"Hanya satu tahun?" tanya Sean.
"Ya. Kurasa itu sudah cukup," jawab Nadia tersenyum tipis.
"Tapi, walaupun ini cuma pernikahan kontrak aku pengen kamu bersikap selayaknya istri buat aku dan aku akan bersikap selayaknya suami buat kamu," kata Sean memberikan kesepakatan membuat Nadia mengerutkan keningnya bingung.
"Maksud kamu?"
"Maksud aku, sebelum kontrak pernikahan ini berakhir kita harus menjalankan peran masing-masing dengan baik karena setidaknya setelah bercerai kita jadi tau gimana rasanya punya istri atau suami sesungguhnya. Mengerti, sayang!"
Loh, kok jadi kayak gini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Araya Noona, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gaun Pengantin
Sean menghela napas pelan setelah dia duduk di dalam mobil yang sejak tadi sudah menunggunya. Dia sedikit melonggarkan dasi yang terasa mencekek lehernya. Tak lupa dia juga membuka satu kancing kemeja putihnya agar udara bisa masuk lebih lancar lagi memenuhi rongga dada yang tiba-tiba terasa begitu sesak.
"Saya sudah gak punya jadwal meeting lagi kan?" tanya Sean pada pria yang menjadi asisten sekaligus sopir pribadinya selama dia di sana.
"Sudah tidak ada lagi, Pak," jawab pria yang memiliki umur lima tahun atas Sean namun karena jabatannya membuat dia menjadi bawahan. Kendati demikian Sean selalu memperlakukannya dengan baik. Itu yang membuat, Dominic betah bekerja dengan Sean.
"Ya udah, kalo gitu antar saya ke rumah sakit Alatha," ujar Sean sebelum menyandarkan kepalanya ke belakang berniat untuk tidur sebentar.
"Anda tidak apa-apa? Apakah Anda sakit?" Tentu saja Dominic panik karena Sean tiba-tiba memintanya ke rumah sakit.
"Enggak. Tapi saya pengen ketemu calon istri saya," jawab Sean tanpa membuka matanya yang sejak tadi sudah menutup.
Mendengar jawaban itu membuat Dominic menahan diri untuk tidak tersenyum terlalu kentara. Dia segera melajukan mobil itu dengan suasana hati yang begitu senang.
Sungguh, sejak Sean mengatakan jika dirinya akan segera menikah, Dominic menjadi salah satu orang yang paling bahagia. Sebab itu berarti sang atasan sudah mulai mencoba melupakan sosok Arumi yang membuat Sean hampir gila ketika dia mengetahui wanita yang begitu dia cintai itu selingkuh darinya.
Demi apapun Dominic tidak ingin lagi melihat Sean seperti hari itu. Mengingatnya saja sudah membuat pria dengan rambut hitam legam itu tergidik ngeri.
Tak butuh waktu lama, mobil hitam yang dikendarai Sean dan Dominic telah sampai di depan rumah sakit besar Alatha. Sean memilih menanggalkan jas yang tadi dipakainya. Menyisakan kemeja putih yang lengannya digulung sampai siku dipadukan dengan celana hitamnya. Tampilannya memang sederhana namun sanggup membuat setiap pasang mata yang melihat terkagum akan pesonanya.
"Kamu di mana?" tanya Sean sesaat setelah menempelkan gawainya di telinga.
Belum sempat lawan bicaranya menjawab, Sean membuka suara kembali.
"Aku udah liat kamu," ujarnya membuat sosok dengan blazer putih itu menoleh ke arah pintu utama dimana Sean melambai padanya.
Nadia tersenyum tipis melihat presensi Sean di sana. Sebenarnya dia merasa tidak enak, dijadwal pemeriksaan kali ini Sean meminta untuk menemaninya. Bahkan sampai Sean kini berdiri di hadapannya, Nadia tak kunjung mengatakan apa-apa.
"Kamu gak perlu merasa sungkan begitu. Aku kan calon suami kamu. Jadi wajar dong kalo aku pengen tau gimana keadaan kamu," ujar Sean sembari mengulas senyuman yang begitu manis.
Bukankah Nadia sudah mengatakan jika Sean itu pria yang sangat peka? Nadia tidak perlu mengatakan apa yang dia rasakan sebab Sean akan langsung menembaknya hanya dengan melihat ekspresi wajah wanita itu. Ditambah perlakuan serta kata-kata manis yang keluar dari mulut pria itu membuat Nadia semakin kacau. Bagaimana tidak, Sean seakan menunjukkan jika pernikahan yang akan segera mereka jalani itu adalah pernikahan yang sesungguhnya. Seakan mereka itu adalah pasangan yang saling mencintai.
Tidak. Tidak. Nadia tidak boleh terbawa perasaan. Daripada memikirkan hal yang tidak penting itu, lebih baik sekarang Nadia segera berlalu dari sana dan menemui dokter yang akan memeriksanya.
"Pertumbuhannya ternyata lebih cepat dari yang pertama," kata dokter yang merawat Nadia selama ini dengan raut wajah menyesal. Nadia juga ikut meloloskan satu helaan napas berat mendengar penuturan sang dokter.
"Tapi, Anda tenang saja setelah menjalankan operasi selanjutnya," Sang dokter menoleh ke arah Sean lalu tersenyum tipis. "Dan Anda bisa segera hamil lalu menyusui, saya yakin tidak akan ada lagi masalah," lanjutnya. Jika Nadia tidak membawa seorang pria hari ini dan memperkenalkannya sebagai calon suaminya mungkin dokter Ai akan sangat khawatir dengan keadaan pasiennya itu. Dia sangat bersyukur karena akhirnya Nadia mau mengikuti sarannya.
"Berarti saya harus segera menghamili Nadia ya, Dok?" celetuk Sean tiba-tiba membuat Nadia dan Dokter Emi melotot tak percaya ke arahnya.
Astaga! Gamblang sekali pria itu bicara. Ditambah raut wajahnya tak menampakkan perasaan bersalah sama sekali. Terlihat sangat polos tanpa dosa. Dokter Ai sampai dibuat tertawa.
"Iya, harus secepatnya." Dokter Ai juga ikut mengiyakan membuat rahang Nadia seakan ingin lepas dari tempatnya. Mereka berdua sepertinya memang sengaja ingin menggodanya dengan kata-kata yang terdengar begitu ambigu.
Nadia hanya bisa menghela napas lalu menunduk menyembunyikan wajahnya yang sudah pasti memerah akibat perasaan malu. Sementara Sean dan dokter Ai justru tersenyum penuh kemenangan karena berhasil menggoda Nadia.
Setelah sesi pemeriksaan selesai, Nadia dan Sean pamit pada dokter Ai. Tak lupa mereka juga memberi undangan pernikahan pada sang dokter. Ya, memang secepat itu Sean mempersiapkan pernikahannya sebab dia dan keluarganya harus segera kembali ke Eligra. Nadia sendiri sampai tak dibiarkan bernapas. Tahu-tahu saja semuanya sudah hampir selesai.
"Hari ini kamu bakalan ketemu sama Mama dan Papaku di butik," kata Sean setelah mereka berada di dalam mobil dengan Dominic yang menjadi sopir pribadi mereka.
"Mereka datang?"
"Iya. Kan pernikahan kita tinggal seminggu lagi," jawab Sean sambil menatap layar ponselnya. "Mamaku yang bakalan bantuin kamu milih gaun pengantin," lanjutnya memberikan senyuman pada Nadia sebelum kembali fokus pada layar ponsel.
Bohong jika Nadia mengatakan dirinya tidak gugup akan bertemu dengan calon mertuanya. Meski pernikahan itu dilakukan untuk sebuah tujuan dan bukannya cinta, tetap saja Nadia merasa gelisah. Bagaimana jika kedua orangtua Sean tidak menyukainya? Sedangkan Nadia di sini tidak mungkin mundur lagi.
"Oke!" Namun sebisa mungkin Nadia tak memperlihatkan kegugupannya itu di depan Sean. Dia tetap tersenyum seakan tanpa beban.
Lima belas menit berlalu dan mereka pun sampai di salah satu butik yang sangat terkenal di kota itu. Nadia cukup dibuat terkejut saat Sean dengan sigap membuka pintu mobil untuknya lalu menggandeng tangannya masuk ke dalam butik tersebut. Hampir saja Nadia terbawa perasaan hingga dia mengingat alasan Sean mau menikah dengannya. Untuk formalitas. Jadi apa yang Sean lakukan padanya sekarang juga bagian dalam formalitas tersebut dan sebisa mungkin Nadia harus mengikuti permainan dengan baik.
"Kalian sudah datang?" sambut Antoni tersenyum ramah.
"Iya, Pa," jawab Sean sementara Nadia menunduk sedikit sebagai sapaan sopan pada ayah dari calon suaminya itu.
"Wah! Calon menantuku cantik sekali!" puji Antoni.
"Terimakasih...."
"Panggil Papa saja. Kan sebentar lagi kamu akan jadi bagian dari keluarga kami," sambung Antoni dengan cepat sambil tertawa ringan.
Kini Nadia tahu dari mana Sean mendapat sifat mudah peka dengan keadaan. Ternyata itu menurun dari ayahnya.
"Iya, Pa," jawab Nadia dengan nada sedikit malu-malu.
"Mama kemana?" tanya Sean kemudian. Dia sudah melihat sekeliling tempat itu dan tak mendapati eksistensi sang ibu.
"Mama di sini!" Belum sempat Antoni menjawab, Indira sudah keluar dari dalam toko dengan beberapa orang pegawai mengikutinya dari belakang sambil menenteng masing-masing satu gaun pengantin.
"Ternyata calon menantu kita sudah datang," kata Indira berjalan ke arah Nadia.
Jika tadi Nadia merasakan aura yang sangat hangat saat ayah Sean yang mendekatinya, kini justru aura dingin dan mencekam yang terasa menghampirinya. Wanita itu sampai tidak sadar mengeratkan genggaman tangannya pada tangan Sean yang sejak tadi juga terus bertautan. Nadia juga sampai harus menelan salivanya berat sebelum mengulas senyuman kembali.
"Ayo! Kamu harus coba beberapa gaun pengantin yang sudah saya pilihkan untukmu," kata Indira meraih tangan Nadia lalu menariknya untuk terlepas dari sang putra.
Baiklah. Sekarang Nadia benar-benar gugup. Dia hanya berharap agar dirinya masih bisa keluar dari tempat itu dengan selamat.
***