Buku ini adalah lanjutan dari buku Tabib Kelana.
Menceritakan perjalanan hidup Mumu yang mengabadikan hidupnya untuk menolong sesama dengan ilmu pengobatannya yang unik.
Setelah menikah dengan Erna akan kah rumah tangga mereka akan bahagia tanpa ada onak dan duri dalam membangun mahligai rumah tangga?
Bagai mana dengan Wulan? Apa kah dia tetap akan menjauh dari Mumu?
Bagai mana dengan kehadiran Purnama? Akan kah dia mempengaruhi kehidupan rumah tangga Mumu.
Banyak orang yang tidak senang dengan Mumu karena dia suka menolong orang lain baik menggunakan ilmu pengobatannya atau menggunakan tinjunya.
Mumu sering diserang baik secara langsung mau pun tidak langsung. Baik menggunakan fisik, jabatan dan kekuasaan mau pun melalui serangan ilmu yang tak kasat mata.
Akan kah hal tersebut membuat Mumu berputus asa dalam menolong orang yang membutuhkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muhammad Ali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kunjungan ke Rumah Pak Abdillah
Dita berjalan dengan langkah pelan menuju kamar ayahnya, Pak Prof. Dr. Abdillah.
Mumu mengikuti di belakangnya dengan mata melihat ke sekitar.
Setibanya di depan pintu, Dita membuka pintu dengan perlahan, mengintip ke dalam kamar.
Ayahnya terbaring di atas ranjang, wajahnya sudah tidak kelihatan terlalu pucat lagi namun tentu saja dia belum bisa berjalan kembali.
Mumu memasuki kamar dengan tenang, membawa kotak kecil berisi jarum-jarum akupunktur yang tersusun rapi.
Wajahnya tenang dan bersahaja.
"Silah kan masuk, Pak Dokter."
"Terima kasih, Buk."
Setelah berbasa-basi singkat mengenai kondisi ayahnya, Dita mundur beberapa langkah dan memberikan ruang bagi Mumu untuk mulai bekerja.
"Apa kabar, Pak?"
"Ba..ik, Mumu."
"Saya akan memulai pengobatannya ya, Pak."
Pak Abdillah mengangguk pelan.
Mumu menyiapkan peralatan dengan sangat teliti, seolah-olah setiap gerakan telah ia latih berulang kali.
Setelah memastikan semuanya siap, ia mulai memasukkan jarum-jarum akupunktur ke titik-titik tertentu di tubuh Pak Abdillah.
Dita berdiri di sudut ruangan, mengamati setiap gerakan Mumu dengan penuh perhatian.
Mumu terlihat sangat fokus, namun tetap tenang, dengan aura spiritual yang kuat mengelilinginya.
Seiring waktu, Dita merasa hatinya berdebar-debar tanpa alasan yang jelas.
Semakin lama dia menatap Mumu, semakin ia merasa tersedot ke dalam ketenangan yang terpancar dari dirinya.
Selama ini, Dita tak pernah memikirkan soal pernikahan, meskipun usianya sudah terbilang matang.
Baginya, merawat ayahnya yang sakit jauh lebih penting daripada memikirkan hal-hal seperti cinta atau pernikahan.
Namun, entah mengapa, hari ini ada sesuatu yang berubah. Cara Mumu bekerja dengan penuh keyakinan, bagaimana dia memancarkan ketenangan dan rasa aman, membuat hati Dita mulai mempertanyakan prioritas hidupnya.
Setengah jam berlalu sejak Mumu mulai mengobati Pak Abdillah. Ruangan kamar yang tadinya dipenuhi aura ketegangan kini terasa sedikit lebih ringan.
Mumu menyelesaikan prosedur terakhir dengan melepaskan jarum akupunktur dari tubuh Pak Abdillah.
Wajahnya berkeringat, bukan hanya karena pekerjaan fisik yang ia lakukan, tetapi juga karena ia telah menyalurkan tenaga dalam dan kekuatan spiritualnya tanpa henti.
Konsentrasi yang intens serta usaha kerasnya untuk memastikan bahwa energi dalam tubuh Pak Abdillah seimbang telah menguras tenaganya.
Pak Abdillah, yang sebelumnya sulit berbicara dan bergerak, sekarang tampak berbeda.
Dia mulai bisa bicara dengan lancar, suaranya pelan tapi jelas. Tubuhnya yang tadinya lemah sekarang mulai bisa bergerak sedikit demi sedikit.
Dita yang berdiri di dekat tempat tidur ayahnya, menyaksikan keajaiban ini dengan penuh kelegaan dan kekaguman.
"Alhamdulillah, Dita..." Suara Pak Abdillah terdengar, masih lemah tapi penuh dengan rasa syukur. "Ayah merasa jauh lebih baik."
"Kamu memang luar biasa, Mumu." Pak Abdillah menatap Mumu dengan takjub.
Dita tersenyum, air mata haru menggenang di pelupuk matanya. "Terima kasih, Dokter. Terima kasih banyak." Katanya sambil melirik Mumu yang tampak letih.
Mumu mengangguk pelan, menyeka keringat di dahinya. "Saya hanya melakukan yang terbaik, Pak Abdillah. Selebihnya, Yang Maha Kuasa yang menentukan."
Dita mendekati Mumu dan berkata, "Dokter, istirahat dulu. Saya sudah masak sesuatu di dapur. Anda pasti lelah setelah semua ini."
Mumu melambaikan tangan, menolak dengan sopan.
"Tidak perlu repot-repot, Buk Dita. Saya baik-baik saja. Saya sudah terbiasa dengan hal seperti ini."
Namun, Dita tidak mau menerima penolakan.
"Tidak, Pak Dokter. Anda sudah membantu Ayah saya, setidaknya biarkan saya membalas kebaikan Anda dengan makan bersama. Anggap saja ini sebagai ucapan terima kasih saya."
Mumu tersenyum tipis, masih mencoba untuk menolak secara halus.
"Terima kasih, tapi sungguh, saya tidak perlu..."
Dita tidak membiarkannya menyelesaikan kalimat.
"Saya tidak akan menerima penolakan..." Katanya tegas namun dengan nada ramah.
"Ayah saya juga pasti senang kalau Anda bisa istirahat sejenak dan makan bersama kami."
"Betul apa yang dikatakan oleh Dita, Mumu. Lagi pula mengapa kalian memanggil dengan sebutan formal begitu. Panggil saja anak saya dengan namanya, Mumu."
Mumu dan Dita tersenyum. "Baik, Pak."
Akhirnya, setelah didesak oleh Pak Abdillah dan Dita, Mumu menyerah.
"Baiklah, kalau begitu saya tidak akan menolak."
Mereka berdua kemudian beranjak menuju ruang makan. Dita menyajikan beberapa hidangan yang telah dia siapkan sebelumnya. Meski sederhana, aroma makanan yang hangat memenuhi ruangan dan menambah suasana akrab di antara mereka.
Saat mereka duduk di meja makan, suasana awalnya hening. Mumu, yang biasanya lebih suka diam, mulai mencicipi makanan dengan hati-hati.
Dita, di sisi lain, tak bisa menahan diri untuk sesekali mencuri pandang ke arah Mumu.
Entah apa yang membuatnya begitu tertarik dengan sosok pria ini.
Mungkin karena sikapnya yang tenang dan penuh keyakinan, atau mungkin karena ketulusan dan keahliannya yang menonjol selama mengobati ayahnya.
Beberapa menit berlalu dalam keheningan sebelum Dita akhirnya memberanikan diri bertanya.
"Mumu, apakah... Anda sudah berkeluarga?" Tanya Dita dengan suara pelan tapi terdengar jelas.
Mumu berhenti sejenak, meletakkan sendoknya sebelum menjawab dengan tenang.
"Ya, saya sudah berkeluarga, Kak."
Jawaban itu membuat hati Dita terasa sedikit tenggelam.
Ada perasaan aneh yang menjalari dirinya, semacam kekecewaan yang dia sendiri tidak bisa mengerti.
Kenapa dia harus merasa kecewa? Dia baru saja mengenal pria ini, namun entah bagaimana, perasaan hangat itu sudah mulai berkembang di dalam hatinya. Mungkin harapan yang ia sendiri tidak sadari kini harus ditelan dalam-dalam.
Namun, Dita berusaha menyembunyikan rasa kecewanya dan tetap tersenyum.
"Oh, maaf, saya tidak bermaksud mencampuri urusan pribadi."
Mumu tersenyum sopan.
"Tidak apa-apa, Kak. Pertanyaan seperti itu wajar saja. Jangan terlalu sungkan."
Sambil terus makan, Dita merenung. Perasaan kecewanya tidak membuatnya putus asa, justru sebaliknya.
Dita mulai menyadari bahwa mungkin dia memiliki perasaan lebih dari sekadar kekaguman terhadap Mumu.
Meski demikian, dia juga tahu bahwa perasaan itu tidak bisa serta-merta diungkapkan atau dipaksakan, terutama mengingat bahwa Mumu sudah memiliki keluarga.
Lagi pula umur mereka juga terpaut lumayan jauh.
Namun, Dita juga percaya bahwa takdir adalah sesuatu yang misterius.
Dia tidak tahu ke mana hidup akan membawanya, dan untuk sekarang, yang paling penting adalah ayahnya yang mulai sembuh.
Di sela-sela makan, Mumu menoleh pada Dita dan berkata, "Masakan Anda enak sekali, Kak. Terima kasih telah menjamu saya."
"Sama-sama, Mumu." Jawab Dita, senyumnya lebar.
Dia merasa sedikit lega mendengar pujian itu. "Saya senang Anda menyukainya."
...****************...
Mumu baru saja berbelok keluar dari rumah Pak Abdillah, suasana di sekitarnya masih sepi ketika tiba-tiba empat pria menghadangnya di tengah jalan.
Mereka menghentikan motornya secara tiba-tiba, memaksanya menarik rem mendadak.
Mata Mumu menyipit, menyadari situasi yang tidak biasa ini.
“Berhenti dulu, Bung! Kita mau bicara.” Ujar salah satu pria dengan nada mengancam.
Mumu menatap mereka dengan tenang meskipun ada ketegangan yang terasa di udara.
“Ada apa, Bang?”
Pria itu mendekat, matanya menyipit penuh amarah.
“Apa yang kamu lakukan di rumah Dita?”
Mumu menghela napas dalam-dalam, merasa tak perlu menjelaskan segala sesuatunya kepada orang yang tidak ia kenal.
“Maaf, Bang Itu bukan urusan kalian.” Jawabnya tegas. “Jadi tak ada kewajiban saya untuk menjelaskan kepada kalian."
Seorang pria lain maju ke depan, menyeringai dengan sikap mengintimidasi.
“Kami tak peduli apa tugas atau kewajiban kamu. Kami hanya tak mau kamu dekat-dekat dengan Dita. Kalau kamu mau selamat, jauhi dia.”
Mumu menatap mereka satu per satu, tetap tenang meski dihadapkan dengan ancaman.
“Kalian mengancam saya hanya karena saya melakukan tugas saya?”
Pria yang pertama berbicara mencengkeram bahu Mumu dengan keras.
“Anggap ini peringatan. Ini kota kecil, Bung. Kami tahu siapa saja yang datang dan pergi. Jangan buat kami mengambil tindakan lebih jauh.”
Kalau cuma dipukul tidak sampai babak belur tidak akan kapok.
padahal masih bisa dilanjut....😄👍🙏
bersambung...