Tahu dengan Abrilla atau biasa di panggil Rila? Si bungsu dari Keluarga Anggara?
Dulu jatuh cinta dengan Ed? Tapi ternyata pria itu sangat tidak rekomended. Cukup lama menjomblo, Rila akhirnya merasakan buterfly era lagi.
Kali ini dengan siapa?
Maxwell Louis Sanjaya, pria berkebangsaan Indonesia-Belanda. Berdasarkan informasi yang Rila dapat, Max berstatus duda anak satu. Sulitnya informasi yang Rila dapat membuat gadis itu semakin nekat untuk mendekati Max.
Apakah Rila berhasil mendapatkan hati pria itu? Atau sebaliknya?
Kabarnya, kurang dari 3 bulan, Max akan melangsungkan pertunangan dengan wanita pilihan mami-nya. Bagaimana usaha Rila untuk mendapatkan apa yang dia inginkan?
Ikuti terus ceritanya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nur Anis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mengungkap Kebenaran (3)
"Apa maksud ucapan mu?" tanya Jena dengan lirih, wanita itu berharap Winata tidak akan mengatakan hal yang menyakiti hatinya.
"Aku akui, dulu aku sangat mencintaimu, Jena. Bahkan saat kau memutuskan menuruti permintaan orang tuamu untuk menikah dengan Marten, aku masih mencintaimu." kata Winata menatap wajah istrinya. "Tapi kau mengingkari janji yang telah kita buat. Katamu, setelah menikah 1 tahun kalian akan bercerai. Nyatanya apa? Kau malah mengandung anak Marten. Padahal saat itu aku menunggu mu, menantikan hari dimana kita bisa kembali bersama dan menikah."
"Bertahun-tahun aku menunggu mu yang masih menjadi istri orang. Hingga saat Max berusia 13 tahun, baru kau bercerai dengan Marten. Baru akhirnya kita bisa menikah. Tapi sayangnya setelah kita menikah, tanpa aku sadari, aku sudah tidak mencintaimu lagi. Perasaanku padamu saat itu sudah hambar, namun demi membalas penantianku agar tidak sia-sia, aku tetap bersikap seolah-olah masih mencintaimu."
Jena menangis, tidak menyangka rumah tangganya selama ini penuh kebohongan. Winata yang selalu memanjakannya ternyata itu hanya kepalsuan belaka.
"Aku sangat membencimu, Jena. Tidak banyak kau saja, tapi Marten juga putramu. Karena aku terlalu mencintaimu, aku harus kehilangan banyak waktu hanya untuk menunggumu. Karena Marten lebih kaya dariku, orangtuamu lebih memilihnya menjadi menantu. Dan karena kelahiran putramu, kau tidak menempati janji."
Winata mengatakan dengan perasaan menggebu-gebu, ada rasa sakit yang tidak tertahankan. Dia merasa sudah mengorbankan segalanya untuk Jena tapi takdir tidak pernah berpihak padanya.
"Selama ini aku hanya memanfaatkan mu, Jena. Sehingga hidup putramu juga hancur karena campur tanganmu juga." tambah Winata mengatakan itu dengan wajah puas.
"Kau jahat, Winata. Jika memang kau membenciku, jangan libatkan putraku." Jena berniat memukul Winata dengan cepat Winata menangkisnya.
"Sudah terlambat, Jena. Semua sudah berakhir, lihat sekarang putramu juga kehilangan cintanya. Cucumu kehilangan peran ibunya. Sebenarnya niatku menikahkan Iris dengan Max agar hidup putramu juga bisa aku kendalikan. Selain menginginkan penderitaan pada Keluarga Sanjaya, aku juga menginginkan aset mereka yang sudah lama aku incar. Sayang sekali, semua gagal. Tapi tidak apa, karena kita sudah berkumpul disini, lebih baik kita mati bersama saja." kata Winata membuat Jena ketakutan.
"Apa yang kau katakan hah?" tanya Jena melihat sekitar.
"Kau pintar Jena, gedung ini sudah aku pasang bom. Kita semua akan mati bersama." jawab Winata mengeluarkan alat yang dia simpan dibelakang tubuhnya.
"Om, aku tidak mau mati." teriak Iris mendekati Winata.
"Kita semua harus mati." balas Winata memencet tombol merah.
Iris segera menutup telinganya, Jena juga melakukan hal yang sama. Hanya Rila, Max dan Sandy yang terlihat santai.
BOMMMM BOMMM
Tidak itu bukan suara bom, melainkan suara Sandy yang seakan meledek Winata.
"Maaf, bom gagal meledak. Akan dicoba lain waktu lagi." ujar Sandy membuat Winata yang tadi menutup mata kini membuka mata dan melihat sekitar.
"Kenapa tidak meledak?" tanya pria itu kebingungan. Winata memencet tombol merah pada alat ditangannya berulang kali tapi tetap sama, tidak ada ledekan sama sekali.
"Sejak awal tidak ada yang memasang bom ditempat ini." kata Max membuka suara. "Karena seluruh anak buahmu sudah diamankan oleh anak buahku."
"Tidak mungkin." ujar Winata menjatuhkan diri ke lantai.
"Sudah cukup, ganti aku sekarang."
Max mendekati Winata dan menghajarnya.
Brug Brug Brug
Tiga pukulan mendarat di wajah Winata. "Selama ini kau selalu menggunakan tubuh anak buahmu untuk menghalau ku. Sekarang kau sendiri, tidak ada yang bisa melindungi mu."
"Kak Max, hentikan. Jangan sakiti Om Winata." Iris menarik tangan Max dan mendekati Winata.
"Yang sebenarnya murahan itu kau, Iris. Memang aku tidak tahu, jika kalian terlibat perjanjian menjijikkan." ganti Rila kembali membuka suara.
"Setelah berhasil menikah dengan Max dan mendapatkan anak. Kau akan menjadi simpanan om mu sendiri kan? Ada harga yang harus kau bayar untuk semua hal yang pria itu bisa berikan. Dan tubuhmu itu sebagai bayarannya." Perkataan Rila mengejutkan semua orang, mereka menatap Iris jijik.
"Oh, pantas selama ini kalian selalu pergi ke luar kota berdua. Ternyata kalian memang menjalin hubungan khusus." kata Jena mengingat kebiasaan suami dan keponakannya.
"Tidak, itu tidak benar." Iris mengelak, dia malu kenapa Rila bisa tahu hal itu.
Rila kembali mengatakan. "Ditawari kemewahan tapi tidak cuma-cuma. Harus mendekati Max, membuat Max jatuh cinta dengannya. Awalnya mengikuti rencana om-nya tapi lama-lama terjebak oleh rasa cinta yang nyata."
"Iris, kau dibohongi oleh om mu sendiri. Seluruh aset kekayaannya tidak akan pernah menjadi milikmu, meskipun kau berhasil menjadi istri Max dan membuat Max bertekuk lutut dengan mu."
"Hentikan omong kosong mu, Nona Rila." Winata tidak menyangka gadis itu mengetahui banyak rahasianya.
"Tuan Winata, aku tidak pernah berkata omong kosong. Setelah berhasil mengungkap bisnis ilegal mu, aku semakin bersemangat mengorek seluruh informasi tentangmu, termasuk masalah pribadimu." ucap Rila tanpa ada rasa takut sedikit pun.
"Oh jadi kau yang memberikan informasi pada Max tentang hutan itu?" tanya Winata memastikan. "Padahal kita tidak memiliki urusan apapun, tapi kau berani mengusikku." ujar pria itu merasa apa yang Rila lakukan padanya kelewatan.
"Awalnya aku hanya ingin tahu tentang Max saja. Tapi ternyata, itu awal dari semua kebusukan mu terbongkar. Aku mengetahui semua tentang mu, Tuan Winata. Termasuk jika dirimu sebenarnya tidak mandul."
Sontak ucapan Rila yang terakhir memantik amarah dari Jena.
"Jadi kau tidak mandul? Lalu mengapa kau selalu bersemangat mengajakku pergi ke banyak dokter untuk program kehamilan?" tanya Jena meminta penjelasan. Selama ini Winata yang selalu memberikan semangat untuknya, dan mencarikan dokter terbaik agar mereka bisa memiliki anak.
"Kau salah sangka, Nyonya Jena. Suami mu membawamu ke dokter kandungan bukan untuk program kehamilan. Tapi untuk membuat dirimu tidak bisa hamil. Bahkan operasi yang terakhir kau lakukan, itu adalah operasi pengangkatan rahim." Rila yang menjawabnya, bukan Winata.
"Apa? Jadi bukan karena dia bermasalah? Tapi dia yang membuat aku dalam masalah?"
"Ya, itu balasan yang setimpal untuk wanita yang sudah membuat ku menunggu lama. Adil bukan?" kata Winata tersenyum senang.
"Iris, kau tidak akan mendapatkan apapun dari pria itu. Kau dibohongi olehnya." Rila kini menatap Iris dengan iba.
"Apa maksud mu?" tanya Iris merasakan akan ada sesuatu yang mengejutkan dirinya.
"Diam, diam, tutup mulutmu." Winata ingin mendekati Rila tapi Max lebih dulu menendangnya hingga tersungkur.
"Sudah ku katakan, semua akan berakhir, Tuan Winata." ujar Max menatap tajam.
"Iris, orang tuamu meninggal bukan karena kecelakaan tapi dibunuh. Dan pembunuhnya adalah om mu sendiri." Bukan Rila yang mengatakan tadi Max.
"Dia," tunjuk Max pada Winata. "Dia melakukan itu agar harta peninggalan orangtuamu jatuh ke tangannya. Karena saat itu usahanya hampir bangkrut dan orangtuamu menolak membantu."
Iris mendekati Winata. "Katakan itu tidak benar. Papa dan mama bukan om kan yang membunuh?"
akoh udh mmpir....
ni anknya feli sm alfi y kk???
d tnggu up'ny.....smngtttt....