✰Rekomendasi Cerita "Introspeksi"✰
Nero, seorang pewaris perusahaan ternama, menikahi Aruna, gadis desa sederhana yang bekerja di perusahaannya. Cinta mereka diuji oleh keluarga Nero, terutama ibu tirinya, Regina, serta adik-adik tirinya, Amara dan Aron, yang memperlakukan Aruna seperti pembantu karena status sosialnya.
Meskipun Nero selalu membela Aruna dan menegaskan bahwa Aruna adalah istrinya, bukan pembantu, keluarganya tetap memandang rendah Aruna, terutama saat Nero tidak ada di rumah. Aruna yang penuh kesabaran dan Nero yang bertekad melindungi istrinya, bersama-sama berjuang menghadapi tekanan keluarga, membuktikan bahwa cinta mereka mampu bertahan di tengah rintangan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Detia Fazrin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
She's My Wifeꨄ
...»»————> Perhatian<————««...
...Tokoh, tingkah laku, tempat, organisasi profesi, dan peristiwa dalam cerita ini adalah fiktif dan dibuat hanya untuk tujuan hiburan, tanpa maksud mengundang atau mempromosikan tindakan apa pun yang terjadi dalam cerita. Harap berhati-hati saat membaca....
...**✿❀ Selamat Membaca ❀✿**...
Amara di Adrianus Corporation
Hari itu, setelah selesai kuliah, Amara memutuskan untuk melakukan sesuatu yang berbeda. Rasa penasaran menggelayuti pikirannya sejak ia tidak sengaja bertemu dengan Aruna di jalan beberapa hari lalu. Sesuatu tentang Aruna membuat Amara merasa ingin tahu lebih jauh, terlebih lagi setelah ia menyadari bahwa gadis itu bekerja di Adrianus Corporation—perusahaan keluarganya.
Ia merasa perlu untuk mengonfirmasi hal ini. Tidak biasanya kakaknya, Nero, sering berada di kantor. Apalagi dengan Bianca dan Luna yang selalu ada dalam orbit hidup Nero karena mereka dijodohkan dengan kakaknya oleh sang ibu. Apa yang membuat Nero berubah? Amara merasa perlu mencari tahu.
Sesampainya di Adrianus Corporation, Amara berjalan masuk dengan percaya diri. Para karyawan yang mengenalinya memberi salam singkat, namun Amara hanya mengangguk seadanya. Ia tahu bahwa sebagai adik tiri dari Nero, dirinya mendapatkan perhatian lebih dari karyawan, tetapi hari ini bukan untuk itu. Dia datang dengan misi.
“Kevin,” panggil Amara begitu ia melihat Kevin, sekretaris pribadi Nero, sedang bekerja di meja resepsionis.
Kevin, yang sedang sibuk mengetik, langsung berdiri ketika melihat Amara. “Selamat sore, Nona Amara. Ada yang bisa saya bantu?”
“Aku ingin tahu tentang seorang karyawan baru, namanya Aruna. Dia bekerja di sini, bukan?” tanya Amara langsung, tanpa basa-basi.
Kevin terlihat sedikit ragu, tetapi akhirnya mengangguk. “Benar, Nona. Aruna adalah karyawan baru di bagian administrasi. Apa Nona ingin bertemu dengannya?”
Amara mengangguk. “Iya, aku ingin bertemu dengannya sekarang. Bisakah kau panggil dia?”
Kevin segera menghubungi Aruna melalui interkom, menginformasikan bahwa ada seseorang yang ingin bertemu dengannya di lobi. Setelah beberapa saat, Aruna muncul. Dia tampak sedikit bingung melihat Amara berdiri di sana, tetapi segera memasang senyuman ramah.
“Selamat sore, Nona Amara. Ada yang bisa saya bantu?” tanya Aruna sopan.
Amara menatap Aruna dari atas ke bawah dengan tatapan yang sulit dibaca. “Ikut aku. Kita bicara di tempat lain,” katanya tanpa basa-basi, lalu berbalik menuju pintu keluar. Aruna, meskipun sedikit bingung, mengikuti Amara dengan patuh.
Di Kafe Sebelah Kantor
Amara membawa Aruna ke sebuah kafe kecil yang terletak tepat di sebelah kantor. Suasana kafe cukup tenang dengan aroma kopi yang menenangkan. Amara memilih meja di sudut yang agak sepi, jauh dari pengunjung lain.
Mereka duduk berhadapan. Aruna masih tampak sedikit bingung dengan tujuan Amara, sementara Amara menatapnya dengan tatapan yang tajam namun tenang. Pelayan kafe datang membawa menu, namun Amara hanya melambai, menolak memesan.
“Aku tidak akan berlama-lama,” kata Amara langsung setelah pelayan pergi. “Aku hanya ingin tahu sesuatu tentangmu.”
Aruna mengerutkan kening. “Tentang saya?”
“Ya, tentang seberapa kau mengenal kakakku, Nero.”
Aruna terdiam sesaat. Dia tidak mengira bahwa Amara akan bertanya tentang Nero, tapi dia menjawab dengan jujur. “Saya hanya mengenal Tuan Nero sebagai atasan saya di perusahaan. Tidak lebih dari itu.” Jawab Aruna dengan hati-hati.
Amara memperhatikan gerak-gerik Aruna dengan cermat, seolah mencari tanda-tanda kebohongan. “Hanya itu? Kau tidak punya hubungan lain dengan kakakku? Tidak pernah ada pertemuan di luar kantor?”
Aruna menggeleng. “Tidak, Nona. Saya hanya mengenalnya dalam konteks pekerjaan. Kami tidak pernah bertemu di luar urusan kantor.” Jawab Aruna terpaksa berbohong.
Amara menatap Aruna dengan tatapan penuh evaluasi. Dia mengangguk pelan, seolah menerima jawaban itu. “Kau tahu, kakakku sedang dijodohkan dengan Bianca, dan juga Luna.”
Aruna hanya bisa tersenyum tipis, tidak tahu bagaimana harus menanggapi informasi ini. “Ya, saya pernah mendengar tentang itu.”
Amara menyandarkan tubuhnya ke kursi, tatapannya tetap tajam pada Aruna. “Aku perhatikan akhir-akhir ini kakakku lebih sering datang ke kantor. Dan aku merasa ada sesuatu yang membuatnya tertarik di sini. Aku ingin tahu, apakah itu karena kau?”
Aruna terkejut mendengar tuduhan itu, tapi dia tetap tenang. “Saya rasa tidak, Nona. Tuan Nero adalah orang yang profesional. Saya yakin beliau datang ke kantor karena tanggung jawabnya sebagai pimpinan perusahaan.”
Amara mengangguk pelan, tetapi tatapannya masih dingin. “Aku berharap begitu. Tapi ingat ini, Aruna, kakakku seharusnya memilih wanita yang sepadan dengannya. Dan kau...” Amara melirik Aruna dari kepala hingga kaki. “Kau bukan wanita yang selevel dengannya.”
Kalimat itu menyengat, namun Aruna tetap berusaha menjaga wajahnya netral. “Saya mengerti, Nona Amara. Tapi saya tidak pernah berpikir untuk mendekati Tuan Nero dalam konteks apa pun selain pekerjaan.”
Amara tertawa kecil, tetapi tawanya tidak hangat. “Bagus kalau begitu. Karena aku tidak ingin ada masalah yang tidak perlu. Kau hanya perlu menjaga jarak dari kakakku.”
Setelah itu, Amara berdiri, siap untuk pergi. “Baiklah, aku rasa itu sudah cukup. Temanku sudah menunggu di luar.” Tanpa menunggu respon Aruna, Amara melangkah keluar dari kafe, meninggalkan Aruna yang masih duduk di sana dengan perasaan campur aduk.
Nero yang Menyamar
Nero sudah menyaksikan dan mendengarkan percakapan antara Amara dan Aruna dari kejauhan. Ia mengenakan topi dan jaket untuk menyamar, duduk di meja yang tidak terlalu jauh dari mereka. Sejak awal, Nero tahu bahwa Amara akan melakukan sesuatu yang tidak menyenangkan. Nalurinya benar.
Begitu Amara pergi, Nero segera menghampiri Aruna yang masih duduk sendirian di meja. Aruna terkejut saat melihat Nero mendekat.
“Tuan Nero?” Aruna hampir tidak percaya. “Apa yang...?”
Nero duduk di hadapan Aruna, melepaskan topinya. “Aku dengar semuanya,” katanya tanpa basa-basi. “Aku minta maaf atas sikap adikku tadi. Seharusnya dia tidak mengatakan hal-hal seperti itu.”
Aruna tampak canggung, tapi dia mencoba tersenyum. “Tidak apa-apa, Tuan Nero. Saya mengerti. Dia hanya... mungkin tidak ingin melihat kakaknya terlibat dengan orang yang tidak sesuai harapannya.”
Nero menatap Aruna dalam-dalam, mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya dipikirkan gadis itu. “Aruna, kau tidak perlu khawatir. Amara memang keras kepala, tapi dia akan melupakan ini. Aku pastikan tidak ada masalah lagi ke depannya.”
Aruna mengangguk. “Terima kasih, Tuan Nero. Saya hanya ingin bekerja dengan tenang di perusahaan ini, tanpa ada masalah.”
Nero tersenyum tipis. “Kau tidak perlu menyebutku ‘Tuan’ di luar kantor, Aruna. Panggil saja Nero.”
Aruna terdiam sesaat, kemudian mengangguk pelan. “Baik, Nero.”
Sejenak, keduanya terdiam. Nero merasa perlu menjelaskan lebih banyak, tapi ia ragu apakah ini saat yang tepat. Setelah beberapa saat, ia akhirnya berbicara lagi. “Aruna, tentang apa yang dikatakan Amara... Jangan terlalu memikirkan kata-katanya. Dia hanya... melindungiku, tapi dengan cara yang salah.”
Aruna tersenyum tipis. “Saya mengerti, Nero. Saya tidak akan memikirkan hal itu terlalu jauh.”
Nero menatapnya dengan lebih lembut. “Bagus kalau begitu. Jika ada apa-apa, kau bisa datang padaku. Aku akan selalu ada untuk membantumu.”
Aruna merasa canggung dengan perhatian yang diberikan Nero, tapi dia menghargai niat baik itu. “Terima kasih, Nero. Saya akan ingat itu.”
Setelah berbincang sejenak, mereka memutuskan untuk kembali ke kantor. Sepanjang perjalanan, Aruna tidak bisa berhenti berpikir tentang percakapan dengan Amara tadi, dan juga tentang bagaimana Nero datang untuk membantunya. Ada sesuatu tentang Nero yang membuat Aruna merasa nyaman, tapi dia juga tahu bahwa perasaannya tidak boleh berkembang lebih jauh. Nero adalah atasannya, dan apapun yang lebih dari hubungan profesional akan menjadi rumit.
...**✿❀○❀✿**...
kamu harus coba seblak sama cilok
Bibi doakan Dara biar temu jodoh juga