Geya dipaksa menikahi kakak iparnya sendiri karena sang kakak meninggal karena sakit. Dunia Geya seketika berubah karena perannya tidak hanya berubah menjadi istri melainkan seorang ibu dengan dua anak, yang notabenenya dia adalah keponakannya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lin_iin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kecewa
***
Setelah pulang dari konsultasi tadi Mas Yaksa terlihat lebih banyak diam, seperti orang yang sedang merajuk atau mungkin kecewa dengan keputusanku yang memutuskan untuk kembali memikirkan soal induksi laktasi yang dimintanya.
Aku sedikit takut untuk mengajaknya mulai mengobrol, tapi kalau diem-dieman begini aku lebih takut lagi. Lantas aku harus bagaimana ya?
"Mas, Mas Yaksa marah?" tanyaku hati-hati.
Mas Yaksa menoleh ke arahku sebentar lalu kembali fokus menyetir. "Kenapa?" tanyanya kemudian dan bukannya menjawab pertanyaanku.
Aku mengangkat kedua bahuku secara bersamaan. "Mas Yaksa diem aja."
"Kenapa kamu mikir kalau Mas marah?"
"Karena aku kan belum bisa kasih Asi buat Alin secepatnya."
Terdengar helaan napas panjang keluar dari mulut Mas Yaksa. Aku tidak berani meliriknya dan hanya menundukkan kepala. Lalu tiba-tiba Mas Yaksa menghentikan mobil, membuatku reflek mengangkat kepala dan menoleh ke arahnya.
"Loh, Mas, kok berhenti? Kenapa?"
"Mas mau ngomong."
Dapat kurasakan debaran jantungku bertalu-talu. Tanganku mulai sedikit berkeringat dan aku merasa gelisah.
"Mas nggak marah, Geya, sama sekali nggak marah, bahkan Mas juga nggak punya hak buat marah. Mas cuma... nggak ngerti dengan sikap kamu tadi, kecewa sedikit juga. Bukannya semalam kita sudah sama-sama sepakat soal induksi laktasi. Lalu kenapa kamu tadi bersikap seolah Mas maksa kamu? Apa emang kamu ngerasa Mas maksa kamu?"
Aku diam saja, gelagapan karena merasa terintimidasi dengan sikapnya sekarang.
"Geya, bukannya kita sama-sama sepakat mencoba win-win solution, Mas nggak sentuh kamu dan kamu jadi ibu asi untuk Alin. Kita udah sepakat, bahkan kamu sendiri yang ngajakin Mas langsung ke dokter padahal Mas juga udah nawarin buat jemput Alin dan Javas hari ini, tapi kamu malah begini. Mas cuma nggak ngerti sebenernya mau kamu itu apa."
"Maafin sikap Geya yang tadi terkesan nggak dewasa dan bikin Mas Yaksa kesel. Tapi ini juga baru buat aku, Mas, aku mau yang terbaik juga buat Alin, aku mau lebih menyiapkan diri biar bener-bener bisa kasih asi buat dia. Aku takut kalau aku aja masih ragu-ragu maka hasilnya nggak akan maksimal sesuai yang dibilang dokter."
Mas Yaksa diam saja, tak lama setelahnya terdengar helaan napas berat. Ia tidak bersuara dan kembali melajukan mobil tanpa mengeluarkan suara. Aku pun ikut diam setelahnya.
Suasana sunyi selama perjalanan, aku tidak tahu hendak dibawa ke rumahnya, rumah ibu, atau bahkan rumah mama. Aku pun tidak bertanya karena terlalu malas. Sepanjang perjalanan pun pandanganku fokus pada luar jendela, aku sama sekali tidak menoleh ke arahnya. Mungkin kita perlu sama-sama menenangkan diri sebelum melanjutkan diskusi kami.
***
Ternyata aku dibawa pulang ke rumah ibu, karena ternyata Alin dan Javas masih di sana. Begitu sampai di sana, aku langsung turun dari mobil dan masih melanjutkan aksi diamku. Bahkan saat masuk ke dalam rumah aku pun memilih merecoki Javas yang sedang menonton televisi.
"Kakak sudah makan?"
Javas melirikku sebentar lalu mengangguk. "Mama udah makan?"
Tubuhku spontan langsung menegang. Tunggu sebentar, aku tidak salah dengar kan barusan?
"Kakak tadi panggil Aunty apa?"
"Mama," jawab Javas cepat. Pandangannya masih fokus pada layar televisi yang sedang menampilkan film kartun.
Mendadak aku merasa merinding karena dipanggil Mama. Ada perasaan takjub dan juga tidak percaya karena tiba-tiba dipanggil demikian.
"Kak," panggilku dengan suara yang nyaris teredam.
Aku pikir mungkin Javas mungkin tidak mendengarnya. Tapi ternyata aku salah, dia menoleh lalu menatapku.
"Kata Ayah sekarang Kakak sama adek punya dua ibu. Satu Bunda Runa dan yang satu Mama Geya."
Kedua mataku tiba-tiba memanas. Aku ingin menangis sekarang juga tapi sedikit gengsi sama Javas yang bahkan belum genap berumur 5 tahun. Benar, Javas memang anak yang cerdas.
"Kak, boleh minta peluk?"
Javas mengangguk pelan lalu memelukku tanpa berpikir panjang. Bahkan aku juga merasakan tangan mungilnya menepuk punggungku pelan-pelan.
"Kakak masih punya yang ngasih Bude Harti, Mama mau?" tawarnya disela menenangkanku.
Spontan aku tertawa dan mengurai pelukan kami. Aku menggeleng. "Permennya bisa kakak simpen, Mama nggak papa kok."
"Tapi Mama nangis?"
"Mama terharu karena dapet hadiah dari Allah."
"Oh ya? Hadiah apa?"
"Kamu sama Adek."
Javas terlihat berpikir sebentar lalu memprotes. "Tapi kan kakak sama adek bukan barang."
"Karena hadiah itu bukan cuma berbentuk barang, sayang."
Kali ini Javas manggut-manggut paham.
"Ge," panggil Ibu tiba-tiba.
Aku langsung pamit ke Javas dan bergegas menemui Ibu.
"Ya, ibu manggil?"
"Suamimu udah makan?"
Ekspresiku berubah agak datar. Dengan sedikit ogah-ogahan untuk menjawab, aku kemudian mengangguk untuk mengiyakan.
"Kapan?"
"Tadi pagi aku udah bikin nasi goreng kok."
Ibu berdecak lalu memukulku pelan, tapi cukup membuatku mengaduh. "Apaan sih, Bu?"
"Itu tandanya belum makan, sekarang udah siang, udah harusnya makan siang. Sana buruan diambilin makan, dilayani suaminya yang bener, jangan mau enaknya saja."
Kali ini giliranku yang berdecak kesal, aku kemudian melirik jam tangan yang melingkar pada pergelangan tangan kiriku.
"Belum masuk waktu dhuhur, Bu. Nanti juga kalau laper nyari sendiri, udah tua begitu kok."
Sekali lagi ibu memukulku. "Kamu ini, lupa sekarang lagi di mana? Sekarang kan kalian lagi di sini, udah jelas suamimu pasti sungkan. Buruan sana ambilin."
"Ah, males, Bu."
"Mau jadi istri durhaka kamu?" ancam Ibu dengan kedua mata yang melotot tajam.
"Alin mana?" aku mengalihkan pembicaraan.
"Alin lagi tidur nggak usah kamu gangguin dia, mending sekarang kamu urusin dulu itu suami kamu."
Pasrah, akhirnya aku menuruti kemauan ibu. Dengan langkah sedikit malah, aku menyeret kedua kakiku menuju dapur, mengambil nasi beserta lauk pauknya lalu pergi mencari keberadaan Mas Yaksa. Ternyata dia ada di teras rumah samping.
Tanpa repot-repot mengeluarkan suara, aku meletakkan piring begitu saja.
"Apa ini?" tanya Mas Yaksa.
"Mas Yaksa nggak liat? Itu nasi, Mas."
Mas Yaksa menaikkan sebelah alisnya. "Buat?"
"Ya buat dimakan lah, masa iya buat ditonton," balasku agak sinis.
"Siapa?"
"Ya buat makan Mas Yaksa lah, orang yang ada di sini cuma Mas Yaksa. Masa iya aku ambilin nasi buat Pak Yayan."
"Bawa masuk!"
Aku melotot kesal. "Maksudnya apa? Aku udah repot-repot ambilin makan, terus sekarang Mas Yaksa nyuruh aku bawa masuk gitu aja?"
"Oh, ngerepotin? Ya udah, daripada kamu repot mending bawa masuk dan kamu sendiri aja yang makan. Mas nggak suka ngerepotin."
"Mas Yaksa serius ngajak ribut? Kita baru nikah kemarin loh."
"Bukannya kamu yang ngajakin?"
Aku menatapnya sinis, lalu mengambil piring itu dan membawanya kembali masuk ke dalam rumah.
"Loh, kok dibawa masuk lagi?" tegur Ibu saat tidak sengaja berpapasan denganku.
"Mau aku makan sendiri daripada aku yang makan orang," balasku galak.
To be continue,
komunikasi dewasa yg bisa merekatkan keduanya.... jaga yaa geya yg terbuka ...yeksa yg membimbing...
g enak banget ya..geya...dengernyaa
sabar yaa..
...ibu sedikit saja mengerti,memahami geya u bisa adaptasi dengan keadaannya... toh geya pada dasarnya anak penurut.