Janetta, gadis empat puluh tahun, berkarier sebagai auditor di lembaga pemerintahan. Bertahan tetap single hingga usia empat puluh karena ditinggalkan kekasihnya yang ditentang oleh orang tua Janetta. Pekerjaan yang membawanya mengelilingi Indonesia, sehingga tanpa diduga bertemu kembali dengan mantah kekasihnya yang sudah duda dua kali dan memiliki anak. Pertemuan yang kemudian berlanjut menghadirkan banyak peristiwa tidak menyenangkan bagi Janetta. Mungkinkah cintanya akan bersemi kembali atau rekan kerja yang telah lama menginginkan Janetta yang menjadi pemilik hati Janetta?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arneetha.Rya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 26
"Papa sudah berdiskusi dengan mamamu Sesungguhnya kami sangat tidak setuju jika kamu menikah dengan nak Reyvan,"
Papa membuka pembicaraan dan membuat mata Reyvan terbelalak.Mullutnya hendak mengucapkan sesuatu, namun Papa menghardiknya agar tidak usah bicara dulu sebelum Papa selesai.
"Tunggu nak Reyvan. Penyebab utama ketidaksetujuan kami, tentu saja karena perbedaan keyakinan diantara kalian. Kedua, adalah karena perbedaan adat istiadat yang kita junjung. Lalu yang berikut adalah karena kalian harus menikah dengan tiba-tiba tanpa persiapan panjang. Apalagi alasan kalian adalah kondisi ibunya nak Reyvan. Yang justru membuat kami curiga kalau kalian berdua hanya bergerak atas dasar kemanusiaan kalian. Dan tentu saja, kami tidak suka kalian mempermaikan pernikahan."
Papa terdiam sejenak melihat Reyvan yang kelihatan sudah kuyu dan tidak bersemangat lagi.
"Tetapi, kemarin sore nak Reyvan sudah bicara kepada kami sebagai orangtua Janetta. Kami berdua melihat bahwa nak Reyvan benar-benar tulus menyukai Janetta. Kami bisa merasakan bahwa nak Reyvan sungguh menyayangi Janetta dan ingin membahagiakan dia,"
Aku ternganga, apa maksud dan arah pembicaraan Papa. Reyvan pun kembali tegak dan memandang Papa dengan serius. Aku yakin Reyvan sama penasarannya denganku dengan lanjutan perkataan Papa.
"Karena keseriusan nak Reyvan, kami mengijinkan kalian menikah. Tapi karena kalian menikah dalam agama yang berbeda dengan kami, saya dan mama Janetta menolak untuk hadir saat pernikahan kalian,"ucap Papa dengan tegas.
Wajah Reyvan bersinar dan dia menggosok telapak tangannya ke wajahnya dan mengucap syukur. Aku terkejut dan ingin membantah, tapi aku takut terlalu kelihatan tidak ingin menikah dengan Reyvan.
"Oom, sungguh saya sangat berterimakasih karena Oom mengijinkan saya menjadikan Janetta sebagai istri saya. Saya paham masalah perbedaan keyakinan pasti akan menjadi topik paling sensitif. Tapi Oom, saya tidak memaksa Janetta untuk mengikuti agama saya. Mungkin ini memang tidak benar, namun jika setelah menikah dan pernikahan kami terdaftar di catatan sipil, saya tidak akan menghalangi Janetta untuk kembali memeluk kepercayaannya, Oom. Itu janji saya,"
"Mengenai agama adalah hak setiap orang. Masalah itu adalah keputusan mutlak dari Janetta. Tapi pesan saya, setelah kalian menikah dan ibumu sudah sehat kembali, tolong datang kembali kesini, karena kami juga ingin membuat syukuran untuk mengumumkan pernikahan Janetta, anak sulung kami yang paling keras kepala ini."
"Baik, Oom, pasti kami akan kembali kesini,"
Wajah sumringah Reyvan dengan mata berbinar dan senyum mengembang membuatku kebingungan harus bereksyapa. Aku tidak menyangka kalau Papa bisa-bisanya menyetujui Reyvan untuk menikah denganku. Ini di luar dugaan dan rencana. Tapi aku harus bagaimana. Aku sudah berjani pada Reyvan, akan menikah dengannya jika orangtuaku setuju dan sekarang mereka sudah menyetujui. Apa aku harus benar-benar menikahi Reyvan?
Aku tidak mungkin menjilat ludahku sendiri dan bagiku janji itu adalah hutang yang harus dilunasi. Ahh, bagaimana mungkin aku salah mengambil langkah dan strategi.
Reyvan mengambil tiket pesawat untuk kembali ke Medan di hari Minggu subuh. Selesai makan malam, aku menemui Papa di teras rumah sendiri tanpa Reyvan. Reyvan yang begitu bahagia, sedang membantu Bi Tiwi dan Mama membereskan sisa makan malam kami tadi.
"Mengapa Papa menyetujui rencan kami?" tanyaku dengan nada yang mungkin membuat Papa heran.
Bukankah harusnya aku senang diberi ijin menikah dengan lelaki yang kubawa menemui orangtuaku. Papa menatapku dengan kening berkerut.
"Mengapa pula nada bicaramu seperti tidak senang? Bukankah kamu seharusnya bahagia dengan persetujuan Papa? Atau justru kamu memang mau mempermainkan Reyvan,?"tanyanya.
Aku terdiam sejenak, tidak mungkin aku mengakui bahwa ini hanyalah akal-akalanku untuk menolak lamaran Reyvan karena aku yakin orangtuaku tidak akan menyetujuinya.
"Bukan begitu. Reyvan terlalu jauh berbeda denganku. Begitupun keluarganya jauh berbeda keluarga kita. Aku tidak tahu mengapa Reyvan bisa diterima sementara Antonio tidak," ucapku sembari menatap ke arah jalan raya di depan rumahku untuk menghindari kontak mata dengan Papa.
"Intuisi orangtua, Janetta. Papa bisa melihat ketulusan Reyvan, dan dia juga anak yang berbakti kepada orangtuanya. Jika dibandingkan dengan Antonio, dia tidak setulus Reyvan dan dia hanya mencintaimu. Dia tidak menunjukkan minat terhadap keluarga kita. Papa tidak suka kami bersama orang yang begitu kamu cintai namun dia tidak mencintai kamu dengan segala yang kamu punya."jawab Papa.
"Papa terlalu jauh menilai Antonio. Dia juga sangat mencintai Janetta, Pa." sanggahku.
"Buktinya tidak lama setelah Papa menolak lamarannya, dia langsung menikahi orang lain kan? Mentalnya terlalu tempe di mata Papa. Papa hanya mencoba menguji cinta kalian berdua, namun dia merusak semua karena ketidakmampuan dia untk menjadi pelindung dan pemimpin yang baik untuk kamu."
Airmataku menetes tanpa bisa kubendung. Hatiku menolak semua kata-kata Papa.
"Papa tidak seharusnya menguji cinta kami seperti itu. Akibat perbuatan Papa, Janetta tidak mau membuka hati lagi pada orang lain,"tukasku sembari menghapus airmata yang jatuh di pipiku.
"Karena itu Papa menyetujui permintaanmu untuk menikah dengan Reyvan. Papa tidak ingin mengulang kembali yang terjadi di masa lalu. Sudahlah, Janetta. Jangan marah terus sama Papa dan Mama. Sampai kapanpun kami orangtuamu. Lima belas tahun kamu mendendam kepada kami. Itu tidak baik, Janetta"
Aku terisak-isak namun menahan suara tangisku agar tidak terdengar ke dalam rumah. Aku tidak menjawab lagi kata-kata Papa. Aku pamit masuk, menuju kamarku dan masuk ke kamar mandi. Menyalakan keran air sebesar-besarnya dan meluapkan tangisanku. Tangisan yang sudah lima belas tahun kutahan karena kebencianku kepada orangtuaku.