Kania harus menerima kenyataan pahit ketika suaminya—Adrian, menceraikannya tepat setelah malam pertama mereka.
Tanpa sepengetahuan Adrian, Kania mengandung anaknya, calon pewaris keluarga Pratama.
Kania pun menghilang dari kehidupan Adrian. Tetapi lima tahun kemudian, mereka dipertemukan kembali. Kania datang dengan seorang bocah laki-laki yang mengejutkan Adrian karena begitu mirip dengannya.
Namun, situasi semakin rumit ketika Adrian ternyata sudah menikah lagi.
Bagaimana Kania menghadapi kenyataan ini? Apakah ia akan menjauh, atau menerima cinta Adrian yang berusaha mengambil hatinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9 Permintaan Reno
Kania dan Reno akhirnya memutuskan untuk makan malam di sebuah kafe yang dilengkapi minimarket.
Di sebelahnya, Enzio tengah sibuk menikmati es krim sambil sesekali menatap Kania dan Reno dengan mata penasaran.
“Jadi… Zio anaknya mas Adrian?” Reno bertanya sambil melebarkan mata, tampak benar-benar tidak percaya.
Kania hanya mengangguk pelan. Percuma saja jika ia terus menyembunyikan identitas Enzio dari Reno. Cepat atau lambat, Reno pasti akan mengetahui kebenarannya.
“Kenapa, Mbak Kania tidak meminta pertanggungjawaban dari mas Adrian? Kenapa malah menerima perceraian begitu saja? Apa Mbak tidak berpikir kalau Zio butuh sosok ayah?” Reno bicara panjang lebar, suaranya sedikit bergetar karena rasa kesal yang ia tahan. Kecewa dan marah bercampur menjadi satu ketika ia memikirkan bagaimana Adrian memperlakukan Kania.
Keluarga Pratama, keluarga besar Reno dan Adrian, sudah tahu tentang perceraian mereka. Namun keluarga Kania tidak ada yang tahu kecuali dirinya sendiri.
“Ren, kumohon, jangan bahas mas Adrian di depan Zio," ujar Kania lembut dengan nada memohon.
Matanya melirik ke arah putranya yang masih asyik menikmati es krim, tanpa menyadari betapa rumitnya percakapan yang berlangsung di hadapannya.
Reno menghela napas, mencoba memahami. “Jadi, Zio belum tahu tentang ayahnya?”
Kania menggeleng pelan sambil menyesap jus jeruk yang ada di atas mejanya. Dia menatap Reno, seolah ingin mengatakan banyak hal, namun bibirnya tetap terkatup.
“Maafkan aku, Mbak.” Reno mengulurkan tangannya, memberanikan diri menggenggam tangan Kania di atas meja. “Aku tidak bisa membayangkan betapa beratnya semua ini untuk kamu.”
Kania tersenyum tipis lalu menarik tangannya. “Aku sudah melupakannya, Reno.”
Sejak dulu, hubungannya dengan Reno memang selalu baik. Mereka pernah dekat, namun Kania lebih memilih Adrian ketika tahu mereka dijodohkan.
Reno tersenyum pahit, mengingat semua itu. “Boleh aku meminta bantuanmu untuk sesuatu?”
“Bantuan apa?” Kania bertanya sambil mengernyit penasaran. “Oh, dan satu lagi. Sekarang aku bukan lagi kakak iparmu. Bisa tidak, jangan panggil aku Mbak lagi? Rasanya aneh.”
Reno tertawa kecil. “Baiklah, Kania. Aku mengerti,"”katanya sambil tersenyum.
Suasana tiba-tiba menjadi hening. Reno mengamati Enzio yang tampak begitu riang, tak sadar akan percakapan berat antara dirinya dan ibunya.
Wajah Enzio memang sangat mirip dengan Adrian, kakak kandungnya. Sebuah kenyataan yang cukup sulit diterima.
“Lantas, bantuan apa yang kamu butuhkan?” tanya Kania.
“Yakin mau membantu?” Reno mengangkat alisnya, tampak sedikit menggoda.
Kania menepuk pelan lengannya, tertawa kecil. “Tadi kamu yang meminta bantuan. Kenapa sekarang malah balik bertanya?”
Reno menatapnya serius. “Aku ingin kamu menemaniku ke acara keluarga besar Pratama,” katanya tiba-tiba, membuat Kania terkejut dan terpaku.
“Apa? Mengapa aku harus ikut?” Kania bertanya dengan nada bingung. “Aku tidak mungkin membawa Zio, Reno. Tidak mungkin.”
Reno menggeleng. “Kamu tidak perlu membawa Zio. Aku hanya minta kamu datang bersamaku, berpura-puralah menjadi kekasihku. Aku sudah muak dengan desakan kakek untuk segera menikah,” katanya dengan nada putus asa. “Kania, hanya untuk satu malam saja…”
Kania melotot padanya. “Kamu gila! Aku tidak akan melakukan itu, Reno. Ini sudah keterlaluan.”
“Aku tidak akan menjelaskan hubungan kita. Biar aku saja yang bicara. Kamu cukup datang dan temani aku.” Reno menatap Kania penuh harap. “Kumohon, Kania. Aku benar-benar butuh bantuanmu kali ini. Karena aku tidak mungkin menyewa wanita bayaran jika sudah ada kamu kan?”
Kania terdiam, tampak bimbang. Hatinya berperang antara rasa kasihan pada Reno dan keraguan besar yang memenuhi pikirannya. Acara keluarga besar Pratama? Itu berarti akan bertemu dengan keluarga Adrian. Mungkinkah ia menghadapi mereka setelah sekian lama? Setelah semua luka yang masih belum sepenuhnya sembuh?
Namun, melihat tatapan memohon dari Reno, Kania tak bisa menolak. Ia tahu betapa sulitnya posisi Reno dalam keluarga besar itu, terutama dengan tekanan untuk menikah dari kakeknya yang tidak pernah berhenti.
“Baiklah,” katanya akhirnya seraya menghela nafas panjang. “Tapi hanya untuk kali ini saja, Reno. Jangan harap aku akan mengulanginya lagi.”
Reno tersenyum lebar, terlihat begitu lega. “Terima kasih, Kania. Kamu tidak tahu betapa berartinya ini untukku.”
Kania mengangguk pelan, menatap Reno dengan campuran perasaan aneh. Keputusan yang diambilnya ini mungkin akan membuka kembali luka lama, tapi ia berharap semua akan baik-baik saja.
Setidaknya, untuk malam ini.
Enzio, yang selesai dengan es krimnya, menatap mereka berdua dengan tatapan polos. “Ibu, kapan kita pulang?”
Kania tersenyum dan mengusap kepala Enzio. “Sebentar lagi, sayang. Sebentar lagi.”