Karin, Sabrina, dan Widuri. Tiga perempuan yang berusaha mencari kebahagiaan dalam kisah percintaannya.
Dan tak disangka kisah mereka saling berkaitan dan bersenggolan. Membuat hubungan yang baik menjadi buruk, dan yang buruk menjadi baik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elfira Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
7. Laki-laki Baru
Keesokan harinya
"Saya pamit pulang dulu ya Bu, maaf enggak bisa lama-lama masih ada urusan yang harus saya urus," ucap perempuan bernama Sabrina.
"Semoga ibu cepat sembuh dan bisa pulang," lanjutnya mengucapkan doa untuk Ibu Puspa.
"Makasih untuk doanya, dan sudah meluangkan waktu buat menjenguk ibu. Padahal kamu pasti sibuk di kantor," sahut Ibu Puspa
"Enggak usah cemas Bu, ini saya sekalian jalan-jalan. Penat ngurus kerjaan melulu," balas Sabrina
Perempuan yang tampil cantik dengan setelan kantor berwarna gelap itu menoleh ke arah Karin. "Aku pulang dulu ya, Rin."
"Aku antar ke depan ya," tawar Karin.
"Eh, enggak usah. Kasihan ibu enggak ada yang nemenin," tolak Sabrina.
"Enggak apa-apa Sabrina, ibu bisa sendiri kok disini. Sana Rin temenin Sabrina," titah Ibu Puspa pada Karin.
"Baik Bu," jawab Karin penuh semangat
Sabrina pun tak bisa menolak lagi. Dia lantas mencium tangan Ibu Puspa untuk berpamitan dan mengucapkan salam.
Karin pun mengantarnya ke depan, keduanya berjalan beriringan, dan sesekali Sabrina mengusap punggung Karin untuk memberinya semangat.
"Makasih ya Mbak sudah kemari menjenguk Ibu ... dan sepertinya aku masih harus izin tak masuk kerja sampai besok," ucap Karin merasa tak enak.
Sabrina menatap Karin dengan penuh perhatian. "Kamu tenang saja, aku mengerti kok. Kamu fokus saja sama ibu kamu, dan jangan sampai kamu juga jatuh sakit."
"Wajahmu tuh pucat banget," tambahnya, menekankan rasa khawatirnya.
"Ah, ini pasti karena aku kurang tidur Mbak," sahut Karin.
Semalaman Karin kurang tidur karena khawatir memikirkan Widuri. Gadis itu benar-benar menghilang, bahkan Karin tak bisa menghubungi nomor Widuri, atau pun nomor kekasihnya Widuri.
"Oh, iya apa Cakra udah tau ibu kamu sakit?" tanya Sabrina.
Karin terdiam sejenak, lalu menggeleng. "Dia enggak tahu soal ini mbak ... lagian aku sama Mas Cakra sudah putus."
"Kenapa?" Sabrina tampak terkejut. "Bukannya kalian sedang mempersiapkan pernikahan?"
Karin terdiam, menunduk. Rasa sakit dan kekecewaan kembali menyergapnya. Lalu Sabrina menuntun Karin perlahan ke sebuah kursi yang ada di taman rumah sakit.
"Ayo cerita sama aku, kenapa kalian putus? Dan apakah ini ada hubungan sama penyebab ibu kamu sakit?" tanya Sabrina penuh rasa ingin tahu dan khawatir.
Karin menatap Sabrina yang begitu mengkhawatirkannya. Perempuan berusia 35 tahun itu merupakan manager di tempat Karin bekerja, dan Karin adalah asistennya. Hubungan keduanya sangat dekat. Bahkan diluar jam kerja Sabrina menganggap Karin seperti adiknya, dan dia sering mendengarkan cerita Karin. Makanya Sabrina tahu semua kisah perjalanan cinta Karin dan Cakra.
"Jadi kenapa kamu putus?" tanya Sabrina, menunggu jawaban dari Karin.
Karin menghela nafas sambil sesekali melihat langit. Dia sungguh tak ingin menangis di hadapan Sabrina.
"Mas Cakra lebih memilih perempuan pilihan ibunya Mbak. Perempuan yang lebih baik dan kaya dariku," jawab Karin dengan nada sendu.
"Awalnya Mas Cakra beralasan ingin menunda pernikahan, tapi aku memergokinya sedang bermesraan dengan perempuan yang dijodohkan oleh ibunya, dan dia langsung memutuskanku Mbak."
Sabrina sontak terkejut. "Astaga, dia yang selingkuh, tapi dia juga yang mutusin kamu?"
"Iya Mbak."
"Astaga keterlaluan sekali dia. Bisa-bisanya dia lakuin itu sama kamu," gerutu Sabrina begitu kesal.
"Padahal selama ini kamu udah mati-matian bertahan sama dia ... ternyata firasatku dari awal itu benar kan."
"Aku udah merasa hubungan kamu sama dia enggak akan berjalan baik, pas kamu cerita kalau ibunya tuh enggak setuju dan mengajukan banyak syarat," tambahnya, mengingatkan masa lalu.
"Hehe iya Mbak, seharusnya saat itu aku sadar dan berhenti memperjuangkan cintaku Mbak," sahut Karin.
Karin menunduk menyesali keputusan di masa lalu. Hatinya kembali sesak dan sakit jika ingat betapa bodohnya dirinya, yang selalu mengharap mendapatkan restu dan bisa hidup bahagia bersama Cakra.
Akhirnya benteng pertahanan Karin pun runtuh. Walau sudah mencoba untuk menahannya sedari tadi, ternyata air matanya itu menetes kembali. Dia meluapkan kesedihannya di bahu Sabrina.
Sabrina mengusap punggung Karin sambil menahan matanya yang ikut berkaca-kaca. "Sudahlah jangan menangis, kamu enggak pantas menangisi laki-laki brengsek seperti itu."
"Iya Mbak, aku akan berusaha kuat." Karin mengangkat wajahnya lalu menyeka air matanya, dan mencoba untuk bersikap tegar.
"Iya kamu harus kuat, lupakan dia dan cari laki-laki yang baru. Kamu pantas mendapatkan yang lebih baik dari dia." Sabrina memegang kedua bahu Karin untuk menguatkannya.
"Laki-laki baru?" Karin berpikir sejenak, lalu menggeleng. "Sepertinya belum kepikiran kesitu Mbak."
"Ayolah Rin, obat dari sakit hati karena laki-laki adalah laki-laki. Mau kukenalkan sama temannya suamiku? Mereka desainer interior yang tampan dan sukses," tawarnya.
Mendengar kata desainer interior sontak membuat Karin teringat dengan sosok Tara, dan dia juga ingat kalau dirinya belum sempat menghubungi Tara untuk berterima kasih.
"Mau enggak Rin? Kok kamu malah senyum-senyum sendiri sih? Apa jangan-jangan ...." Sabrina mulai tersenyum kembali, dan menggoda Karin.
"Jangan-jangan apa?" Karin mencoba untuk bersikap biasa.
"Kamu udah ketemu ya sama pengganti pacar kamu?" tebak Sabrina sambil tersenyum.
Karin tertawa kecil sambil mengibaskan tangannya. "Ah, mbak ini ngaco deh. Aku belum punya pengganti. Dan aku belum kepikiran untuk menjalin hubungan lagi."
Karin hanya teringat biasa pada Tara, tapi entah kenapa dia selalu tersenyum jika mengingat sosok laki-laki berjas itu. Laki-laki yang memiliki mata hangat, dan senyum manis.
"Jadi enggak mau nih aku kenalin sama cowok ganteng?" tanya Sabrina yang belum menyerah.
"Enggak terima kasih, aku masih trauma Mbak." Karin menolak tawaran Sabrina sambil tersenyum.
"Haha baiklah."
Keduanya tertawa, seperti yang sudah-sudah Karin selalu merasa bebannya berkurang jika sudah berbicara dengan Sabrina.
Sabrina kembali mengelus bahu Karin, lalu dia melihat jam di tangannya. "Ya ampun udah jam segini. Aku harus segera balik ke kantor Rin."
"Ngobrol sama kamu tuh, suka bikin aku lupa waktu Rin," ucap Sabrina.
Sabrina beranjak dari kursi, tapi tiba-tiba ponselnya berdering. Dia pun sedikit menjauh dari Karin ntuk menerima panggilan tersebut.
"Assalamualaikum Mas, ada apa?"
Tampaknya yang meneleponnya adalah suaminya. Raut wajah Sabrina selalu ceria jika menerima telepon dari suaminya. Walau pernikahan mereka belum dikarunia keturunan, suaminya selalu memperlakukan Sabrina dengan baik. Suaminya juga selalu setia tidak seperti kekasih Karin yang berkhianat.
Sabrina mengakhiri panggilan telepon dengan suaminya, lalu kembali menghampiri Karin. Namun, wajahnya tampak sedikit kusut.
"Kenapa Mbak? Kok tumben murung begitu setelah telepon sama bebebnya?" tanya Karin
Sabrina kembali duduk di kursi dengan malas. "Mertuaku Rin, besok mereka pulang dari Paris. Mereka katanya mau menetap terus di Indonesia."
"Besok aku harus menyambut mereka, dan kamu tau kan apa yang akan terjadi?" Sabrina menatap Karin, lalu Karin pun mengangguk mengerti.
"Mereka pasti mencecarku soal anak, mereka pasti menekanku," lanjut Sabrina.
Karin merasa kasihan jika melihat Sabrina seperti itu. Tapi dia juga enggak tahu harus membantu dengan cara apa.
"Sabar ya Mbak ... Mbak harus kuat hadapi mereka," ucap Karin.
Sabrina tersenyum lalu beranjak dari duduknya. Dia merentangkan tangannya untuk mengembalikan semangat. "Ah, aku pasti kuat kok, karena ada suamiku yang selalu mendukungku."
"Carilah suami sebaik suamiku Rin, maka punya mertua yang jahat pun tidak akan terlalu menyakitkan," ucap Sabrina memberi saran.
"Baik Mbak nanti aku cari yang seperti suamimu," jawab Karin.
"Ya sudah aku pulang dulu Ya. Kamu enggak usah antar aku sampai tempat parkir. Kasihan ibumu lagi sendirian."
"Baik, mbak. Hati-hati dijalan ya." Karin melambai pada Sabrina.
Setelah memastikan Sabrina pergi, Karin pun berjalan kembali menuju ruang rawat. Saat berjalan lagi-lagi dia teringat sosok Tara.
Karin gegas mengeluarkan ponselnya, lalu menekan kontak yang dia beri nama "My Hero", karena Tara itu seperti seorang pahlawan baginya
Nada panggilan tersambung terdengar di telinga Karin. Jantungnya mulai berdebar lagi. Sepertinya dia terlalu gugup karena akan bicara dengan Tara.
"Halo, ini siapa?" Panggilan Karin diterima, dan dia bisa mendengar suara Tara yang begitu lembut.
"I-ini saya Karin." Karin terbata-bata.
"Hehe Karin ...." Tara tertawa di balik telepon. "Kok bisa pas begini ya?" ucapnya.
"Apa yang pas Mas?" tanya Karin tak mengerti.
"Coba kamu hadap ke belakang?"
"Belakang?" Karin tak mengerti apa maksud Tara, tapi dia menuruti ucapan itu.
Karin pun berbalik ke belakang, lalu melihat sosok Tara sedang berjalan ke arahnya. Laki-laki itu tersenyum padanya, dan ponselnya masih berada di dekat telinganya.
"Kamu menghubungi saya, saat saya hendak menemui kamu. Jangan-jangan kita ini memang berjodoh."