Di sebuah kota yang tampak tenang, Alvin menjalani hidup dengan rutinitas yang seolah-olah sempurna. Seorang pria berusia awal empat puluhan, ia memiliki pekerjaan yang mapan, rumah yang nyaman. Bersama Sarah, istrinya yang telah menemaninya selama 15 tahun, mereka dikaruniai tiga anak: Namun, di balik dinding rumah mereka yang tampak kokoh, tersimpan rahasia yang menghancurkan. Alvin tahu bahwa Chessa bukan darah dagingnya. Sarah, yang pernah menjadi cinta sejatinya, telah berkhianat. Sebagai gantinya, Alvin pun mengubur kesetiaannya dan mulai mencari pelarian di tempat lain. Namun, hidup punya cara sendiri untuk membalikkan keadaan. Sebuah pertemuan tak terduga dengan Meyra, guru TK anak bungsunya, membawa getaran yang belum pernah Alvin rasakan sejak lama. Di balik senyumnya yang lembut, Meyra menyimpan cerita duka. Suaminya, Baim, adalah pria yang hanya memanfaatkan kebaikan hatinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aufklarung, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Ruangan rumah sakit terasa hening ketika Meyra memandangi langit biru melalui jendela besar di kamarnya. Cahaya matahari yang hangat membelai wajahnya, memberi sedikit ketenangan di tengah pikirannya yang masih kacau. Sudah hampir seminggu ia dirawat, dan hari ini dokter memperbolehkannya pulang.
Di kursi samping ranjang, Alvin duduk sambil memeriksa ponselnya. Sesekali ia melirik ke arah Meyra dengan senyum tipis, memastikan istrinya baik-baik saja.
“Siap pulang?” tanya Alvin sambil menutup ponsel dan berdiri, meraih tas kecil di dekat ranjang.
Meyra mengangguk pelan. “Aku sudah tidak sabar ingin kembali ke rumah.”
Tak lama, pintu kamar terbuka dan tiga sosok kecil berlari masuk. Rey, Rheana, dan Cessa menghampiri Meyra dengan senyum cerah di wajah mereka.
“Mommy!” seru Cessa, gadis kecil berusia tujuh tahun yang langsung memeluk lengan Meyra.
Meyra tersenyum hangat. “Cessa! Mommy rindu sekali.”
“Mommy baik-baik saja kan?” tanya Rheana, kakak Cessa yang berusia sepuluh tahun, dengan ekspresi sedikit khawatir.
“Mommy baik-baik saja, sayang. Terima kasih sudah datang menjemput.”
Rey, anak sulung Alvin yang berusia empat belas tahun, berdiri di belakang kedua adiknya dengan tangan di saku. Meskipun berusaha terlihat cuek, Meyra tahu anak itu peduli padanya.
“Mom, ayo pulang. Rumah jadi sepi kalau mommy nggak ada,” ujar Rey dengan nada datar, tapi matanya mengisyaratkan kerinduan.
Meyra tersenyum tipis, hatinya terasa hangat melihat perhatian dari anak-anak sambungnya.
---
Perjalanan pulang terasa singkat. Di dalam mobil, Cessa terus bercerita tentang kucing liar yang sering datang ke halaman rumah, sementara Rheana sibuk membahas drama sekolahnya. Alvin mengemudi dengan tenang, sesekali melirik Meyra melalui kaca spion.
Setibanya di rumah, Meyra membuka pintu dan terkejut melihat ruang tamu dipenuhi dekorasi sederhana. Balon berwarna pastel menghiasi langit-langit, dan sebuah spanduk bertuliskan “Welcome Home Mommy” tergantung di dinding.
Meja di ruang tamu dihiasi dengan kue kecil dan lilin. Di tengah meja terdapat buket bunga mawar merah muda, warna favorit Meyra.
“Kejutan!” teriak Rey, Rheana, dan Cessa bersamaan.
Meyra menutup mulutnya, terharu. Air matanya mulai menggenang di sudut mata. “Kalian… ini semua kalian yang siapkan?”
Cessa mengangguk dengan penuh semangat. “Iya! Kak Rey yang punya ide.”
Meyra melirik Rey yang hanya mengangkat bahu. “Nggak ada apa-apa, kok. Cuma mau buat mommy senang.”
Meyra berjalan mendekati ketiga anak itu, memeluk mereka erat. “Terima kasih untuk semuanya. Kalian yang terbaik. Sekali lagi, terima kasih banyak.”
Alvin menghampiri dari belakang dan mengecup puncak kepala Meyra. “Terima kasih juga karena kamu ada di hidup kami.”
Meyra tersenyum, merasakan kehangatan keluarga kecil ini. Perlahan, ia duduk di sofa ruang tamu, masih memandangi dekorasi yang membuat hatinya begitu bahagia.
“Mommy tahu nggak?” tanya Rey tiba-tiba, berdiri di depan Meyra dengan ekspresi bangga. “Nilai ulangan harian matematika aku 100, Mom.”
Meyra terkejut. “Astaga, Rey! Bagus sekali. Kau yang terbaik.”
Rey tersenyum kecil, meski berusaha tetap terlihat cool.
“Terima kasih ya, Rey. Ini kejutan yang indah.”
Rey duduk di sebelah Meyra, sementara Cessa dan Rheana berlarian di sekitar ruang tamu, tertawa dan bermain dengan balon.
---
Malam itu, setelah anak-anak tidur, Meyra dan Alvin duduk berdua di teras belakang rumah. Udara malam terasa sejuk, dan bintang bertaburan di langit.
“Terima kasih, Alvin,” ucap Meyra pelan.
Alvin menatapnya dengan lembut. “Untuk apa?”
“Untuk semuanya. Untuk selalu ada. Aku tahu ini bukan hal yang mudah untukmu, terutama setelah... Baim.”
Alvin terdiam sejenak, lalu menarik napas dalam-dalam. “Mey, aku melakukan ini karena aku mencintaimu. Baim mungkin pernah menjadi bagian dari hidupmu, tapi aku percaya aku bisa menjadi masa depanmu.”
Meyra tersenyum kecil, mengangguk. “Aku tahu. Dan aku bersyukur memiliki kamu dan anak-anak.”
Mereka duduk dalam diam, menikmati keheningan malam yang terasa begitu damai.
---
Beberapa minggu berlalu, dan kehidupan kembali berjalan normal. Meyra kembali bekerja di kafe kecil yang ia kelola, sementara Alvin sibuk dengan pekerjaannya di kantor. Rey, Rheana, dan Cessa kembali ke rutinitas sekolah.
Namun, di dalam hati Meyra, ia tahu ada bagian dari dirinya yang telah berubah. Perpisahan dengan Baim meninggalkan luka yang tak sepenuhnya sembuh, tapi kehadiran Alvin dan anak-anak membantunya melangkah maju.
Suatu sore, ketika Meyra sedang menutup kafe, ia menemukan sebuah amplop terselip di bawah pintu. Tanpa nama pengirim, hanya bertuliskan “Untuk Meyra.”
Dengan hati-hati, ia membuka amplop itu dan menemukan secarik kertas berisi tulisan tangan yang begitu ia kenali.
“Meyra,
Aku berharap kamu bahagia. Meskipun aku tidak lagi berada di sisimu, aku akan selalu mendoakan yang terbaik untukmu dan keluargamu. Terima kasih untuk semua kenangan indah yang kita bagi. Maafkan aku yang selama ini tidak menjadi suami yang baik.
– Baim.”
Meyra menatap surat itu lama, lalu tersenyum tipis. Ia melipat kertas itu dan menyimpannya di laci meja kasir.
Ketika Alvin menjemputnya malam itu, Meyra merasa lebih ringan. Ia tahu, perpisahan dengan Baim bukanlah akhir dari segalanya. Ini adalah awal baru, dan ia siap menyambut masa depan bersama Alvin dan anak-anak mereka.
Di dalam mobil, Alvin menggenggam tangan Meyra erat. “Kamu baik-baik saja?” tanyanya lembut.
Meyra menatapnya dan mengangguk. “Aku baik-baik saja. Aku hanya merasa... bahagia.”
Alvin tersenyum. “Itu yang terpenting.”
Mobil melaju pelan, meninggalkan kafe kecil yang kini menyimpan cerita baru dalam hidup Meyra. Di dalam hatinya, Meyra tahu bahwa cinta dan kebahagiaan yang ia cari telah ia temukan—di dalam rumah kecil yang penuh cinta dan tawa anak-anak yang kini memanggilnya mommy.