NovelToon NovelToon
The RADAN

The RADAN

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen / Action / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Misteri Kasus yang Tak Terpecahkan / TKP
Popularitas:181
Nilai: 5
Nama Author: Moon Fairy

SMA Rimba Sakti terletak di pinggiran Kota Malang. Menjadi tempat di mana misteri dan intrik berkembang. Di tengah-tengah kehidupan sekolah yang sibuk, penculikan misterius hingga kasus pembunuhan yang tidak terduga terjadi membuat sekelompok detektif amatir yang merupakan anak-anak SMA Rimba Sakti menemukan kejanggalan sehingga mereka ikut terlibat di dalamnya.

Mereka bekerja sama memecahkan teka-teki yang semakin rumit dengan menjaga persahabatan tetap kuat, tetapi ketika mereka mengungkap jaringan kejahatan yang lebih dalam justru lebih membingungkan.

Pertanyaannya bukan lagi siapa yang bersalah, melainkan siapa yang bisa dipercaya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moon Fairy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 9

Arga merasakan kesadaran perlahan kembali menghampirinya, seperti embun pagi yang membasahi tanah kering. Ketika matanya terbuka, ia mendapati dirinya terbaring di lantai yang dingin dan keras, dalam kegelapan yang pekat. Tubuhnya terasa berat, dan ia segera menyadari bahwa tangannya dan kakinya terikat erat dengan tali kasar. Jantungnya berdetak cepat, berusaha menenangkan diri sambil mencoba memahami situasi yang dihadapinya.

Dengan susah payah, ia menoleh ke samping. Dalam cahaya samar yang merembes dari luar jendela kecil, ia melihat Rian tergeletak di sebelahnya, tubuhnya tak bergerak. Arga menggertakkan giginya, berusaha bangkit meskipun tangan dan kakinya terikat. Ia mengangkat kepalanya dan menggoyang-goyangkan tubuh Rian, berusaha membangunkannya.

“Rian! Yan, bangun!” Arga berbisik keras sambil mengguncang bahunya.

Rian menggerakkan tubuhnya sedikit, matanya terbuka perlahan, penuh kebingungan. Setelah beberapa detik, ia mengenali Arga di sampingnya dan duduk dengan susah payah. “Ga? Ini kita kenapa diikat gini?”

“Aku juga ndak tahu. Kita harus cari cara keluar dari sini,” jawab Arga, suaranya penuh kekhawatiran. Ia menatap sekeliling, mencoba mengidentifikasi apapun yang bisa membantunya melarikan diri.

Tiba-tiba, suara langkah kaki yang berat menginterupsi ketegangan. Pintu ruangan terbuka dengan keras, dan seorang pria dengan aura menakutkan memasuki ruangan. Pak Ruslan, guru TIK mereka, berdiri di ambang pintu dengan wajah yang penuh amarah. Matanya bersinar tajam dalam kegelapan, menandakan kemarahan yang mendalam.

Pak Ruslan menutup pintu lalu melangkah maju, dan dengan kasar ia membuka tirai yang menutupi salah satu sudut ruangan. Dalam sekejap, Arga melihat empat wajah yang sangat dikenalnya—Riska, Cika, Gea, dan Nadya—terikat dengan nasib yang sama. Nadya, melihat ke arah Arga dan Rian, langsung berseru dengan nada putus asa. “Arga! Sipit! Kenapa kalian malah ikutan ditangkap?”

“Arga?” seru Gea membelalakkan matanya.

Rian berusaha mengatur napasnya, mencoba menenangkan diri di tengah ketegangan yang semakin mencekam. “Kita juga gak tahu, Nad. Kita tadi—”

Pak Ruslan memotong, suaranya tegas dan penuh kemarahan. “Kenapa kalian ikut campur urusan saya? Apa alasan kalian ada di sini?”

Arga merasakan darahnya mendidih mendengar pertanyaan itu, tetapi sebelum ia bisa menjawab, suasana di dalam ruangan semakin tegang. Dengan segala keterbatasan yang ada, Arga dan Rian harus berpikir cepat untuk mengatasi situasi yang sangat berbahaya ini.

Arga menatap Pak Ruslan dengan tatapan penuh tekad. “Kami cuman mau bebasin teman-teman kami dan ngungkap semua perbuatan bejat Bapak selama ini!”

Pak Ruslan hanya tertawa sinis, suaranya mengisi ruangan itu yang hanya diterangi oleh lampu redup dengan nada menakutkan. “Hahaha… Kalian pikir bakalan ada yang datang? Sekarang kalian ada di sini. Gak ada yang tau semua ini.”

Arga hanya tersenyum miring, Pak Ruslan mengatakan itu sebab tak tahu bahwa di rumah ini juga ada Dimas dan Aisyah. Kini ia hanya perlu menunggu Dimas dan Aisyah untuk menyadari bahwa ia dan Arga telah terjebak.

Tiba-tiba, suara pintu yang dibuka dengan keras memecahkan keheningan. Syifa, dengan tatapan datar dan penuh kebekuan, melangkah masuk ke dalam ruangan. Arga dan Rian terbelalak, tidak percaya melihat kehadirannya. Pak Ruslan, yang tampaknya terkejut, mengalihkan pandangannya ke arah Syifa.

“Oh, anak kesayangan Papa sudah pulang?” ucap Pak Ruslan dengan nada yang seolah berusaha menyembunyikan kemarahannya. “Mana barang-barang yang Papa suruh kamu beli? Berikan ke Papa. Kita kedatangan tamu baru, jadi mereka juga harus dikasih pelajaran,” katanya dengan tangan mengulur agar Syifa memberikan kantong kresek yang ada di tangannya.

Syifa tidak menjawab, hanya menatap Pak Ruslan dengan ekspresi kosong yang tampaknya mengabaikan segala usaha ayahnya untuk memperlakukan dirinya dengan lembut. Kemarahan Pak Ruslan semakin memuncak, dan tanpa ampun ia mengangkat tangan, siap menampar Syifa.

Namun, sebelum tamparan itu bisa mengenai Syifa, tindakan tersebut langsung dihalangi oleh Aisyah. Dengan keberanian yang mengejutkan, Aisyah menggenggam kuat lengan Pak Ruslan dan menatapnya dengan tatapan tajam. “Cukup, Pak! Sekarang gak ada lagi yang bisa Bapak lakuin di sini!”

Pak Ruslan tertegun sejenak, namun kemarahan di wajahnya segera berganti dengan keterkejutan saat Dimas muncul dari belakang Syifa. Dimas menggenggam laptopnya dan dengan cepat mengaktifkan layar rekaman yang telah disiapkannya. Di layar kecil, kompilasi video dari berbagai rekaman yang menunjukkan perilaku Pak Ruslan sebagai penguntit murid perempuan diputar dengan jelas.

Pak Ruslan memandang rekaman itu dengan ekspresi yang berubah dari kemarahan menjadi ketakutan. “A-apa ini…?”

Dimas menatapnya dengan tegas. “Ini adalah bukti semua tindakan Bapak. Sekarang Bapak udah gak bisa melarikan diri.”

Suasana di dalam ruangan berubah drastis. Arga, Rian, dan teman-teman mereka melihat dengan penuh harap saat Pak Ruslan, yang awalnya penuh kekuatan dan kemarahan, kini tampak goyah dan terpojok oleh bukti yang tak bisa disangkal. Perjuangan mereka akhirnya menunjukkan hasil, dan saat itulah mereka merasakan secercah harapan untuk kebebasan dan keadilan.

Saat ketegangan semakin memuncak, Aisyah mengeluarkan sebuah buku catatan dari saku roknya dan menunjukkannya kepada Pak Ruslan. Buku yang ia temukan di ruang kerja Pak Ruslan—berisikan tulisan tangan yang jelas, menggambarkan alasan-alasan mengerikan di balik penculikan korban-korbannya. Setiap halaman tampak seperti catatan kebencian dan motivasi gelap yang menjadi dasar tindakan Pak Ruslan.

“Ini dia, bukti lainnya,” kata Aisyah dengan suara tegas. “Buku catatan ini nunjukin semua alasan Bapak menculik mereka.”

Di saat bersamaan, Syifa bergerak cepat menuju Arga dan Rian. Dengan tangan yang tremor karena ketegangan, ia membuka ikatan tali yang mengikat Arga terlebih dahulu, lalu bergerak untuk membebaskan Rian. “Kalian harus cepat keluar dari sini!” serunya sambil mengalihkan tatapannya ke arah Pak Ruslan.

Baru saja Pak Ruslan hendak melayangkan tamparan ke arah Aisyah, Arga langsung bertindak cepat. Ia melangkah maju dan meninju Pak Ruslan dengan keras, membuat tubuh pria itu terhuyung ke belakang. Rian segera mengambil kesempatan itu dan menggunakan tali untuk mengikat tangan dan kaki Pak Ruslan dengan kuat, memastikan tidak ada kesempatan bagi Pak Ruslan untuk melarikan diri.

Sementara itu, Dimas bergegas menuju penjara itu. Di dalamnya, mereka menatap Dimas terlihat penuh harapan namun tertekan. Nadya pun menyeret tubuhnya sedikit maju dan berkata pada Dimas, “Dim, ini gak bisa dibuka sembarangan. Harus pakai kode yang terhubung langsung ke komputer di meja itu,” Nadya menunjuk komputer yang berada di samping penjara itu dengan wajahnya.

Pak Ruslan yang sudah terikat hanya bisa tertawa sinis. “Gak akan ada yang bisa pecahin kode itu. Salah sedikit aja, penjara ini bisa meledak.”

“Dim, gimana? Tunggu polisi, nih?” sahut Rian menawari.

Dimas hanya tersenyum kecil, memasukkan laptopnya ke dalam tas, dan meregangkan semua ototnya dengan tekad. “Santai wae, biar tak tunjukkin keahlian juara 1 IT ke guru TIK yang jago programming,” katanya dengan penuh percaya diri.

Dengan kecepatan yang mengesankan, Dimas mulai mengetik di komputer, program-programnya mengalir deras. Suara ketikan di keyboard-nya penuh konsentrasi. Setelah beberapa menit yang tegang, terdengar bunyi ‘klik’ dari komputer dan suara pintu penjara terbuka. Nadya segera bergerak untuk membantu teman-temannya keluar, khususnya Cika yang masih duduk di bangku kelas 10 dan tampak sangat lelah.

BRAK!

Suasana mendadak berubah menjadi kacau ketika pintu ruangan terbuka dengan keras. Seorang pria berbadan kekar dengan baju kepolisian, menodongkan pistol ke arah mereka, berdiri di ambang pintu bersama dengan beberapa orang lainnya yang juga melakukan hal sama. Semua orang spontan mengangkat tangan, ketakutan dengan situasi yang tiba-tiba berubah ini.

Aisyah, tanpa ragu-ragu langsung berkata kaget, “Ayah!”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!