"Mengemislah!"
Awalnya hubungan mereka hanya sebatas transaksional diatas ranjang, namun Kirana tak pernah menyangka akan terjerat dalam genggaman laki-laki pemaksa bernama Ailard, seorang duda beranak satu yang menjerat segala kehidupannya sejak ia mendapati dirinya dalam panggung pelelangan.
Kiran berusaha mencari cara untuk mendapatkan kembali kebebasannya dan berjuang untuk tetap teguh di tengah lingkungan yang menekan dan penuh intrik. Sementara itu, Ailard, dengan segala sifat dominannya terus mengikat Kiran untuk tetap berada dibawah kendalinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lifahli, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
8. Hukuman
...Happy reading!...
...•••...
Ailard Rajendra Wiratama.
Begitu nama itu disebut, siapapun akan mengenalnya—pria yang dikenal di kalangan elite sebagai sosok yang tak hanya cerdas, tetapi juga memiliki pengaruh yang sangat besar. Sebagai pemimpin dari Wiratama Group, salah satu perusahaan konglomerasi terbesar di negeri ini, Ailard telah membangun reputasinya sebagai pengusaha tak kenal ampun, ambisius, dan tanpa celah. Di balik wajah tampan dan kharisma yang memukau, tersimpan kecerdasan dan strategi yang membuat banyak lawan bisnisnya gentar.
Namun, di balik kesuksesannya, ada sisi gelap yang tak diketahui banyak orang. Ia tengah membelenggu perempuan muda yang sekarang berada di bawah kekuasaannya. Ailard bukan hanya seorang pria yang penuh pesona di mata publik, tetapi juga memiliki kepribadian yang kompleks dan penuh kontrol. Setiap gerak-geriknya terukur, setiap langkahnya dirancang untuk memuaskan keinginan dan ambisinya.
Kiran mendapati dirinya semakin dalam terjebak dalam jaring kekuasaan Ailard. Di balik manfaat yang Kiran dapatkan, ada harga yang harus ia bayar—harga yang jauh lebih tinggi dari yang ia bayangkan. Ailard, dengan segala pengaruh dan kekuatannya, tak hanya mendikte kehidupannya di luar, tetapi juga mengendalikan setiap aspek kehidupan pribadinya.
"Poor my baby Kiran..." (Kasihan sekali sayangku Kiran). Tata memeluk sahabatnya erat, matanya berkaca-kaca melihat Kiran yang dulu ceria kini tampak begitu berbeda. Tata tak menyangka bahwa sahabatnya akan terjebak dalam situasi seperti ini. Namun, meski hatinya dipenuhi kesedihan, ia tahu dirinya tidak berhak menghakimi keputusan Kiran. Sahabatnya memiliki alasan dan beban yang mungkin tak sepenuhnya ia pahami.
"Begitu semua hutang keluarga gue selesai dan gue punya simpanan uang yang cukup, gue bakal tinggalin semua ini," ujar Kiran dengan senyum kecil yang penuh kepahitan, meski matanya memancarkan harapan yang rapuh. Dipelukan Tata, Kiran seolah ingin meyakinkan diri bahwa masa depannya tidak akan selamanya terkunci dalam jeratan Ailard.
Tata melepaskan pelukannya perlahan, menatap Kiran dengan sorot prihatin. "Gue khawatir sama lo Kiran, kenapa harus putra keluarga Wiratama sih?" tanyanya begitu cemas, sebab ia tahu seperti apa Ailard itu, beritanya banyak berdebar diberbagai media. "Apalagi gue denger langsung ceritanya dari lo. Mas Ailard pasti bukan orang yang gampang ngebiarin apa yang dia anggap miliknya pergi gitu aja."
Kiran menghela napas panjang, seolah menyadari kebenaran dari kata-kata Tata. "Gue tahu," jawabnya lirih, menatap ke arah jendela yang memperlihatkan hiruk-pikuk kota di luar sana. "Tapi gue nggak punya pilihan lain sekarang, Ta. Gue harus bertahan... setidaknya sampai semuanya beres. Setelah itu, gue akan bebas."
Tata meremas tangan Kiran dengan erat, berusaha memberi kekuatan. "Kalau lo butuh bantuan, jangan sungkan hubungi gue ya Kiran. Jangan pernah ngerasa sendirian."
Kiran mengangguk, tersenyum tipis. "Gue tau, Ta. Thanks."
...•••...
Ia pandangi wajah adiknya yang berseri-seri mendapatkan mainan yang sudah ia damba-dambakan sejak lama.
"Kerja di cafe penghasilannya bisa tiga digit ya Kiran?" Perempuan paruh baya yang berada disampingnya bertanya, jelas sekali raut wajahnya tidaklah senang, bukan karena ia tak suka melainkan takut pekerjaan putrinya ini tidak baik.
Kiran menoleh kearah ibunya, Leyla, kemudian ia tersenyum tipis. "Kiran punya kerjaan sampingan Bu, lumayan uangnya bisa bantu bayar hutang dan pengobatan ibu."
"Pekerjaan apa?"
Kiran terdiam sejenak, lalu ia tatap kembali wajah ibunya. "Jaman sekarang mudah Bu, Ibu jangan khawatir ya. Kiran akan bekerja keras untuk keluarga kita." Ia meyakinkan ibunya, berharap Leyla tak mencurigainya.
"Iya sih, ibu juga tahu perkembangan zaman sekarang itu bisa jadi mudah atau bahkan lebih sulit kalau mau cari uang. Tapi ibu percaya sama potensi muda kamu, apapun itu yang halal ya Kiran."
Kiran meremas dress-nya perlahan, mengalihkan pandangan ke depan. Ucapan ibunya terasa seperti beban yang semakin berat di pundaknya, apalagi dengan kenyataan yang sedang ia jalani.
"Iya, Bu..." ucapnya pelan, mencoba menutupi rasa gelisah di dalam hatinya. "Kiran akan pastikan semuanya baik-baik saja."
Leyla menatap putrinya dengan penuh kasih, seolah tak menyadari betapa dalam konflik batin yang sedang dialami oleh Kiran. "Ibu selalu percaya sama kamu. Tapi ibu juga mau minta maaf. Gara-gara almarhum ayahmu berhutang sampai miliaran hanya demi membeli hidup yang mewah yang ternyata jadi boomerang untuk kita, dan karena itu kamu harus tanggung kesalahan yang tidak kamu perbuat, sementara ayahmu mati sia-sia menggantung dirinya karena putus asa." Air mata menggenang disudut mata Leyla. Mengingat kejadian naas itu sungguh membuat kehidupan mereka terpukul dan menderita. "Ibu minta maaf karena hanya menjadi beban untuk kamu."
Kiran menggeleng pelan dan segera meraih tangan Leyla, menggenggamnya erat. "Jangan pernah bilang kalau Ibu adalah beban," ucapnya dengan suara bergetar. "Kiran yang milih buat tanggung semuanya. Kiran mau Ibu bisa hidup dengan tenang, tanpa harus mikirin masalah-masalah ini lagi."
Leyla menatap putrinya dengan penuh haru, tak sanggup membalas kata-kata Kiran. Meski hatinya penuh rasa bersalah, ia tahu bahwa Kiran sudah terlalu banyak berkorban untuk keluarga mereka. Namun, ada perasaan tak berdaya yang membuatnya semakin sedih. Ia tak bisa melakukan apapun selain berharap Kiran tidak lagi menderita karena kesalahan yang bukan miliknya.
"Kamu anak yang kuat, Kiran," bisik Leyla dengan suara lirih. "Ibu berdoa setiap hari agar hidup kamu jadi lebih baik, dan agar semua ini cepat selesai."
Kiran tersenyum kecil, meskipun di dalam hatinya rasa pahit tetap tak terhindarkan. "Ibu nggak perlu khawatir. Kiran pasti bisa hadapi ini semua."
Namun di dalam benaknya, Kiran tahu bahwa ucapannya tak lebih dari sekadar janji kosong yang ia buat agar ibunya bisa tidur nyenyak setiap hari.
"Ibu sisihkan uang yang selalu kamu berikan sayang, sudah terkumpul dia juta rupiah. Ibu berencana mau jual roti lagi di rumah saja," ibu menjeda ucapannya. "walaupun toko roti kita sudah bangkrut, ibu pingin rintis kecil-kecilan lagi. Boleh tidak nak?"
Kiran tersentak mendengar kata-kata ibunya. Di satu sisi, ada rasa bangga melihat tekad ibunya yang masih ingin berusaha, meski kondisi mereka sudah begitu sulit. Namun, di sisi lain, hati Kiran terasa semakin sesak. Bagaimana ia bisa membiarkan ibunya kembali bekerja keras di usia senja, apalagi dengan kondisi kesehatannya yang tak lagi prima.
"Ibu nggak perlu repot-repot jualan lagi, Bu," Kiran berusaha tetap tersenyum, meskipun hatinya terasa berat. "Kiran bisa urus semuanya. Ibu tinggal istirahat dan fokus buat sembuh aja."
Leyla menatap putrinya dengan sorot mata lembut. "Ibu nggak bisa terus-terusan bergantung sama kamu, Nak. Ibu mau bantu, sekecil apapun itu. Lagipula, ibu senang kalau bisa melakukan sesuatu. Toko roti kita memang sudah bangkrut tapi keterampilan pastry ibu jangan diragukan lho ya... Ibu mau coba jualan kecil-kecilan saja dirumah, selain ada kegiatan mudah-mudahan bisa menghasilkan uang."
Kiran menelan ludah, menyadari bahwa keinginan ibunya untuk membantu bukan semata-mata karena uang, tetapi lebih karena perasaan tidak berdaya yang selama ini mungkin menggerogoti ibunya. Namun, membiarkan Leyla berjuang kembali, setelah semua yang sudah ia lewati, terasa seperti menambah beban yang seharusnya tak perlu dipikul.
"Baik, Bu," akhirnya Kiran mengalah. "Tapi jangan terlalu keras ya, kalau sudah capek pokoknya langsung berhenti."
Leyla tersenyum lebar, matanya berbinar penuh harapan. "Terima kasih, Nak. Ibu tahu kamu selalu ada buat ibu."
Dalam senyumnya, Kiran menyembunyikan kekhawatirannya yang semakin menguat. Ia hanya bisa berharap bahwa jalan yang ia pilih ini tak akan menghancurkan segalanya.
...•••...
Kiran meremas dress-nya kala sosok pria dominan itu mengungkungnya diantara tembok, ia menatap Kiran dengan tajam karena Kiran tidak menepati janjinya untuk pulang sebelum pukul empat sore.
"Saya sudah bilang pulang sebelum jam empat sore, Kiran.” Suara Ailard terdengar rendah namun berbahaya, matanya menatap tajam langsung ke dalam jiwa Kiran. Tubuhnya yang tinggi dan kekar menekan Kiran hingga tak ada ruang untuk melarikan diri. Punggung Kiran menyentuh tembok dingin di belakangnya, sementara napas Ailard terasa panas di wajahnya.
Kiran menunduk, meremas dress-nya dengan erat. “Aku—aku tadi harus menemani ibu, dia sedang kurang sehat…” ucapnya terputus-putus, mencoba mencari alasan yang mungkin bisa meredakan amarah pria itu. Namun, dari sorot mata Ailard, Kiran tahu alasan itu tak akan cukup.
“Kamu pikir saya bodoh? Bahkan saya tahu apa saja yang kalian lakukan didalam rumah jelek itu!” gumam Ailard dingin, suaranya terkontrol tapi menusuk. Ia mengangkat dagu Kiran dengan jarinya, memaksa wajahnya untuk kembali menatapnya. “Saya sudah berbaik hati memberikan kamu kesempatan untuk pulang kerumah orang tuamu, namun kamu malah membangkang saya seperti ini."
Kiran mengerutkan keningnya, "memang nya apa yang Mas tahu?"
Ailard menatap Kiran dengan senyum dingin yang membuat darahnya berdesir. "Saya punya cara untuk mengetahui apa saja yang terjadi, Kiran. Jangan terlalu kaget," jawabnya tanpa ragu. "Jika saya ingin memastikan sesuatu, saya akan melakukannya."
Kiran merasa tenggorokannya mengering. "Mas taruh pengintai di rumah ibu?" tanyanya, suaranya bergetar karena ia marah jika seperti itu kebenarannya.
Ailard menatapnya tanpa berkedip, seolah menikmati ketakutan yang terlukis jelas di wajah Kiran. "Bukan urusanmu bagaimana saya mendapatkan informasi. Yang jelas, kamu ini peliharaan saya, jadi saya harus monitor kemanapun kamu melangkah."
"Mas, itu tidak benar. Aku tahu posisiku, tapi keluargaku tidak boleh terlibat!"
"Urusan saya dengan kamu stupid girl! Saya tidak melibatkan orang lain selain kamu. Tapi saya perlu mengawasi perempuan pelihara saya ini, dimanapun kamu berada."
"Tapi Mas—"
Ia semakin mempersempit ruang antara mereka. "Dan saya berhak untuk mengawasi kamu, setiap langkah, setiap gerak. Jadi berhenti menentang dan patuhi peranmu," lanjutnya dengan suara rendah dan penuh ancaman. Kiran tidak nyaman saat tangan berurat nya masuk kedalam celah dibawah dress Kiran.
“Mas Aku minta maaf…” bisik Kiran, suaranya bergetar. Jantungnya berdegup kencang, rasa takut merayapi tubuhnya seiring tekanan dari pria di depannya semakin besar.
"Mashh..." Pria itu menyentuh dan menekan bagian sensiti*nya dibawah sana dengan jarinya.
"Kamu harus saya hukum karena sudah membantah perintah saya!"
Kiran menggigit bibirnya, menahan desahannya. "Mas... tolong..." suaranya terdengar lemah, hampir tak terdengar di tengah derasnya sentuhan pria itu.
Namun Ailard tidak memperlihatkan tanda-tanda belas kasihan. "Kamu harus belajar untuk patuh," gumamnya, seolah menikmati kekuasaan yang ia miliki atas Kiran. Tangannya semakin menekan, dan Kiran hanya bisa merasakan kehilangan kendali atas tubuhnya sendiri.
"Mas...ughh..."
Ailard tersenyum puas melihat perempuan ini kewalahan karena godaan jari-jemari nya. Ia mulai memberikan perintah dari balik earphone-nya. "Matikan CCTV di dapur utama dan jangan biarkan siapapun masuk apalagi menganggu saya selama dua jam kedepan!" Perintah itu segera diterima oleh para pengawalnya.
Ailard kembali menatap wajah Kiran, ia lebih terpaku pada bibir tipis milik Kiran yang dilapisi lipstik berwarna merah matte dengan lapisan gelap yang sengaja dipertebal dibagian setiap sisi bibirnya sehingga terlihat lebih seksi.
"Mas tolong keluarkan tanganmu!" Rintih Kiran tak kuasa menahan rasa nikmat yang bercampur lemas kala jari-jemari pria ini begitu lihai menggoda miliknya.
"Lagi-lagi kamu memerintah saya!"
Kiran menggeleng pelan, ia merutuki dirinya yang salah berbicara dengan pria dominan ini. "Aku mohon Mas, tolong jangan begini."
"Lalu maumu seperti apa hmm? Pakai barang punya saya?"
Kiran tak kuasa lagi menjawab kala sesuatu yang hangat keluar dari inti tubuhnya, bersamaan dengan itu jari-jemari pria ini berhenti melakukannya.
"Sekarang saya akan memulai hukuman kamu Kirana!"