Binar jatuh cinta pada kakak kelasnya sudah sangat lama, namun ketika ia merasa cintanya mulai terbalas, ada saja tingkah lelaki itu yang membuatnya naik darah atau bahkan mempertanyakan kembali perasaan itu.
Walau mereka pada kenyataannya kembali dekat, entah kenapa ia merasa bahwa Cakra tetap menjaga jarak darinya, hingga ia bertanya dan terus bertanya ..., Apa benar Cakrawala juga merasakan perasaan yang sama dengannya?
"Jika pada awalnya kita hanya dua orang asing yang bukan siapa-siapa, apa salahnya kembali ke awal dimana semua cukup baik dengan itu saja?"
Haruskah Binar bertahan demi membayar penantian? Atau menyerah dan menerima keadaan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon And_waeyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 9. Seno
Yang Pelangi tahu, Binar tak ke kantin tadi. Putra bilang Binar menghampiri Cakra di kelas lelaki itu. Istirahat kedua mereka berdua bareng menuju masjid sekolah untuk shalat dzuhur, setelahnya, mereka kembali ke kelas. Ini sebenarnya tidak aneh, dan nampak wajar-wajar saja bagi orang lain. Tapi bagi Pelangi ini sungguh tak biasa, Binar nggak jajan udang keju kesukaannya, Binar mesem-mesem sendiri sih udah biasa, tapi dari tadi temannya ini nggak ngomong ke dia dan ... kadang Binar senyum malu sambil megang kedua pipinya, atau dia nutup mukanya masih mesem-mesem sambil menggumam tak jelas.
Pelangi hanya mampu memperhatikan dengan prihatin, karena ditanya pun Binar malah senyam-senyum, terus terkekeh habis itu nutup wajah, kan menakutkan. Pelangi kepo, apa yang menyebabkan tingkat kewarasan Binar jadi serendah ini? Meski ia yakin jawabannya tidak jauh dan ada sangkut pautnya dengan lelaki bernama Cakrawala Letnio.
Gadis itu menggelengkan kepala, ia memilih lanjut mengerjakan soal saja daripada memikirkan kenapa Binar menjadi seperti itu.
"Binar yang berbinar paripurna luas biasa. Ini gimana sih ngerjainnya nggak paham, ajarin dong!"
Sakti datang membawa buku matematika dan pensil.
"Minggat aja sana, Binar lagi nggak bisa diganggu. Lihat sendiri noh dia juga belum ngerjain, lagi nggak waras nih anak," kata Pelangi.
"Wah masa?" Sakti menoleh pada Binar.
"Woi Nyai! Ini ada tugas dari Pak Jayadi, kerjain woi dikumpulin ini," kata Sakti sambil menggeplak pelan wajah Binar dengan buku yang ia bawa.
Binar menoleh dengan wajah meringis. "Apasih ganggu? Gampang itu satu kali ngedip juga beres!" sewotnya.
"Buset galak bener, yaudah kalau gitu sok kerjain gue nyontek oke?"
"Enak bener hidup lo nyuntak-nyontek, nyuntak-nyontek," sinis Pelangi.
"Kalau gitu ajarin dong!"
"O to the gah!"
"Hadeuh berisik kalian, sini mana soalnya?"
"Nih, ada abcd nya, tapi dikerjainnya harus sama jalannya." Sakti menunjukan sepuluh soal di bukunya.
Binar mendecak singkat. "Segini doang?"
"Jangan nyepelein dulu Bi. Soalnya emang cuma sepuluh, tapi isinya bisa sepanjang jalan kenangan."
"Halah lebay!" kata Sakti membuat Pelangi mendelik garang.
Detik berikutnya. Lelaki itu sudah berteriak-teriak minta ampun ketika Pelangi menjambak rambutnya. Binar membiarkan itu karena sudah biasa dan kini menyalin soal dari buku milik Sakti.
***
Binar nyaris exited setiap waktu, itu yang Pelangi lihat. Ia memang seperti namanya, selalu berbinar. Dari dulu sih memang gitu, tapi dulu Binar exited kalau stalking dan streaming semua tentang biasnya, apalagi kalau yang menyangkut ultimate biasnya itu. Beda dengan sekarang, waktu istirahat biasanya lihatin yang katanya calon imam masa depan, Binar gunakan untuk menghampiri Cakra. Gadis itu sepertinya memang sangat menikmati statusnya yang merupakan pacar Cakrawala sekarang.
Tapi sebagai sahabatnya, Pelangi juga takut kalau Binar nantinya akan sakit dan jatuh melebihi apa pun. Karena yang terbang juga tak akan selamanya terbang, bagaimana jika Binar lupa cara untuk turun, sampai ia pun dijatuhkan? Pelangi tak bermaksud mengganggu kesenangan Binar atau pun mendo'akan hal buruk terjadi pada gadis itu, tak pernah sedikit pun. Tapi apa pun yang terjadi, semoga Binar selalu diberi kebahagiaan. Pelangi menatap Binar yang berada di boncengan Cakra, mereka berlalu lebih dulu.
"Na---loh? Helm-nya belum dipake?"
Pelangi menoleh pada Bima. "A-ah? Eh iya."
"Sini gue pakein."
"Nggak usah Kak, nggak enak dilihatin sama yang lain. Malu," kata Pelangi.
Raut wajah Bima langsung berubah jadi sedikit kecewa. Dan Pelangi melihat itu.
"Kak Bima marah?"
Bima tersenyum. "Kenapa harus marah?"
"Di sini banyak orang, mereka pasti bakal bicarain kita. Nanti katanya romantisan nggak tahu tempat, jadi aku ... bukannya nggak mau, cuma---"
"Itu buat lo keganggu?" potong Bima.
"Hm?"
"Ucapan mereka ganggu lo?"
"Sedikit," cicit Pelangi.
"Tapi perlakuan gue ke lo nggak buat lo risi kan?"
Gadis itu menggelengkan kepala. Bima mengusap puncak kepala Pelangi sambil tersenyum.
"Jadi, kalau sekarang gue pakein helm ini ke lo. Lo bukan risi sama perlakuan gue, tapi lo risi karena dilihatin mereka seolah-seolah kita tontonan drama picisan?"
Pelangi menganggukan kepala.
"Ok. Gue paham. Ayo naik!"
"Iya."
***
Binar harus mampir dulu ke toko buku. Ada novel dari penulis favoritnya yang sangat ingin ia beli. Sebenarnya, sekali jentik jari tinggal suruh tanpa perlu capek-capek ke toko buku supaya ia bisa mendapatkan novel itu. Tapi, sekalian cari kesempatan biar bisa lebih lama sama Cakrawala, ia meminta lelaki itu mengantarnya lebih dulu ke toko buku.
Mereka berdua sudah memasuki toko buku. Binar berjalan mulai mengelilingi rak, niatnya hanya beli satu novel, tapi kalau udah lihat novel yang bejibun begitu, mana Binar tahan! Apalagi yang best seller! Binar awalnya tak terlalu tertarik, tapi pas langsung melihat ... jadi mau ngoleksi semua, ia kalap.
Cakra memperhatikan saja ketika Binar memasukan beberapa buku yang dipilih gadis itu ke dalam keranjang. Namun, ketika melihat salah satu novel yang ditulis oleh penulis favoritnya, Cakra berhenti melangkah dan betah di sana.
Binar sampai lupa ia ke sini bersama Cakra. Ia terus berjalan.
"Ih, ya ampun ini beli nggak ya? Tapi kalau nanti nggak dibaca karena nggak keburu gimana?" Binar bermonolog sambil menghentikan langkah.
Oh iya! Ada Cakra di sini, ia bisa menanyakan pada lelaki itu apa ia harus membeli novel ini atau tidak.
Gadis itu berbalik. "Kak Cak---loh?"
Ia jadi celingukan. "Kak Cakra mana?" tanya Binar heran.
"Hei!"
Gadis itu membalikkan tubuh. Kedua matanya membulat melihat seorang lelaki yang memakai topi hitam, lelaki yang baru saja menepuk pundak kanannya.
"Ha? Ka Seno?"
"Gimana kabar lo?"
Gadis itu mengerjapkan mata, tanpa sadar menaruh novel yang ia pegang di keranjang. "Ini beneran Kak Seno? Serius?"
"Yes, miss me?"
Binar langsung menghambur dan menubrukan diri pada lelaki itu. Lelaki yang bernama Senopati itu sampai agak terhuyung ke belakang.
"Aku kangen banget!" kata Binar yang membenamkan wajahnya di dada bidang Senopati.
Lelaki tinggi itu tersenyum, ia balas memeluk Binar erat. "Gue juga," katanya.
"Kak Seno kemana aja? Sekarang kuliah ya? Udah lama nggak ketemu."
"Iya, gue kuliah. Nggak jauh dari SMA lo kok."
Binar megurai pelukan. Kedua matanya memicing.
"Darimana Kak Seno tahu dimana SMA aku? Stalking ya?" tanya Binar dengan ekspresi tengil.
"Ck, geer banget. Lo kan pernah post di Ig, lo SMA di sana, kita kan follow-follow-an Ig udah dari lama. Jadi bisa lihat update-an lo lah. Ada WA story juga, gue bukan orang nggak update!"
"Eh, iya sih."
"Lagian gue yakin, lo sekolah di sana juga karena ada adek gue. Ya nggak?"
Binar melotot. "Dih! Mana ada!"
"Ciah, nggak mau ngaku!"
"Nggak kok!"
"Halah---"
"Binar, astaga gue nyari---"
Ucapan Cakra terhenti kala melihat lelaki yang sedang berbincang dengan Binar tadi. Suara lelaki itu juga membuat Binar dan Senopati menoleh.
Tiba-tiba air muka Cakrawala berubah, rahangnya mengetat dengan tatapan menajam dan ekspresi datar. Cakra menghampiri Binar, lalu langsung memegang pergelangan tangan gadis itu.
"Udah beli novelnya kan? Ayo bayar," katanya sambil menarik Binar.
"Bentar dulu Kak, Kakak nggak kangen sama Kak Seno apa?"
Ucapan Binar sukses membuat Cakra berhenti melangkah. Lelaki itu menoleh ke arah Binar, dan tanpa kata menarik Binar lagi, namun kali ini, Binar menahan langkah dan melepaskan tangan Cakra yang melilit pergelangan tangan kirinya.
"Kak Cakra kenapa sih? Di sini ada Kak Seno loh. Bentar, jangan pulang dulu."
Pandangan Binar beralih pada Senopati. "Kak Seno, Pasti kangen ya kan?"
Senopati meringis. Ia beralih menatap Cakra.
"Gimana kabar lo?" tanyanya sedikit kaku.
Cakra masih menunjukan ekspresi datar. Ia kembali menatap Binar.
"Pulang sekarang bareng gue atau pulang nanti sendiri?"
Gadis itu jadi mengerjapkan kedua matanya. Ada yang aneh dengan Cakra, hawa lelaki itu terasa berbeda, seperti ada aura kebencian yang sangat kuat ... tapi entahlah, Binar tak tahu. Apalagi ekspresi yang ditunjukan lelaki itu sekarang, seperti bukan Cakra yang ia kenal. Ada apa ini? Ia jadi merasa ciut.
"A-aku ..." Binar menjawab takut-takut.
"Cepetan Bi!"
"Cakra nggak usah ngebentak," tegur Senopati.
"Nggak usah ikut campur! Ini bukan urusan lo." Cakra menatap lelaki itu dengan tatapan tajam.
"Kasihan Binar."
"Kasihan? Ya udah lo antar aja dia pulang sana, bye!" Cakra berbalik begitu saja dan melangkah pergi, lelaki itu melangkah cepat meninggalkan kedua orang yang sedang menatap punggungnya yang semakin menjauh dengan pandangan yang sama sendu.
Binar merasakan retakan kecil di hatinya yang tak bisa siapa pun dengar.