kata, semua begitu mendadak seperti mimpi.
Berkali kali ditatap nya sang istri yang terpejam dengan bibir tersenyum manis.
Entah sudah untuk ke berapa kali nya wajah sang istri di ciumnya tanpa berucap sepatah kata pun juga.
Pilu!, ya hanya kepiluan yang dia rasakan kini, sebagian dari jiwa nya telah pergi bersama kepergian Anastasya sang kekasih pujaan hati nya itu.
"Kutahu rumus dunia, semua harus berpisah, tetapi ku mohon, tangguhkan tangguhkan lah.
Bukan nya ku mengingkari, semua yang telah terjadi, tetapi kumohon, kuatkan kuatkan lah" .
Tak ada yang dapat di ucapkan Ridho, dada nya terasa sesak menerima kenyataan pahit yang dia alami.
Dia ingin semua ini hanyalah mimpi buruk, bangkit dan bangun dari mimpi, tetapi ini nyata, bukan mimpi.
Jerit tangis Hafizah tak lagi mampu mengusik jiwa nya yang sedang berduka dengan sangat dalam.
Dia hanya menatap hampa, wajah Anastasya yang terkulai dipangkuan nya tanpa ekspresi apa apa.
Pintu ruangan UGD terbuka, Rita muncul dari balik pintu itu, menatap kearah Ridho yang sedang memangku kepala Anastasya dengan mata menatap menatap kosong.
"Kakak!, apa yang telah terjadi kak, kakak, sadar kak, nyebut kak!" jerit tangis Rita pecah seraya memeluk Ridho.
"Kakek!, tolong mamah kek, bangunin mamah, Fiza ingin mamah!" jerit Hafizah memeluk tubuh pak Bastian, sambil mengguncang guncang nya.
Sedangkan Syafiq, memeluk tubuh Arianto paman nya seraya menangis tanpa suara.
Nang umi Habibah menatap kearah pemuda yang dulu sangat dikagumi nya itu dengan tatapan iba, berjalan mendekati Ridho, lalu pelan mengumandangkan ayat suci Al Qur'an surah Ar Rahman, dengan harapan Ridho keluar dari dunia lara nya sekarang.
Seperti tersadar dari dunia kegelapan nya, Ridho sekali lagi menatap kewajah Anastasya yang berada di pangkuan nya itu, mencium nya berkali kali, lalu meletakan nya diatas bantal.
Melihat papah nya mulai tersadar, Hafizah berlari kedalam pelukan nya, menangis sejadi jadi nya.
Ridho tidak mampu berkata kata, bila dia berkata kata, maka air mata nya pasti akan tumpah ruah.
Firdaus dan Syafiq berlari kearah sang papah, memeluk pria itu sembari menangis pilu.
Ridho hanya mampu mengelus belakang ketiga buah hati nya itu, tanpa mampu mengucapkan sepatah kata pun juga.
Pak Bastian Arianto dan Guntur mengambil alih tanggung jawab mengurus urusan rumah sakit itu, hingga mengurus ambulan untuk membawa jenazah Anastasya pulang kerumah.
Setiba nya di rumah, saat berjalan memasuki pintu rumah yang biasa nya selalu disambut oleh Anastasya itu, pertahanan Ridho pun habis sudah, pandangan mata nya tiba tiba gelap, dan semua daya nya pun sirna.
Ridho jatuh pingsan, untung Guntur dengan sigap, memeluk tubuh sahabat yang kini sudah menjadi kakak ipar nya itu.
Tangis Hafizah kembali pecah, meraung raung memeluk tubuh papah nya.
Firdaus memeluk tubuh sang adik tanpa tahu harus berbuat apa, karena air mata nya sendiri pun tak jua berhenti mengalir, meskipun tanpa suara.
Malam itu Ridho duduk di samping jasad sang istri, tanpa suara, juga tanpa tangis, hanya dari tatapan mata nya, orang tahu jika pemuda itu benar benar hancur lebur sekarang, terluka se sakit sakit nya.
Sepanjang malam, beberapa kali dibuka nya jarik penutup jasad sang istri, lalu di cium nya kedua pipi putih milik istri nya itu.
Di tatap nya lama sekali wajah jelita dengan mata tertutup itu.
"Bangunlah sayang, bawa aku pergi, agar kita selalu bersama sama, bukankah itu janji kita dulu sayang, mengapa sekarang kau diam membisu?" begitulah keluh hati Ridho sepanjang malam, sambil menggenggam tangan Anastasya yang sudah dingin itu.
Sedari pulang dari rumah sakit, tidak ada sebutir nasi pun yang mampu melewati kerongkongan Ridho , meskipun dipaksakan oleh Guntur dan Rita.
Firdaus datang menghampiri papah nya.
"Paah!, papah tidurlah pah, biar mamah Daus yang jaga!" ucap Firdaus lembut sambil memegang lengan papah nya dengan lembut.
Ridho hanya menatap kearah putra sulung nya itu sesaat, lalu menggelengkan kepala nya, tanpa ada kata kata yang mampu dia ucapkan.
Firdaus memeluk tubuh papah nya, mungkin hanya dia dan adik adik nya saja yang tahu, bagai mana besar nya rasa cinta sang papah kepada mamah nya.
Tidak pernah sekalipun kedua nya berselisih paham, apalagi cekcok, semua mereka selesaikan dengan canda dan tawa.
Setiap mereka menonton TV, sang mamah selalu meminta papah nya untuk merebahkan tubuh nya berbantalkan paha nya.
Begitu besar nya kecintaan sang mamah kepada papah nya, sehingga tidak pula wanita cantik itu menyentuh makanan, bila sang papah nya belum datang. Dan tentu saja begitu pula sebalik nya.
Lamat lamat, Firdaus melihat bulir air bening menggelinding di pipi sang papah, namun segera di hapus oleh nya.
Firdaus tahu, papah nya benar benar hancur sekarang, hancur sehancur hancur nya. Apakah papah bisa bangkit kembali, hanya Allah yang tahu.
Hingga pagi menjelang, saat sholat subuh, Om Guntur yang menjadi imam nya.
Orang orang mulai datang berta'jiah, seperti kebiasaan orang kampung, membawa beras dan uang seikhlasnya, tidak memandang miskin atau kaya.
Kali ini yang mendampingi memandikan jenazah adalah Rita, mewakili keluarga di pimpin oleh neng umi Habibah sendiri.
Sedangkan yang mentalkinkan nya adalah ustadz Hidayat sendiri.
Saat semua orang sudah pulang kerumah, Ridho tetap tinggal diatas pusara sang istri Disamping pusara ayah nya.
Tak ada kata kata yang mampu terucap dari bibir Ridho, kepiluan ini benar benar menghancurkan segala gala nya.
Di peluk nya batu nisan berwarna putih itu dengan perasaan hancur, pertahanan nya kita sudah sampai pada ujung nya.
Tanpa suara, air mata Ridho berderai diatas batu nisan itu, dunia nya serasa runtuh seketika.
Rita dan umi Habibah yang menyaksikan itu, tak mampu menahan air mata mereka, runtuh bersama kesedihan yang mendalam.
Tanpa terdengar suara nya, Ridho memeluk batu nisan putih itu sambil berderai air mata nya.
"Nak!, ikhlas kan semua nya, biarkan Tasya memulai perjalanan nya dengan tenang!" ucap kakek Syarkawi dengan mata yang juga berkaca kaca. Dia tahu arti sebuah kehilangan, saat dahulu sang istri pergi mendahului nya, dia juga merasa hancur lebur.
"Nak! Meskipun Tasya sudah tiada, kau tetaplah putra ku, putra yang ku sayangi, kau pengganti Tasya ku yang sudah pergi" ucap pak Bastian membelai rambut Ridho.
Ketiga buah hati nya bersimpuh di samping nya, seraya memeluk tumpukan tanah merah, seperti mereka memeluk sang mamah.
Guntur datang menghampiri sahabat nya itu.
Dipeluk nya tubuh sahabat nya itu dari belakang, "Do, aku tahu ini sangat berat, tapi ku mohon bangkitlah!, bangkitlah demi anak anak, kau sudah didera berbagai ujian, aku yakin Allah akan menuntun langkah mu sahabat ku, putra ayah Firman yang kuat, bangkitlah sahabat!" ucap Guntur bergetar kerena larut dalam kesedihan yang mendalam.
...****************...