Gara, cowok dengan semangat ugal-ugalan, jatuh cinta mati pada Anya. Sayangnya, cintanya bertepuk sebelah tangan. Dengan segala cara konyol, mulai dari memanjat atap hingga menabrak tiang lampu, Gara berusaha mendapatkan hati pujaannya.
Tetapi setiap upayanya selalu berakhir dengan kegagalan yang kocak. Ketika saingan cintanya semakin kuat, Gara pun semakin nekat, bahkan terlibat dalam taruhan konyol.
Bagaimana kekocakan Gara dalam mengejar cinta dan menyingkirkan saingan cintanya? Akankah Gara mendapatkan pujaan hatinya? Saksikan kisah cinta ugal-ugalan yang penuh tawa, kejutan, dan kekonyolan!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
9. Titik Balik
Keesokan harinya, Gara kembali nongkrong di warung kopi Mas Jon, siap untuk menceritakan kisah apel yang ia rencanakan bakal romantis, namun malah berakhir mistis.
“Lo gak akan percaya apa yang terjadi tadi malam!” Gara membuka cerita dengan nada penuh semangat, duduk di meja yang biasa. Darto, Yoyok, dan Mas Jon langsung mengangkat alis, penasaran.
“Ayo, cerita Gar,” sahut Yoyok sambil menyeruput kopinya.
“Jadi, gue udah nyiapin semuanya, bro! Bunga gue dapet, udah gue rangkai indah, indah versi gue lah, ya. Martabak manis buat calon mertua. Terus gue jalan ke rumah Anya, pake helm gas melon gue yang keren ini,” Gara menepuk helm gas elpijinya dengan bangga.
Darto mulai terkekeh. “Helm gas melon lagi? Itu helm bikin lo lebih mirip tukang gas keliling ketimbang orang yang mau apel.”
Gara mengacungkan jarinya ke Darto, “Sabar, sabar, itu baru awal! Gue sampe di rumah Anya, ketok pintu, Anya buka pintu, nyokapnya ikut nongol ... trus muka mereka langsung berubah, kayak... ngeliat setan! Gue mikir, apa karena helm gue? Tapi ternyata, mereka semua ngerasa bunga yang gue bawa kayak buat orang mati!”
Yoyok langsung tertawa terbahak-bahak, hampir tersedak kopinya. “Serius lo bawa bunga kuburan, Gar? Pantes aja mistis!”
Gara hanya bisa meringis. “Gue kira bunga Kamboja bakal melengkapi rangkaian bunga mawar, melati, dan kenanga, bro. Tapi malah mereka jadi serem sendiri. Terus si Anya ... dia ngeliatin gue kayak gue lagi nganterin arwah.”
Mas Jon, yang mendengar dari balik meja kasir, langsung tertawa sampai harus memegang perutnya. “Jadi yang tadinya romantis, berubah jadi malam horror ya, Gar?”
Darto sampai sakit perut menahan tawa. “Gue bilang juga apa, Gar. Lo tuh romantis, tapi salah eksekusi terus!”
Gara menggeleng-geleng, “Mistis bro ... bukannya romantis. Kayaknya gue harus belajar lebih banyak soal bunga, nih.”
Semuanya tertawa sampai perut mereka sakit, sementara Gara hanya bisa menggeleng sambil tersenyum kecut. "Gue bakal belajar dari ini ... tapi lo semua jangan ketawa terus lah!"
***
Setelah kegagalan "aksi Hero nabrak tiang lampu, manjat atap, balon cinta, dan bunga romantis", Gara kembali duduk termenung di warung kopi Mas Jon, kali ini tanpa Yoyok yang selalu penuh dengan ide-ide aneh. Duduk sendirian di pojokan, dia menyesap kopi hitamnya perlahan, merasakan rasa pahit yang seolah mencerminkan nasib cintanya yang selalu gagal.
Gara bertanya-tanya, "Kenapa gue selalu gagal sih? Apa karena gue terlalu dengerin Yoyok atau karena gue emang enggak ngerti cara bikin cewek suka?" gumam Gara pelan, lebih kepada dirinya sendiri. Dia menatap ke arah luar jendela, memikirkan semua kekacauan yang dia buat: tabrakan motor, terjebak di jendela, balon raksasa yang membuat Anya merasa tidak nyaman dan terakhir bunga kuburan.
Darto, yang seperti biasa berada di belakang meja bar, memperhatikan Gara dengan senyum kecil. "Keliatannya lo lagi banyak pikiran, Gar. Masih soal Anya?"
Gara tersenyum kecut. "Iya, Dart. Gue udah coba segala cara. Yang ugal-ugalan, yang romantis, yang dramatis ... tapi semuanya gagal dan bikin gue keliatan kayak badut. Mungkin emang gue bukan tipe cowok yang bisa bikin cewek jatuh cinta."
Darto menyeduh kopi sambil tersenyum bijak. "Mungkin masalahnya bukan di cara lo. Mungkin karena lo terlalu fokus bikin dia jatuh cinta sama lo dan terlalu sibuk dengerin saran orang lain, sampai lupa jadi diri lo sendiri."
Gara menatap Darto dengan pandangan bingung. "Maksud lo?"
Darto duduk di kursi depan Gara, menatapnya dengan mata yang bijak. "Anya itu cewek yang tenang, 'kan? Dia bukan tipe yang suka kejutan gede atau aksi berlebihan. Mungkin, yang dia cari bukan cowok yang heboh, tapi yang bisa bikin dia nyaman, tanpa harus bikin drama."
Gara menghela napas panjang. "Iya sih, gue ngerti. Tapi gimana caranya? Gue udah terbiasa bikin hal-hal heboh. Gue enggak tau gimana cara jadi cowok yang santai dan normal."
Darto tersenyum. "Lo enggak harus berubah drastis, Gar. Cukup jadi versi lo yang asli. Ngobrol biasa, dengerin dia. Kadang perhatian kecil lebih berarti daripada aksi besar."
Gara termenung. Kata-kata Darto membuatnya berpikir dalam-dalam. Selama ini dia selalu berusaha terlalu keras untuk menarik perhatian Anya dengan cara-cara yang mencolok, tapi mungkin yang Anya butuhkan adalah seseorang yang bisa berbagi obrolan sederhana dan tulus.
Setelah beberapa saat, Gara merasa ada harapan baru yang muncul di dalam dirinya. "Mungkin lo bener, Dart. Mungkin selama ini gue terlalu ribet mikirin cara bikin Anya terkesan, padahal yang dia butuhin cuma ... temen ngobrol."
Darto mengangguk. "Cinta enggak selalu harus soal aksi besar. Kadang, langkah kecil yang konsisten lebih kuat daripada ledakan sekali-kali."
Gara tersenyum kecil. Untuk pertama kalinya, dia merasa bahwa dirinya mungkin bisa mendekati Anya tanpa harus jadi seseorang yang bukan dirinya. Dia mulai merasakan keinginan untuk mendekati Anya dengan cara yang berbeda, lebih sederhana, dan lebih tulus.
***
Hari berikutnya, Gara kembali ke taman kampus dengan perasaan yang berbeda. Kali ini, dia tidak membawa motor bebek dengan gaya dramatis, tidak membawa balon atau hadiah besar, dan tidak ada rencana ugal-ugalan. Dia hanya membawa dirinya sendiri, bersama satu tekad: menjadi versi terbaik dirinya yang asli.
Di taman kampus, ada beberapa bangku kayu menghadap ke arah pepohonan rindang. Di dekatnya ada jalan setapak kecil yang dilalui beberapa mahasiswa, namun suasananya tetap tenang, hanya diiringi suara burung dan hembusan angin yang sesekali menggerakkan dedaunan.
Gara duduk di salah satu bangku itu, sedikit membungkuk, tangan di lutut, sambil sesekali melirik Anya yang sedang duduk di bangku yang tak jauh darinya, tenggelam dalam buku catatan kuliahnya. Gara bangkit dari duduknya, berjalan pelan, kali ini tanpa jantung berdebar kencang atau keringat dingin yang menetes. "Santai aja, Gara. Lo cukup jadi diri lo sendiri."
Ketika Anya melihat Gara datang, dia tersenyum tipis. "Hai, Gara. Lagi sibuk apa?"
Gara tersenyum, duduk di sebelahnya tanpa drama atau aksi gila. "Enggak sibuk, cuma mau ngobrol aja kalau lo lagi enggak keberatan."
Anya tersenyum lebih lebar. "Ngobrol? Boleh banget." Anya menutup buku catatannya dan meletakkannya. Ia menyandarkan tubuhnya pada sandaran bangku, kedua tangannya diletakkan santai di pangkuan.
Gara merasa lega. Ini pertama kalinya dia merasa nyaman berada di dekat Anya tanpa perlu pamer atau membuat kegaduhan. Mereka mulai berbicara tentang hal-hal ringan, tentang kuliah, film, musik, dan kehidupan sehari-hari. Gara menyadari bahwa menjadi diri sendiri ternyata tidak seburuk yang dia bayangkan.
Gara, yang biasanya ramai dan suka pamer, kali ini lebih tenang. Ia bicara tentang kuliah yang mulai sibuk, tugas-tugas yang menumpuk, dan film yang baru saja ia tonton. Suaranya pelan, nyaris seperti berbisik, seolah takut mengganggu ketenangan taman. Namun, dalam setiap ceritanya, selipan guyonan khasnya selalu muncul. Anya tertawa, matanya berkilau, menikmati setiap momen bersama Gara.
“Jadi waktu itu gue kaget banget,” Gara bercerita sambil meniru ekspresi terkejut yang berlebihan, “gue pikir dosennya bakal minta kita nulis paper 10 halaman, eh ternyata cuma ... lima!” Gara menggoyangkan tangan seolah melebih-lebihkan, lalu tertawa kecil.
Anya terkikik, menutupi mulutnya dengan tangan, “Kamu tuh, selalu bikin hal kecil jadi lucu, Gar. Gimana bisa, sih?”
Gara mengangkat bahu, “Entahlah, mungkin bakat alam.” Ia tersenyum, lega melihat Anya tertawa, meskipun ia tidak lagi harus berusaha keras membuatnya terkesan. Bersama Anya, ia bisa menjadi dirinya yang sederhana, dan ternyata, itu lebih dari cukup.
Mereka lalu berbicara tentang musik yang mereka dengarkan akhir-akhir ini. Anya dengan lembut menyebut lagu-lagu favoritnya, sementara Gara mengomentari dengan selipan lelucon khasnya.
“Aku dengerin lagu indie akhir-akhir ini, lagunya mellow, tapi liriknya dalam,” kata Anya.
Gara menatapnya dengan mata menyipit, “Mellow? Berarti kayak aku nih, dalam ... tapi santai, nggak kelihatan.”
Anya kembali tertawa, “Santai? Kamu tuh, heboh, Gar!”
Mereka terus mengobrol, bergantian berbagi cerita, dengan sesekali diselingi tawa. Gara merasa nyaman, tidak perlu berpura-pura, dan menyadari bahwa Anya menyukai dia apa adanya. Baginya, itu adalah perasaan yang tak tergantikan, berada di samping seseorang yang membuatnya merasa bisa jujur, tanpa harus menjadi orang lain.
"Garaaaa..." Suara itu terdengar familiar, menggema di telinga Gara dan seketika membuat Gara panik.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued