Narecha memilih untuk melarikan diri dari kehidupannya penuh akan kebohongan dan penderitaan
Lima tahun berselang, Narecha terpaksa kembali pada kehidupan sebelumnya, meninggalkan berjuta kenangan indah yang dia ukir ditempat barunya.
Apakah Narecha sanggup bertahan dengan kehidupannya yang penuh dengan intrik?
Di tengah masalah besar yang terjadi padanya, datang laki-laki dari masa lalunya yang memaksa masuk lagi dalam kehidupannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ssintia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mengganjal
...••••...
Pulang dari cafe, Echa berjalan seperti biasa di suasana sore yang mendung. Angin berhembus cukup kencang hingga menerbangkan dedaunan kering yang tersebar di sepanjang sisi jalan.
Beca sudah berulang kali membujuknya untuk naik mobilnya tapi berulang kali juga Echa menolaknya. Hingga berakhir Beca yang mengalah karena kekeraskepalaan Echa itu tidak bisa diganggu gugat.
"Kok kaya mau hujan," gumam Echa sendirian ketika melihat langit yang semakin gelap meskipun jam masih menunjukkan pukul empat sore.
Suasananya juga terasa semakin dingin oleh besarnya angin membuat Echa beberapa kali membenarkan rambutnya yang terhembus hingga berantakan.
Bergegas Echa melangkahkan kakinya lebar-lebar agar cepat sampai di apartemen. Benar saja, tinggal seratus meter lagi gedung tempatnya tinggal rintik air hujan mulai membahasi jalan.
Echa terpaksa berlari untuk cepat-cepat sampai.
Hingga tiba-tiba saja hujan yang menetes diatas kepalanya berhenti membuat langkah Echa juga ikut berhenti, dia mendongak dan melihat sebuah payung yang melindungi tubuhnya.
Melihat kearah sampingnya dimana Pram yang tengah menatapnya dengan tatapan matanya yang seperti biasa membuat jantung Echa berdebar kencang tanpa aba-aba.
"Mas Pram?
Pram melingkarkan satu tangannya pada pundak Echa lalu menggiringnya untuk berjalan kembali.
"Mas kenapa ada disini?" Echa bertanya setelah keduanya berada di gedung apartemen.
"Sudah puas hindari saya?" Pram maju dua langkah membuat jarak keduanya semakin dekat. Penampilan pria itu berbeda dari biasanya, jika biasanya hanya terlihat setelan formal, kali ini kaus hitam juga celana panjang membalut tubuh kekarnya.
Echa meneguk ludahnya dengan perlahan, padahal baru beberapa hari ini Echa memang tidak membalas pesan yang dikirimkan Pram dan juga tidak mengangkat panggilan pria itu.
Bagaimana kalau Echa benar-benar mengulang lagi dari radar Pram, apakah akan lebih buruk reaksinya.
Echa menunduk dan menatap kedua kakinya yang terbalut flatshoes, "Maaf mas,"
Terdengar helaan nafas yang begitu dalam membuat Echa meringis. Pram sepertinya benar-benar kesal padanya.
"Boleh kita naik, hujan semakin deras,"
Echa menganggukkan kepalanya dan keduanya naik lift menuju tempat tinggalnya berada. Seharusnya Echa tidak mempersilakan untuk Pram naik, tapi dia malah yang mengundangnya sendiri.
Sungguh bodoh Narecha.
"Mas bisa duduk dulu di sana." Mendengarnya membuat Pram menuju tempat yang ditunjuk Echa.
"Mas mau aku bikinin kopi?"
"Saya tidak minum kopi, teh saja kalau ada."
"Tentu mas," bergegas Echa menuju dapur untuk membuat teh seperti keinginan Pram.
Setahunya dulu Pram minum kopi, tapi kini pria itu sudah tidak mengkonsumsinya lagi. Mungkin karena usianya kali ya, Echa meringis dengan pikirannya sendiri.
Setelah satu gelas teh jadi, Echa membawanya keruang tengah dimana Pram berada.
"Ini mas, maaf kalau tidak seperti selera lidah mas."
Pram mencicipi teh buatan Echa dengan perlahan. Sedangkan Echa harap-harap cemas melihatnya.
"Enak,"
Echa menghembuskan nafasnya lega begitu mendengar tanggapan Pram.
"Terimakasih mas," Echa yang masih berdiri menautkan kedua tangannya dibelakangnya tubuhnya.
Hingga Echa terkesiap begitu Pram menarik tangan kirinya cukup kencang sampai membuat tubuhnya kehilangan keseimbangan dan berakhir terjatuh dipangkuan Pram.
"Mas," ujar Echa tertahan dengan tangan yang menahan bahu Pram agar tubuh keduanya tidak menempel.
"Kamu begitu cantik," satu tangan Pram merayap pada leher Echa dan yang satunya lagi meremas pinggangnya dengan lembut. Sedang matanya menatap wajah wanitanya dengan begitu dalam.
"Saya tidak suka jika kamu menghindar Narecha." Pram meniup wajah Echa membuat wanita itu memejamkan matanya. Bukan, bukan karena nafasnya yang bau, tapi karena sensasinya yang begitu gila bagi kinerja jantungnya.
"Aku tidak menghindar mas," Echa mencoba berdalih.
"Iya, kamu melakukannya baby girl nakal," jari Pram semakin tidak terkendali. Kini jari itu menyusuri rahangnya perlahan hingga berhenti di bibirnya.
Pram menggerakkan jarinya seraya melihat Echa yang terlihat tersiksa dengan gerakannya. Sungguh pemandangan yang dari dulu begitu Pram dambakan.
"Mas berhenti," Echa menggenggam jari Pram yang mulai menyusuri perutnya dengan tatapan keduanya yang bertautan.
"Hm?" Pram tidak mendengarkan Echa, meskipun satu tangannya ditahan tapi dia tidak kehilangan akal dengan menurunkan satu tangannya untuk melepaskan genggaman tangan Echa di jarinya.
"Mas itu kenapa sebenarnya?"
"Saya?"
"Iya, mas kenapa?"
"Saya tidak kenapa-napa,"
"Mas tahu bukan itu maksudku." Ujar Echa dengan penuh penekanan.
"Saya hanya berlaku sebagai mana mestinya pada wanita saya Narecha." Pram tidak kalah juga menekan setiap kalimat yang dikatakannya didepan wajah Echa yang langsung berubah merah.
"Mas,"
"Kenapa hm?" tangan Pram naik kembali untuk menyelipkan anak-anak rambut Echa yang menjuntai.
"Mas kenapa jadi begini, kalau niat mas mau main-main sebaiknya berhenti sekarang juga, aku mohon mas," lirih Echa dengan kepala yang tertunduk.
Pram menyentuh dagu Echa lalu mengangkat kepalanya hingga pandangan keduanya kembali bertemu.
Mendekatkan wajahnya, Pram mengecup bibir Echa sekilas sebelum menyatukan kening keduanya hingga hidungnya saling bersentuhan. Echa memejamkan matanya ketika merasakan perasaan yang luar biasa pada hatinya.
"Saya tidak pernah bermain-main dengan perkataan saya Narecha kalau kamu ingin tahu. Perasaan saya benar adanya, saya ingin kamu menjadi milik saya baby girl," bisik Pram dengan mata yang ikut terpejam.
Echa sendiri tidak menjawab perkataan Pram. Hatinya bergelut dengan hebat, antara mempercayai pengakuan Pram atau tetap dalam pikiran hatinya.
"Jawab saya Narecha,"
Echa membuka matanya lalu menjauhkan Pram dari wajahnya.
"Aku, ngga tau mas." Meskipun kenyataannya hati Echa begitu melambung tinggi dengan hatinya yang tidak memiliki perasaan sepihak.
Tapi tidak menampik juga jika otaknya terus menyangkal setiap pengakuan-pengakuan yang keluar dari mulut Pram. Echa sungguh ingin mempercayai perkataan Pram, tapi ada sesuatu yang masih mengganggu pikirannya membuat Echa berpikir jika dia harus cepat-cepat mencari apa masalahnya.
"Saya mengerti, kamu hanya perlu diam, jangan menolak keberadaan saya, hanya itu yang saya inginkan setidaknya untuk saat ini." Kali ini Pram memeluk Echa dengan erat, menyembunyikan wajahnya di cerukan leher Echa dengan nyaman.
Tangan Echa terkepal disisi tubuhnya, dia sungguh ingin membalas pelukan Pram, tapi logikanya terus menolak hal itu.
Pram melepaskan pelukannya tanpa melepas tangannya dari tubuh Echa. Mata keduanya kembali berpandangan dan tidak ada yang berniat untuk berpaling.
"Mas, aku mau ke kamar mandi," waktu yang tepat, Echa ingin buang air kecil disaat dia memikirkan alasan agar Pram melepaskan tubuhnya.
Pram langsung melepaskan tangannya membuat Echa cepat-cepat berdiri dan berjalan menuju kamar mandi dengan tergesa.
Pram melihat kepergian wanitanya dengan pandangan yang tidak terputus sedikitpun dari sosoknya.
Sosok wanita yang sejak dulu tidak pernah lepas sedikitpun dari pikirannya seberapa keras pun Pram mencoba menghapus dan menghilangkannya.
...••••...