Menjadi pedagang antar dua dunia? Apakah itu memungkinkan?
Setelah kepergian kakeknya, Sagara mewarisi sebuah rumah mewah tiga lantai yang dikelilingi halaman luas. Awalnya, Sagara berencana menjual rumah itu agar dapat membeli tempat tinggal yang lebih kecil dan memanfaatkan sisa uangnya untuk kebutuhan sehari-hari. Namun, saat seorang calon pembeli datang, Sagara tiba-tiba mengurungkan niatnya. Sebab, dia telah menemukan sesuatu yang mengejutkan di belakang rumah tersebut, sesuatu yang mengubah pandangannya sepenuhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kata Pandu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 9 : Rencana Memulihkan Bisnis Keluarga
Pagi itu kediaman Morgans nampak lebih sibuk daripada biasanya. Sagara duduk di kursi berlapis beludru tua di ruang tamu keluarga Morgans, memperhatikan selembar kertas dengan teliti. Di hadapannya, Rose berdiri dengan sikap tenang, meski sorot matanya memperlihatkan sedikit kegelisahan. Setelah beberapa saat, Sagara pun mendongak dan memandang ke arah Rose dengan lembut.
“Jadi, hanya tersisa dua ratus koin emas?” tanya Sagara, memastikan.
Rose mengangguk pelan. “Benar, Tuan Sagara. Saya sudah berusaha mengamankan apa yang tersisa dari aset keluarga ini. Sebagian besar digunakan untuk memelihara mansion dan memenuhi kebutuhan hidup selama lima tahun terakhir.”
Sagara tersenyum tipis, lalu menghela napas panjang. “Tidak perlu khawatir, Rose. Aku berterima kasih karena kamu telah melakukan yang terbaik untuk menjaga rumah ini selama masa sulit.”
Rose menunduk sedikit, menunjukkan rasa hormatnya. “Maafkan saya karena menggunakan dana tersebut tanpa izin, Tuan Muda. Namun, itu adalah satu-satunya cara agar saya dan mansion ini tetap dapat bertahan.”
“Saya tidak mempermasalahkan hal itu,” jawab Sagara. “Sebaliknya, aku justru bersyukur karena kamu telah setia dan bertahan selama ini.”
"Sudah menjadi tugas saya, Tuan." Mendengar kata-kata itu, Rose merasa lega. Setelah sekian lama merawat rumah ini dalam kesepian, akhirnya ada harapan baru yang muncul dengan kembalinya pewaris keluarga Morgans.
Di samping kedamaian yang kembali di kediaman keluarga Morgans, tak lama setelah Rose menyebarkan kabar tentang munculnya kembali penerus keluarga Morgans pun mulai menggemparkan seluruh penjuru kerajaan. Kabar ini menjadi topik perbincangan hangat, baik di kalangan orang-orang yang dulunya mendukung keluarga Morgans maupun mereka yang menentangnya. Kabar tersebut juga menarik kembali beberapa pekerja yang sebelumnya mengabdi di mansion ini. Mereka adalah orang-orang yang jujur dan setia, yang merasa berhutang budi pada keluarga Morgans. Max dan Hendrikus, dua prajurit keluarga yang pernah menjaga keamanan mansion, serta Naya, Juvia, dan Laya, tiga pelayan yang selalu memastikan kebutuhan keluarga terpenuhi, dan Maho, seorang kusir yang selama ini mengendarai kereta keluarga Morgans.
Saat mereka selesai berbincang, terdengar suara langkah kaki dari arah pintu masuk. Rose menoleh dan tersenyum tipis, "Sepertinya mereka sudah datang."
Sagara dengan cepat menatap ke arah pintu, matanya beralih dari wajah Rose ke wajah-wajah yang baru saja memasuki ruangan. Mereka tampak sedikit canggung, seperti pulang ke rumah setelah bertahun-tahun terpisah.
Max, yang bertubuh tinggi besar dengan bekas luka di wajahnya, berjalan masuk bersama Hendrikus, seorang pria dengan tatapan tajam dan postur tubuh yang kokoh. Di belakang mereka, Naya, Juvia, dan Laya, tiga wanita dengan seragam pelayan yang lusuh namun bersih, memasuki ruangan dengan tenang. Maho, kusir keluarga, berdiri di pintu, melepas topinya dengan diikuti salam hormat.
Max berbicara pertama kali, suaranya dalam dan juga mantap. "Selamat pagi, Tuan Muda Sagara. Kami mendengar kabar tentang kembalinya keluarga Morgans, dan kami merasa ini adalah waktu yang tepat untuk kembali mengabdikan diri kepada keluarga."
Sagara berdiri, berusaha menyembunyikan kegugupannya di balik senyuman kecil. "Terima kasih sudah datang, Max. Aku sangat menghargai kesetiaan kalian semua. Aku baru belajar tentang apa yang terjadi selama ini, dan aku ingin memastikan kita bisa membangun kembali keluarga ini bersama-sama."
Hendrikus mengangguk, melangkah maju. "Tuan Muda, saya dan Max telah melatih diri selama lima tahun terakhir. Kami siap untuk melindungi keluarga Morgans seperti dulu."
Sagara tersenyum sedikit lebih lebar, merasa sedikit lebih lega dengan keberadaan para prajurit ini. "Aku yakin kalian berdua bisa membantu banyak dalam menjaga keamanan mansion ini."
Rose yang selama ini diam, akhirnya ikut berbicara. "Kembalinya kalian adalah hal yang sangat kami harapkan. Mansion ini butuh tangan-tangan setia seperti kalian untuk bisa bangkit kembali dari keterpurukan."
Naya maju, matanya menatap Sagara dengan penuh harap. "Tuan Muda, kami bertiga selalu merindukan mansion ini. Meskipun keadaan sudah berubah, kami ingin membantu mengurus dan menjaga rumah ini seperti dulu."
"Kami akan melakukan yang terbaik, Tuan Muda. Mansion ini pernah menjadi rumah kami, dan kami ingin menjadikannya seperti itu lagi." Juvia menambahkan, suaranya lembut namun penuh ketegasan.
Sagara merasakan kehangatan di hatinya mendengar kata-kata mereka. Dia mengangguk dengan tulus. "Aku sangat bangga dan berterima kasih atas dedikasi kalian. Aku tahu kondisi saat ini tidak mudah, tapi dengan dukungan kalian, aku yakin kita bisa mengembalikan kejayaan keluarga Morgans."
"Tuan Muda, saya siap kembali menjadi kusir keluarga, mengantar Anda dan keluarga ke mana pun yang diperlukan. Saya juga akan memastikan kuda-kuda dalam kondisi prima," ucap Maho yang berdiri di belakang, akhirnya dia angkat bicara.
Sagara tersenyum kepada Maho "Terima kasih, Maho. Aku merasa sangat terbantu dengan kembalinya dirimu dan kalian semua."
Percakapan pun terus berlanjut. Meskipun mereka tahu tantangan yang menanti di depan mereka, akan tetapi ada harapan yang kembali tumbuh di hati masing-masing dari mereka. Dengan kembalinya para pekerja setia ini, langkah pertama untuk membangkitkan kembali keluarga Morgans akhirnya telah dimulai.
Hari demi hari berlalu, dan suasana di mansion pun mulai berubah. Rose kembali menjalani perannya sebagai kepala pelayan dengan semangat yang tak pernah pudar. Fransiskus, meski masih terpukul oleh kenyataan lima tahun yang hilang, perlahan bangkit kembali dan mulai beradaptasi dengan situasi baru.
Rose tak hanya mengatur rumah tangga seperti biasanya, tetapi juga berperan sebagai mentor bagi Sagara. Setiap pagi, dia mengajarkan Sagara bagaimana bersikap dan berbicara layaknya seorang bangsawan. Mereka duduk di ruang belajar, di mana Rose dengan sabar menjelaskan etiket, tata cara, dan tradisi yang berlaku di dunia para bangsawan.
“Sebagai pewaris keluarga Morgans, Tuan harus selalu menjaga sikap,” ujar Rose sambil menunjukkan cara memegang cangkir teh dengan anggun. “Setiap gerakan, setiap kata yang Tuan ucapkan, semuanya akan diperhatikan oleh orang-orang di sekitar Tuan.”
Sagara mencoba meniru gerakan Rose dengan cangkir di tangannya. “Seperti ini?” tanya Sagara.
Rose tersenyum puas. “Tepat sekali, Tuan. Namun, ingatlah, yang paling penting adalah rasa percaya diri. Tuan harus menunjukkan bahwa Tuan adalah bagian dari keluarga yang terhormat.”
Sagara mengangguk. “Aku mengerti. Meskipun aku tidak mewarisi gelar kakekku, tapi aku harus siap menghadapi segala kemungkinan di masa depan saat berhadapan dengan lingkungan sosialita para bangsawan.”
Rose menatap Sagara dengan kagum. Dia melihat ketulusan dan tekad dalam diri Sagara, sesuatu yang dia yakini akan membawa keluarga Morgans kembali ke masa kejayaannya.
“Benar, Tuan,” kata Rose dengan lembut. “Dan saya akan selalu berada di sisi Tuan, membantu dan mendukung setiap langkah yang Tuan ambil.”
Setelah merasa cukup dengan pelajaran hari itu, Sagara mengajak Rose dan Fransiskus untuk mendiskusikan langkah selanjutnya. Mereka duduk di ruang pertemuan, membahas bagaimana cara membangkitkan kembali keluarga Morgans dari keterpurukan.
“Dulu, keluarga Morgans memiliki berbagai bisnis yang sangat sukses,” jelas Rose. “Ada toko yang menjual barang-barang mewah, restoran, dan penginapan yang terkenal. Semua itu adalah sumber utama pemasukan keluarga ini.”
“Dan sekarang pasti semuanya tidak lagi bisa beroperasi,” timpal Sagara, memikirkan bagaimana cara menghidupkan kembali usaha-usaha tersebut. “Kita harus menemukan cara untuk melanjutkan bisnis keluarga ini, tapi bagaimana caranya?”
Fransiskus yang selama ini lebih banyak diam, akhirnya angkat bicara. “Tuan Sagara, mungkin kita bisa memulainya dengan membuka kembali toko mewah itu. Kakek Anda, Tuan Miles, selalu mendapatkan barang-barang berkualitas tinggi dari dunia tempat asal Anda, kemudian menjualnya di dunia ini. Jika kita bisa melanjutkan tradisi itu, kita bisa menarik kembali pelanggan lama dan mungkin mendapatkan yang baru.”
Sagara merenung sejenak, lalu mengangguk setuju. “Baiklah. Rose, tolong atur seseorang dari salah satu pelayan untuk mempersiapkan bisnis toko itu. Kita akan memulai dengan toko tersebut. Kita juga harus menyebarkan kabar tentang kembalinya pewaris keluarga Morgans.”
Rose tersenyum dan bangkit dari tempat duduknya. “Tentu, Tuan Sagara. Saya akan segera mengurusnya.”
Sagara melihat Rose pergi, lalu menatap Fransiskus. “Ini bukan tugas yang mudah, tapi kita harus melakukannya.”
Fransiskus mengangguk. “Kita pasti bisa, Tuan Sagara. Kita hanya perlu bekerja keras dan tetap fokus pada tujuan kita.”