Annisa memimpikan pernikahan yang bahagia bersama lelaki yang dicintainya dan mencintainya. Tetapi siapa sangka dirinya harus menikah atas permintaan sang Kakak. Menggantikan peran sang Kakak menjadi istri Damian dan putri mereka. Clara yang berumur 7 tahun.
Bagaimana nasib Annisa setelah pernikahannya dengan Damian?
Mampukah Annisa bertahan menjadi istri sekaligus ibu yang baik untuk Clara?
Temukan kisahnya hanya di sini!^^
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kikan Selviani Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TERBIASA
Malam sudah larut ketika suara bel di depan pintu membuat Annisa terbangun dari tidurnya. Ia mengenakan selendang seadanya, rasa kantuk masih membekas di wajahnya. Namun, saat ia membuka pintu, pemandangan Damian yang setengah sadar, diapit oleh dua temannya, langsung membuat hatinya tercekat.
“ Mas Damian?” Annisa berbisik, sedikit khawatir.
Bau alkohol yang menyengat segera tercium begitu Damian dibawa masuk. Matanya terlihat sayu, dengan langkah yang goyah dan tatapan kosong.
Andi, yang pertama kali membantu Damian, berhenti sejenak begitu melihat Annisa. Ada keterkejutan sekaligus kekaguman di matanya. Selama ini, ia hanya mendengar cerita Damian tentang pernikahannya yang tak bahagia, tentang istri yang seolah menjadi beban dalam hidup Damian. Namun, saat melihat Annisa untuk pertama kali, Andi benar-benar terpesona. Kecantikannya tampak alami, lembut, dan sorot matanya penuh kesabaran, meski jelas terlihat lelah.
“Oh, maaf... Anda Annisa, ya?” Andi bertanya dengan sopan, mencoba menyembunyikan rasa terkesima yang masih terpancar di wajahnya.
Meskipun itu sulit. Bak tarikan magnet, Andi selalu tertarik untuk melihat wajah Annisa lagi dan lagi.
Annisa mengangguk, memperhatikan Damian yang terlihat begitu tak berdaya. “Ya, saya Annisa. Terima kasih sudah mengantar Mas Damian pulang.”
Andi mengangguk pelan, lalu menatap Annisa lebih lama dari yang seharusnya, sebelum akhirnya melirik ke arah Raka, memberi isyarat untuk membantu Damian duduk di sofa. Begitu Damian mendekat, Annisa mengulurkan tangannya untuk menuntunnya duduk dengan lebih nyaman, namun Damian langsung menepisnya dengan kasar.
“Gak usah sentuh aku!” suara Damian serak dan penuh kemarahan. Matanya menatap Annisa dengan tajam, meskipun pandangannya samar karena pengaruh alkohol. “Aku gak butuh bantuan kamu!”
Annisa terdiam, mengerjap pelan, mencoba menahan perasaan sakit yang merayap di dadanya. Dia menarik tangannya kembali, berusaha menahan air mata dan tetap tenang di hadapan teman-teman Damian.
Raka menghela napas panjang, merasa tidak nyaman dengan situasi ini. “Dam, sudahlah. Annisa cuma mau bantu kamu,” katanya, berusaha menenangkan suasana.
Namun Damian malah tertawa sinis. “Bantu? Dia gak lebih dari beban buat gue,” ucapnya tanpa rasa bersalah, sementara Annisa hanya bisa menunduk, menahan rasa malu yang luar biasa di depan Andi dan Raka.
Andi, yang sejak tadi melihat semuanya, merasa tak nyaman. Ada rasa simpati di wajahnya saat melihat Annisa, dan tanpa disadari, ia menyentuh lengan Annisa perlahan, mencoba memberinya dukungan. “Maaf ya, Mbak Annisa. Damian mungkin sedang banyak pikiran... mungkin pengaruh alkohol juga.”
Annisa tersenyum tipis, meskipun ada kepedihan yang jelas tergambar di matanya. “Tidak apa-apa. Terima kasih sudah mengantarnya pulang. Saya akan menjaga Mas Damian sekarang.”
Andi masih menatap Annisa, seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi ia hanya mengangguk. Raka lalu menarik Andi untuk pergi, merasa sudah saatnya meninggalkan pasangan itu sendiri.
“Damian, hati-hati ya. Kami pulang dulu,” ujar Raka sambil menepuk bahu Damian yang hanya mengangguk asal.
Saat Raka dan Andi berjalan keluar, Andi sempat melirik ke belakang, memandang Annisa yang kini sibuk merapikan selimut untuk Damian. Dalam hati, ia bertanya-tanya bagaimana Damian bisa begitu dingin pada sosok istri yang tampak penuh ketulusan seperti Annisa. Ia merasa ada yang lebih dari sekadar cerita yang selama ini Damian katakan pada mereka.
“Annisa…” Damian bergumam pelan di sofa, dengan pandangan yang hampir tak fokus. “Jangan pernah… harapkan aku untuk… mencintai kamu.”
Annisa hanya bisa menunduk, menahan air mata yang perlahan jatuh tanpa suara, menyadari bahwa suaminya yang mabuk ini, mungkin sedang jujur dari lubuk hatinya yang terdalam. Dia tertegun mendengar gumaman Damian. Perkataan itu terasa begitu tajam, seolah menegaskan lagi bahwa dirinya memang hanya bayangan, seseorang yang Damian tak pernah inginkan.
Meski hatinya terasa hancur, Annisa tetap tersenyum tipis. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan emosinya yang bergemuruh. Ini bukan pertama kalinya, gumamnya dalam hati. Aku sudah biasa mendengarnya.
Dengan perlahan, Annisa bangkit dan melangkah meninggalkan Damian yang tertidur di sofa. Tanpa suara, ia berjalan menuju kamarnya sendiri—ruangan yang selalu ia tinggali sendirian sejak pernikahan mereka dimulai. Sebenarnya, ia berharap seiring waktu, mungkin akan ada perubahan. Namun kenyataannya, kamar ini tetap menjadi ruang tempatnya menangis dalam kesendirian dan mencari kekuatan setiap kali Damian mengabaikannya.
Begitu pintu kamar tertutup, Annisa bersandar di baliknya, kedua tangannya gemetar, dan dadanya terasa berat. Air mata yang sedari tadi ia tahan akhirnya jatuh, tapi ia segera menyeka wajahnya dan berbisik pada dirinya sendiri.
“Ini sudah biasa. Aku kuat… Aku bisa melewati ini.”
Annisa duduk di tepi tempat tidur, memeluk lututnya sambil mengatur napas. Meski hatinya terasa begitu lelah, ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tetap tegar. Ia hanya perlu terus bertahan, untuk Clara… untuk memenuhi amanah yang diberikan oleh Arum.
•••
Pagi harinya, Annisa sudah terbangun lebih awal. Setelah membersihkan diri, ia segera menuju dapur untuk menyiapkan sarapan seperti biasanya. Piring-piring ia tata dengan rapi, dan aroma kopi segar memenuhi ruang makan. Ia memasak makanan kesukaan Clara—pancake dengan topping stroberi dan sirup maple—seraya berharap hari ini Clara akan menikmati sarapannya dengan baik.
Ketika Annisa sedang menuang kopi ke cangkir Damian, langkah kaki terdengar mendekat. Damian masuk ke ruang makan dengan ekspresi datar dan mata sedikit sayu. Mungkin efek dari malam sebelumnya belum sepenuhnya hilang.
“Selamat pagi, Mas,” sapa Annisa lembut sambil meletakkan cangkir kopi di hadapannya.
Damian hanya mengangguk kecil, nyaris tanpa menatap Annisa. Seolah kejadian semalam tak berarti apa-apa baginya, ia langsung mengambil sendok dan mulai sarapan tanpa sepatah kata.
Tidak jauh dari mereka, Clara akhirnya muncul dengan wajah ceria, dan Annisa langsung menyambutnya dengan senyuman hangat. “Pagi, sayang. Tante sudah buat pancake kesukaan kamu, nih,” ucap Annisa sambil mengusap lembut kepala Clara.
Clara tersenyum lebar, mengambil tempat di meja sambil mengunyah pancake dengan lahap. “Terima kasih, Tan.”
Annisa tersenyum lembut, hatinya sedikit terobati dengan perhatian kecil dari Clara. Sejenak, ia merasa segala ketidakbahagiaan di rumah ini seolah teralihkan oleh cinta kasih yang ia berikan kepada anak tiri yang ia anggap seperti anak kandungnya sendiri.
Damian menghabiskan sarapannya dengan cepat, lalu bangkit dan bersiap meninggalkan ruang makan. Tanpa mengatakan sepatah kata lagi, ia berjalan keluar, seolah Annisa adalah bayangan yang tak layak mendapat sapaan. Annisa hanya tersenyum kecil, lalu menunduk dan menyibukkan diri kembali, seakan sikap dingin Damian bukan lagi hal baru.
Di dalam hatinya, Annisa tetap bertekad untuk menjadi istri yang baik, meski kasih sayang dari Damian mungkin tidak akan pernah menjadi miliknya.