Entah dari mana harus kumulai cerita ini. semuanya berlangsung begitu cepat. hanya dalam kurun waktu satu tahun, keluargaku sudah hancur berantakan.
Nama aku Novita, anak pertama dari seorang pengusaha Mabel di timur pulau Jawa. sejak kecil hidupku selalu berkecukupan. walaupun ada satu yang kurang, yaitu kasih sayang seorang ibu.
ibu meninggal sesaat setelah aku dilahirkan. selang dua tahun kemudian, ayah menikah dengan seorang wanita. wanita yang kini ku sebut bunda.
walaupun aku bukan anak kandungnya, bunda tetap menguruku dengan sangat baik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alin26, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Tanganku bergetar, memegang sepucuk surat dari Mbok Wati. Tak menyangka semua yang dilakukannya hanya untuk menyelamatkanku. Bulir-bulir bening mulai jatuh di sudut mata. Menangisi kepergiannya dan penyesalan atas apa yang kulakukan kemarin.
"Seandainya aku membukakan pintu." Kata-kata ini yang terus terngiang di pikiranku. Sebuah penyesalan terbesar dalam hidupku.
Dalam suratnya, Mbok Wati menyebut nama Lastri, si Wanita Rambut Panjang itu. Aku bingung dengannya. Apa yang dia inginkan? Apa dia ingin membantuku atau ... bekerjasama dengan Wanita Ular itu? Sikapnya yang aneh saat menyuruhku untuk tidak membukakan pintu, membuatku curiga.
Lalu ... bagiamana dengan Pak Ahmad. Apa benar dia yang melakukan ilmu hitam. Jika benar, apa tujuannya?
Aku bangkit dari tempat tidur, mengunci pintu. Entah kenapa aku mulai merasa tidak aman di tinggal rumah sendiri. Apalagi Pak Ahmad ada di ruang tengah. Sementara itu ayah masih belum juga pulang.
*
Ponsel berdering, panggilan telepon dari Ayah. Segera kuangkat.
"Novi, ayah harus antar jenazah Mbok Wati ke rumahnya. Jadi besok baru pulang," ucap Ayah dari balik telepon.
"Ooo, ya udah gak apa-apa, Yah. Hati-hati. Salam buat keluarga Mbok Wati."
"Iya, nanti kalau mau minta apa-apa bilang ke Ahmad aja ya."
"Iya."
Telepon ditutup.
"Lebih baik malam ini tidur di rumah sakit aja, nemenin bunda." Terlintas sebuah ide. Soalnya agak menakutkan bila harus tetap di rumah, bersama Pak Ahmad.
Bergegas kumasukan satu set pakaian ke dalam tas kecil. Lalu, pergi mandi.
Setelah mandi dan bersiap-siap, aku langsung ke luar kamar. Berjalan menuju ruang tengah, sambil menjinjing tas kecil.
"Mau ke mana, Non?" tanya Pak Ahmad saat melihatku memasuki ruang tengah.
"Mau ke rumah sakit, Pak."
"Loh, nanti kalau bapak pulang gimana?" tanyanya.
"Ayah pulangnya besok."
"Mau saya antar?"
"Gak usah, Pak. Bapak jaga rumah aja."
"Tapi, Non ...." Pak Ahmad tetap berusaha ingin mengantarku.
"Beneran gak apa-apa, Pak. Novita bisa pergi sendiri."
"Oh, ya sudah."
Dengan langkah cepat, aku pergi ke luar rumah. Rasanya sulit sekali bersikap normal pada Pak Ahmad, setelah membaca surat dari Mbok Wati.
Di depan rumah masih ada beberapa kerumunan orang. Didominasi oleh tetangga-tetangga dekat rumah. Saat melihatku ke luar rumah, mereka semua mengurai senyum.
"Saya turut berduka cita ya, Dek," sapa salah satu tetangga yang menghampiriku.
"Iya, Pak."
Aku berdiri di depan rumah, sambil menelepon taksi.
"Mau saya antar aja, Non?" tanya Pak Ahmad dengan suara lantang, dari teras.
"Gak usah, Pak," sahutku.
Tak lama, taksi yang kupesan datang. Bergegas kumasuk ke dalam. Berlama-lama, di pinggir jalan terasa tidak nyaman. Bagaiamana tidak, sejak tadi seperti menjadi pusat perhatian.
Taksi mulai melaju menuju rumah sakit. Tempat yang lebih aman dibandingkan rumah. Seandainya saja, ada rumah keluarga dekat di kota ini. Pasti aku lebih memilih pergi ke sana. Sayangnya, baik keluarga ayah atau bunda, semuanya tinggal di luar kota.
Sesampainya di rumah sakit, aku langsung menuju kamar perawatan bunda. Kutatap wajah bunda yang masih tak sadarkan diri di atas tempat tidur. Kurang dari satu minggu lagi aku harus pulang ke Jerman. Semoga bunda lekas sadar.
Hari ini pertama kali aku bermalam di rumah sakit, sendirian. Sebelumnya ada Mbok Wati yang menemani.
Sudah jam 10 malam, tapi aku belum juga mengantuk. Hanya bisa menatap layar ponsel sambil bertukar kabar dengan beberapa temanku.
Tak terasa tubuh ini mulai merasa lelah. Kucoba membaringkan tubuh di sofa. Tak lama aku pun tertidur.
*
Pagi menyapa. Aku bangkit dari sofa. Pergi ke kamar mandi untuk cuci muka. Selanjutnya berjalan ke luar rumah sakit, mencari sarapan.
Setelah sarapan, aku merebahkan tubuh di sofa, sambil menonton video di ponsel. Rasa kantuk mulai menyerang. Entah sudah berapa lama aku hanya menatap ponsel.
Kusimpan ponsel di atas meja. Sunyinya suasana rumah sakit, akhirnya membawaku ke alam mimpi.
"Novita," panggil seseorang.
"Novita." Suaranya mirip sekali dengan bunda.
Kesadaranku mulai pulih. Namun mataku tetap tertutup.
"Novita."
Suara itu kembali terdengar jelas di telinga kiriku. Aku membuka mata, melihat ke arah sumber suara itu.
"Anak bunda sudah bangun," sapa Bunda dengan senyum merekah.
"Apakah ini mimpi?" tanyaku dalam hati. Kucubit kulit tangan. Aw! Terasa sakit.
"Bunda," sapaku seraya bangkit dari sofa, menghampirinya.
"Novita gak mimpi, Kan?"
"Kamu enggak mimpi, Sayang."
Air mataku mulai jatuh, sambil menggenggam tangan halus bunda. Akhirnya bunda sudah bangun dari tidur panjangnya.
"Bunda, Novita kangen." Kutatap wajahnya yang daritadi mengumbar senyum.
"Bunda juga kangen Novita," balasnya.
"Novita, kapan kamu pulang ke Indonesia?"sambungnya.
"Dari dua minggu lalu."
"leon sama Kevin mana?"
Deg! Tiba-tiba dadaku sesak, merasakan kepedihan yang begitu dalam. Bunda belum tau kalau kedua buah hatinya sudah tiada.
"Leon sama Kevin ada di rumah, Bun," balasku sambil menahan tangis.
"Kamu jangan bohong. Setiap kali berbohong pasti kamu tidak mau menatap wajah bunda."
"Bun ... Novita gak bohong," ucapku menatap wajahnya.
"Mbok Wati juga ada di rumah?"
Aku mengangguk pelan.
"Iya, jagain Leon dan Kevin."
"Qila, seharusnya kamu cepat kembali ke Jerman. Di rumah bahaya."
"Bahaya?"
"Apa Mbok Wati belum cerita?"
"Udah, Bun."
"Bunda rasa ada orang yang ingin mencelakai keluarga kita. Target pertamanya bunda, tapi dia gagal. Makanya bunda minta Mbok Wati jaga leon dan Kevin, takut mereka ikut menjadi target berikutnya," jelas Bunda.
"Apa Mbok Wati sudah tau siapa pelakunya," sambungnya.
"Ahmad. Itu kata Mbok Wati."
Bunda terdiam, seperti memikirkan sesuatu.
"Ahmad? Bunda rasa bukan. Selama tak sadarkan diri, bunda melihat gambaran seseorang, tapi tidak jelas. Perawakannya sangat bunda kenal, mirip dengan ...."
Krek!
Pintu kamar terbuka. Spontan aku menengok ke sana.
"Ayah," sapaku.
"Kamu ngapain tidur di sini?" Suara ayah terdengar kesal. Kemudia dia berjalan menghampiriku.
"Novita takut tidur di rumah," balasku.
"Kenapa takut, kan ada Ahmad."
"Ayah, bunda udah ...." Aku menoleh ke arah bunda, tapi matanya sudah kembali tertutup.
"Udah apa?" tanya Ayah.
"Udah sadar," balasku lemah.
"Kamu yakin?"
"Iya, barusan ngobrol sama Novita. Bun, ayah datang. Buka matanya. Bunda." Aku menangis sambil terus mencium tangan bunda.
"Novita, gak bohong, Ayah," sambungku.
"Iya, ayah percaya. Sekarang kamu pulang dulu ke rumah. Nanti biar dokter yang periksa." Ayah memegang kedua pundakku, mencoba membangkitkanku dari kursi.
"Novita mau di sini aja, Yah. Nemenin bunda." Aku menolak ajakannya.
"Besok ayah anter lagi ke sini," rayunya.
Aku menurut, kemudian membereskan semua barang bawaanku. Sesekali menatap bunda. Berharap tadi bukan halusinasiku saja.
"Bunda, Novita pulang dulu ya. Besok balik lagi," ucapku seraya berjalan meninggalkan kamar. Masih ada harapan, bunda membalas ucapanku. Nihil. Bunda tetap saja terdiam.