"Dewa Penghancur"
Kisah ini bermula dari seorang pemuda bernama Zhi Hao, yang sepanjang hidupnya selalu menjadi korban penghinaan dan pelecehan. Hidup di pinggiran masyarakat, Zhi Hao dianggap rendah—baik oleh keluarganya sendiri, lingkungan, maupun rekan-rekan sejawat. Setiap harinya, ia menanggung perlakuan kasar dan direndahkan hingga tubuh dan jiwanya lelah. Semua impian dan harga dirinya hancur, meninggalkan kehampaan mendalam.
Namun, dalam keputusasaan itu, lahir tekad baru. Bukan lagi untuk bertahan atau mencari penerimaan, melainkan untuk membalas dendam dan menghancurkan siapa saja yang pernah merendahkannya. Zhi Hao bertekad meninggalkan semua ketidakberdayaannya dan bersumpah: ia tak akan lagi menjadi orang terhina. Dalam pencarian kekuatan ini, ia menemukan cara untuk mengubah dirinya—tidak hanya dalam penampilan, tetapi juga dalam jiwa dan sikap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jajajuba, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 09: Serangan Malam
Zhi Hao menenggelamkan diri dalam meditasi yang dalam, tekadnya bulat untuk menjelajah ke dalam Dunia Cincin. Dengan mata terpejam dan nafas yang diatur, ia membatin, "Ini benar-benar nyata!" Rasa penasaran membuncah, namun dia masih belum yakin apakah yang merasakan ini hanya rohnya atau seluruh tubuh fisiknya juga terlibat.
Dalam keadaan meditasi, Zhi Hao mendatangi gudang senjata yang tersembunyi di dalam Kediaman Qianlong. Dengan tangan yang bergetar karena antisipasi, ia membuka peti tua yang berdebu dan memilih satu busur. "Jika aku harus melawan mereka sendiri," gumamnya pelan, "Aku harus memilih sasaran kepala dari jarak jauh dengan panah ini."
Dengan sebuah napas dalam, Zhi Hao membayangkan dirinya berpindah tempat. Ketika ia membuka mata, realita melebihi ekspektasi—ia benar-benar berada di dalam kamar tempatnya menginap sementara. Namun, kejutan yang lebih besar adalah, busur yang sebelumnya ia pegang masih tetap berada dalam genggamannya, seakan menolak untuk ditinggalkan.
Gelang Qianlong, yang seakan merasakan keheranan Zhi Hao, berkata dengan nada penuh misteri, "Kamu jangan terlalu terkejut. Banyak keajaiban lain yang belum kamu ungkap dari cincin ini." Suara Gelang Qianlong mengalir lembut, seolah menari di udara.
Di tengah malam yang gelap dan sunyi, Zhi Hao mengambil langkahnya yang halus dan tak bersuara. Dia menggunakan Teknik Halimun, sebuah metode rahasia yang ada dalam Kitab Penghancur Surga, memungkinkan dia bergerak tanpa mengeluarkan satu suara pun.
Suasana yang pekat dan sunyi menambah misteri pada pergerakannya yang tersembunyi di balik kegelapan.
Zhi Hao tiba di kediaman Wi Dung, tempat yang terpencil dan jarang dikunjungi. Ketika dia memasuki halaman, Wi Rang, harimau penjaga yang gagah, tiba-tiba menggeram. Instingnya sebagai binatang buas terpicu oleh kehadiran manusia yang tak diundang. Namun, ketika mata mereka bertemu, Wi Rang mengenali Zhi Hao. Perasaannya berubah dari waspada menjadi tenang.
"Wi Rang, bisakah kamu mengantarku ke Klan Fu?" tanya Zhi Hao dengan lembut sambil mengelus kepala harimau besar tersebut.
Wi Rang, yang kini merasa lega dan familiar dengan kehadiran Zhi Hao, menundukkan tubuhnya, memberikan sinyal agar Zhi Hao bisa menaiki punggungnya.
Malam itu, mereka berdua meluncur melalui kegelapan, meninggalkan kediaman Wi Dung menuju Klan Fu.
*
Malam itu, langit di atas Klan Fu kelam dan berat dengan janji pertumpahan darah. Cahaya lilin dari benteng pertahanan menerangi wajah-wajah yang tegang namun penuh tekad dari pasukan yang akan bergerak.
Fu Tao, pemimpin mereka, berdiri di depan barisan dengan postur yang tegap dan mata yang menyala-nyala karena dendam.
"Ingat," ucap Fu Tao dengan suara yang tegas dan berat, "misi kita malam ini bukan hanya menyerang, tapi menghancurkan. Klan Wi harus merasakan apa yang telah mereka lakukan pada adik kita, Fu Yao."
Angin malam yang dingin menerpa wajah para pejuang saat mereka mengangguk tegas, mengerti akan tugas yang diemban. Satu di antara mereka, seorang pemuda berwajah serius dan tangan yang sudah terbiasa dengan pedang, langkah maju sedikit.
"Patriark," suaranya rendah namun jelas terdengar di antara desau angin, "bagaimana dengan Wi Dar, tetua Klan Wi?"
Fu Tao menatap pemuda itu, matanya memancarkan kebencian yang mendalam tetapi juga ada perhitungan. "Wi Dar tidak boleh tersentuh. Dia adalah satu-satunya yang harus kita biarkan hidup," jawabnya dengan nada yang menunjukkan tidak ada ruang untuk bantahan. “Bawa dia, tapi pastikan dia tidak mati.”
"Paham, Patriark!" seru pemuda itu, suaranya menggema di antara tembok-tembok benteng, diikuti oleh anggukan dari para pejuang lainnya.
Sebuah tanda diberikan, dan dengan langkah yang serempak, pasukan Klan Fu mulai bergerak, meninggalkan benteng yang telah menjadi saksi bisu atas rencana pembalasan yang telah disusun dengan teliti.
Mereka melaju ke dalam kegelapan malam.
**
Di tengah perjalanan yang sepi dan mendung, suara teriakan menggema memecah keheningan, “Patriark, ada pesan!” Teriakan itu seolah mengantarkan kabar buruk yang mendesak.
Wi Zhong, yang duduk tegak di atas kuda perangnya, mengernyitkan dahi, seolah merasakan angin membawa aroma pertumpahan darah.
"Bacakan!" perintahnya dengan suara yang tegas dan berwibawa, menghentikan seluruh rombongan yang terdiri dari pengawal setia dan beberapa penasihat.
Pengawal yang tadi berteriak, dengan nafas yang masih tersengal-sengal, mengulurkan surat yang tersegel rapat. Dia membuka segel tersebut dan membacakan isi surat dengan suara yang bergetar, "Desa Wi telah diserang oleh Klan Fu, harap Patriark lekas pulang!"
Mendengar itu, wajah Wi Zhong memucat sejenak, kemudian memerah oleh amarah. "Bajingan Fu Tao itu mencari kesempatan saat aku tidak ada. Dia memang gila! Percepat langkah!" bentaknya, suaranya mengandung campuran kemarahan dan keputusasaan.
Tanpa menunggu lebih lama, ia memacu kuda perangnya, meninggalkan debu berkepul di belakangnya. Pengawal dan penasihatnya segera mengikuti, menyesuaikan kecepatan dengan sang patriark, membentuk satu garis panjang yang cepat melintasi jalan setapak.
"Baik Patriark," sahut mereka serempak, suara mereka penuh tekad, menyadari bahwa setiap detik berharga dan nasib Desa Wi bergantung pada kecepatan mereka.
***
Di persimpangan yang sunyi, Zhi Hao merasakan desiran angin menerpa rambutnya, saat itu juga, Harimau Hitam yang diberi nama Wi Rang mengeluarkan geraman keras yang menggema.
"Ada apa, Wi Rang?" Zhi Hao membelai kepala harimau dengan lembut. Namun, Wi Rang hanya bergumam tak jelas. Zhi Hao cemas, matanya mengikuti arah pandang Wi Rang yang terpaku ke kegelapan di depan mereka, seolah menyadarkan ada bahaya yang mengintai.
"Gunakan Kekuatan Roh untuk menyelidiki sekitar! Hanya dengan itu kau dapat mengetahui dari mana serangan akan menerpa!" suara misterius yang Zhi Hao duga berasal dari gelang di pergelangan tangannya, Qianlong, menyusup ke pikirannya.
Meski ragu-ragu, Zhi Hao memercayakan nasibnya pada bisikan itu. Menghela napas dalam, ia mengumpulkan segala kekuatan Roh yang selama ini telah ia latih sebagai kelanjutan dari pengasahan kekuatan fisiknya. Dengan penuh konsentrasi, kekuatan Roh Zhi Hao menyebar ke segala arah, mencari tahu musuh tak kasat mata yang mendekat dalam keheningan malam.
Pada saat itu, Zhi Hao merasakan adanya pergerakan dari sebuah pasukan yang cukup banyak, ia tidak dapat memastikan berapa jumlahnya. Tapi yang pasti itu cukup banyak.
Zhi Hao melompat ke atas Pohon dan bersiap dengan skenario yang ada. “Sialan, mereka ternyata benar-benar menyerang lebih dulu. Jika aku menghentikan mereka disini, itu sama saja dengan menyerahkan nyawa. Lalu aku harus apa?”
Sebelumnya ia berencana menggunakan Teknik Halimun dan memanah orang-orang kuatnya saja di Desa Fu. Tapi sekarang rencana itu harus pupus, menguap begitu saja karena situasi yang berubah.
Harimau Hitam, Wi Rang, pulang atas permintaan Zhi Hao sebelumnya...