Aldo, seorang mahasiswa pendiam yang sedang berjuang menyelesaikan skripsinya, tiba-tiba terjebak dalam taruhan gila bersama teman-temannya: dalam waktu sebulan, ia harus berhasil mendekati Alia, gadis paling populer di kampus.
Namun, segalanya berubah ketika Alia tanpa sengaja mendengar tentang taruhan itu. Merasa tertantang, Alia mendekati Aldo dan menawarkan kesempatan untuk membuktikan keseriusannya. Melalui proyek sosial kampus yang mereka kerjakan bersama, hubungan mereka perlahan tumbuh, meski ada tekanan dari skripsi yang semakin mendekati tenggat waktu.
Ketika hubungan mereka mulai mendalam, rahasia tentang taruhan terbongkar, membuat Alia merasa dikhianati. Hati Aldo hancur, dan di tengah kesibukan skripsi, ia harus berjuang keras untuk mendapatkan kembali kepercayaan Alia. Dengan perjuangan, permintaan maaf, dan tindakan besar di hari presentasi skripsi Alia, Aldo berusaha membuktikan bahwa perasaannya jauh lebih besar daripada sekadar taruhan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon orionesia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku Taruhan Sama Teman-temanku
Kafe kampus yang biasanya ramai mulai sepi saat matahari meredup di balik gedung-gedung fakultas. Aldo duduk bersama Fajar, Adi, dan Riko di salah satu meja paling pojok, tempat mereka sering berkumpul untuk bercanda, ngobrol, atau sekadar menghabiskan waktu sambil menikmati secangkir kopi. Namun, kali ini suasana berbeda. Percakapan serius yang dimulai dari obrolan iseng soal cinta berubah menjadi sebuah taruhan yang penuh tekanan bagi Aldo.
"Serius nih, Do? Lo yakin mau ikut taruhan ini?" tanya Fajar, matanya menyelidik ke arah Aldo yang masih menimbang-nimbang keputusan yang baru saja dia ambil.
Aldo hanya bisa menghela napas. Di dalam hatinya, dia tahu bahwa taruhan ini adalah ide gila. Apa yang ada di pikirannya hingga setuju untuk mengambil bagian dalam sesuatu yang sangat berisiko? Namun, setelah terlanjur setuju, dia tak ingin menarik kembali kata-katanya. Sebuah tantangan telah dilemparkan, dan sekarang, satu-satunya jalan keluar adalah menghadapi tantangan itu dengan kepala tegak.
"Gue udah bilang, kan? Gue setuju," kata Aldo akhirnya, suaranya terdengar tegas, meski di dalam hatinya ia masih merasa gamang.
Adi menyeringai lebar, sementara Fajar dan Riko tertawa kecil. "Wah, ini taruhan bakal seru, nih. Gue udah nggak sabar nunggu hasil akhirnya," ujar Riko sambil menepuk bahu Aldo.
"Tenang aja, Do," tambah Adi, "lo punya sebulan penuh buat deketin Alia. Kita semua percaya lo pasti bisa."
Aldo tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. Kata-kata temannya memang terdengar menyemangati, tapi itu tidak menghilangkan kenyataan bahwa tugas yang dia hadapi ini tidaklah mudah. Mendekati gadis sepopuler Alia dalam waktu sebulan, apalagi dengan latar belakang Aldo yang sangat biasa, bukanlah sesuatu yang bisa dilakukan tanpa perhitungan matang. Alia bukan hanya cantik dan cerdas, tapi juga punya segudang kegiatan yang membuatnya sulit didekati. Di kampus, banyak mahasiswa lain yang mencoba menarik perhatiannya, tapi hanya sedikit yang benar-benar berhasil mendapatkannya.
"Jadi, gimana rencana lo buat mendekati Alia?" tanya Fajar, mengalihkan perhatian Aldo dari kegundahannya.
Aldo menatap Fajar dengan tatapan bingung. "Rencana? Gue bahkan belum mikirin sampai situ, Jar. Lo sendiri tahu kan gue orang yang nggak pernah mikir jauh-jauh soal hal kayak gini."
Fajar tertawa lagi. "Itu masalahnya, Do. Lo terlalu banyak mikir. Coba deh, lo jalanin aja dulu. Lo udah satu langkah lebih maju dengan setuju ikut taruhan ini. Sekarang, tinggal langkah berikutnya."
Riko menyikut lengan Aldo dengan semangat. "Gue ada ide, Do. Gimana kalo lo deketin dia lewat kegiatan kampus? Dia kan ketua BEM, sering bikin acara kampus. Lo ikut salah satu acaranya, terlibat aktif, dan dari situ lo bisa mulai ngobrol sama dia."
Aldo berpikir sejenak. Ide itu terdengar masuk akal. Alia memang sering terlihat sibuk dengan berbagai kegiatan kampus, dan ikut dalam salah satu acara yang dia pimpin mungkin bisa menjadi cara alami untuk mendekatinya tanpa terkesan memaksa. Tapi tetap saja, perasaan tidak percaya diri menghantui pikirannya.
"Gue nggak tahu, sih. Kayaknya gue nggak bakal bisa deketin dia dengan cara itu. Gue takut malah jadi canggung," jawab Aldo akhirnya.
"Kecanggungan itu wajar, Do," sahut Adi. "Yang penting lo berani dulu. Canggung atau nggak, semua orang pasti ngerasain hal yang sama waktu mulai deketin seseorang."
Aldo mengangguk pelan, meski dalam hatinya masih belum yakin sepenuhnya. Taruhan ini terasa semakin nyata, dan tekanan di pundaknya semakin besar. Dalam waktu sebulan, dia harus melakukan hal yang selama ini tak pernah ia berani lakukan: mendekati gadis yang sudah lama ia kagumi dari kejauhan.
"Ya udah, kalau gitu, lo mulai dari situ aja. Cari tahu kegiatan Alia berikutnya, terus lo ikut gabung. Jangan pikirin terlalu banyak, Do," kata Fajar memberikan dorongan terakhir.
Hari-hari berikutnya, Aldo terus mencoba meyakinkan dirinya bahwa taruhan ini bukanlah hal yang mustahil. Namun, setiap kali ia berpikir untuk melangkah maju, bayangan Alia yang sempurna selalu membuatnya merasa ragu. Bagaimana mungkin dia, mahasiswa biasa dengan kehidupan kampus yang monoton, bisa menarik perhatian gadis seperti Alia?
Satu pagi, Aldo berpapasan dengan Alia di koridor fakultas. Dia hanya berani menatapnya dari kejauhan, terlalu canggung untuk menyapa, apalagi memulai percakapan. Alia tampak sibuk dengan beberapa teman organisasinya, mungkin sedang berdiskusi tentang kegiatan kampus. Tatapan Aldo mengikuti gerak-gerik Alia hingga gadis itu menghilang di balik pintu ruang rapat. Rasa gelisah kembali menghantui Aldo.
"Apa gue beneran bisa?" gumamnya pelan.
Namun, saat ia hendak berbalik dan melanjutkan langkahnya, tiba-tiba Fajar datang dengan semangat tinggi. "Do! Gue dapet info soal kegiatan BEM yang bakal Alia pimpin minggu depan. Ada seminar besar, dan mereka butuh relawan buat bantuin acaranya. Ini kesempatan lo!"
Aldo tertegun mendengar kabar itu. Seminar besar? Relawan? Apa itu benar-benar jalan yang tepat untuk mendekati Alia? Meskipun ide itu masuk akal, Aldo tidak bisa menepis rasa takut yang menyelinap di hatinya. Bagaimana jika ia gagal? Bagaimana jika ia malah mempermalukan diri sendiri di depan Alia?
Namun, ketika ia melihat wajah Fajar yang penuh keyakinan, Aldo menyadari bahwa ini mungkin adalah satu-satunya kesempatan yang ia punya. Jika ia terus menunda-nunda, waktu sebulan akan berlalu begitu saja, dan ia akan kehilangan segalanya mulai dari taruhan dan yang lebih penting, kesempatan untuk lebih dekat dengan Alia.
"Oke, gue ikut," kata Aldo akhirnya, meski suaranya terdengar sedikit ragu.
Fajar tersenyum lebar. "Itu dia! Gue tahu lo pasti berani. Sekarang tinggal lo dateng ke sekretariat BEM buat daftar jadi relawan."
Aldo hanya bisa mengangguk. Setelah percakapan itu, langkahnya menuju sekretariat BEM terasa berat. Bayangan Alia yang sibuk dengan semua tanggung jawabnya kembali muncul di benaknya. Mungkinkah Alia bahkan akan menyadari kehadirannya di acara tersebut? Atau dia akan sekadar menganggap Aldo sebagai relawan biasa di antara puluhan mahasiswa lainnya?
Namun, Aldo tahu bahwa ia tidak bisa mundur sekarang. Ini adalah kesempatan yang ia cari, dan meskipun peluangnya kecil, ia harus berusaha sebaik mungkin.
Seminggu kemudian, hari yang ditunggu-tunggu tiba. Aldo, bersama beberapa mahasiswa lainnya, bertugas sebagai relawan untuk seminar besar yang diselenggarakan oleh BEM. Dia mengenakan seragam panitia yang sederhana dan menunggu di belakang panggung, mengawasi persiapan acara. Jantungnya berdegup kencang, bukan hanya karena seminar ini adalah acara besar, tetapi juga karena ia tahu bahwa Alia ada di sana, memimpin jalannya acara sebagai ketua panitia.
Sejak awal acara, Aldo hanya bisa melihat Alia dari kejauhan. Gadis itu tampak begitu profesional dan terorganisir, mengarahkan para anggota panitia dan memastikan semuanya berjalan lancar. Aldo kagum melihatnya, tetapi juga merasa semakin kecil di hadapan gadis itu. Bagaimana mungkin dia bisa mendekatinya di tengah semua kesibukan ini?
Namun, saat jeda acara, kesempatan yang dinantikannya tiba. Alia tiba-tiba berjalan ke arah Aldo yang sedang berdiri di samping panggung, seolah-olah tak sengaja memperhatikan keberadaannya.
"Hai, Aldo, ya?" tanya Alia sambil tersenyum ramah.
Aldo terkejut. "Eh, iya. Lo… lo tahu nama gue?"
Alia tertawa kecil. "Ya, gue inget kok. Kita pernah sekelas di beberapa mata kuliah, kan?"
Aldo masih belum percaya bahwa Alia tahu namanya. Perasaan gugup langsung menghampiri, tapi ia berusaha tetap tenang. "Iya, bener. Gue nggak nyangka lo bakal inget."
"Ya, kenapa nggak? Lo kan juga mahasiswa di sini, sama kayak yang lain," jawab Alia santai. "Makasih, ya, udah bantuin di acara ini."
Kata-kata Alia yang sederhana itu tiba-tiba membuat Aldo merasa lebih nyaman. Mungkin gadis yang selama ini ia bayangkan tentang Alia sebagai sosok yang tak terjangkau terlalu berlebihan. Di balik statusnya sebagai ketua BEM dan gadis populer, Alia ternyata cukup ramah dan tidak angkuh seperti yang Aldo kira.
"Sama-sama. Gue senang bisa bantu," jawab Aldo akhirnya, mencoba tetap tenang meski hatinya masih berdebar.
Alia tersenyum lagi. "Kalau lo punya waktu lebih, gue bisa minta tolong buat beberapa hal lagi. Kita masih butuh bantuan di beberapa bagian, terutama di sesi penutupan nanti."
Aldo mengangguk cepat. "Tentu! Gue siap bantu apa aja."
"Great! Gue akan kasih tahu nanti, ya. Sekali lagi, terima kasih banyak, Do." Alia melambaikan tangan singkat sebelum kembali ke tengah kesibukan.
Begitu Alia menjauh, Aldo merasa seolah-olah baru saja melewati ujian berat. Meski pertemuan itu singkat, ia berhasil tidak terlihat gugup atau canggung, dan yang lebih penting, Alia tampak mengenalnya dan bahkan mengapresiasi bantuannya. Langkah pertama sudah diambil. Taruhan ini, meskipun awalnya terasa gila, kini mulai terasa lebih mungkin untuk diwujudkan.
Aldo tersenyum sendiri, membayangkan bagaimana cerita ini akan berkembang dalam beberapa minggu ke depan. Ia tahu, tantangan belum berakhir, tapi setidaknya kini ia punya sedikit kepercayaan diri untuk melangkah lebih jauh.