Geya dipaksa menikahi kakak iparnya sendiri karena sang kakak meninggal karena sakit. Dunia Geya seketika berubah karena perannya tidak hanya berubah menjadi istri melainkan seorang ibu dengan dua anak, yang notabenenya dia adalah keponakannya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lin_iin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Obrolan Setelah Nikah
***
"Jadi gimana, Geya, bisa ngobrol kan?"
Aku menatap Mas Yaksa sebentar lalu mengangguk tak lama setelahnya. Sehari menikah masa iya, aku sudah mau menolak ajakan suami yang hanya mengajak mengobrol bukan?
Astaga, suami? Kok pipiku rasanya tiba-tiba panas ya mengingat statusku kini sudah benar-benar berubah jadi istri orang?
"Mas punya beberapa permintaan."
Waduh, aku semakin panik saat ini. Kira-kira nanti Mas Yaksa minta apa aja ya?
"Berhubung sekarang kamu sudah jadi istri, Mas. Mas harap kamu berhenti bekerja."
Sebenarnya mengingat profesiku dan juga jabatan yang dimiliki Mas Yaksa, aku sama sekali tidak heran dengan permintaan tersebut. Tapi saat mendengarnya secara langsung begini, rasanya tetap saja kecewa.
"Kamu nggak keberatan bukan?"
Sangat keberatan. Jawabku dalam hati cepat. Aku susah payah kuliah keperawatan karena ingin mengabdi pada pasien, tapi sekarang aku terpaksa berhenti karena perintah suami. Jujur aku sedih, kupikir karena kami menikah secara terpaksa maka Mas Yaksa tidak akan membatasi aktivitas kerjaku. Tapi ternyata aku salah.
"Geya?" panggil Mas Yaksa, berhasil membuyarkan lamunanku.
Aku menggeleng. "Iya, Mas, aku siap berhenti bekerja demi jaga Alin dan Javas."
Mas Yaksa manggut-manggut. "Terima kasih, Geya."
Aku tidak membalas Mas Yaksa dengan kalimat, dan hanya tersenyum samar saat meresponnya.
"Ada lagi, Mas?"
Mas Yaksa mengangguk. "Ada. Mas pengen Alin dapat Asi."
Aku mengerutkan dahi heran. Maksudnya apa ini? Aku mana mungkin bisa kasih asi buat Alin?
Tunggu, sebentar!
Aku menatap Mas Yaksa tidak yakin. "Mas Yaksa nggak minta aku buat Induksi Laktasi kan?" tanyaku ragu-ragu.
Tidak mungkin kan?
Bagaikan disambar petir di siang bolong, Mas Yaksa tiba-tiba mengangguk. Aku shock bukan main. Kami belum genap sehari menikah dan permintaannya sudah sampai di level ini? Bolehkah aku marah?
Oh, tentu tidak karena Mas Yaksa itu suamiku.
Aku mulai panik. Aku memutar badanku hingga menatap Mas Yaksa sepenuhnya. Kedua mataku menatap wajah Mas Yaksa, berharap kalau pria itu tidak benar-benar serius dengan ucapannya. Tapi sepertinya aku salah, ekspresi Mas Yaksa terlihat begitu serius.
Astaga, apa yang harus aku lakukan?
"Mas Yaksa minta aku berhenti bekerja sekaligus melakukan induksi Laktasi?"
"Mas enggak minta kamu melakukannya besok, pelan-pelan, kamu bisa pikirin permintaan Mas. Mas nggak maksa, Geya, kalau memang kamu nggak mau."
Kali ini aku diam. Tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Sejujurnya aku memang tidak mau melakukannya, aku belum hamil, bukan karena tidak bisa hamil, tapi harus induksi laktasi demi menyusui ponakanku, yang kini sudah berganti status menjadi anak sambungku. Aku tidak masalah harus jadi ibu sambung untuk kedua ponakanku, tapi kalau harus induksi laktasi, aku keberatan.
"Sejak Alin lahir dia belum pernah dapat asi secara eksklusif dari ibu kandungnya karena kondisi Aruna saat ini. Jadi Mas harap kamu bisa jadi ibu asi Alin juga. Tapi sepertinya kamu keberatan."
Aku menatap Mas Yaksa dengan tatapan tidak percaya. Nada bicaranya terdengar santai dan sama sekali tidak mengandung paksaan. Tapi entah kenapa aku merasa seperti tersindir.
Bagaimana tidak, kalimatnya secara tidak langsung seperti mengatakan kalau aku tidak mau jadi ibu asi untuk Alin, maka aku akan terlihat seperti ibu yang jahat.
"Mas, kita baru nikah belum genap satu hari dan permintaan Mas udah luar ekspektasi aku, wajar bukan kalau aku shock?"
"Kamu mau?"
Astagfirullah, kenapa dia malah langsung menyimpulkan hal demikian?
"Bukan itu intinya, Mas. Maksud aku, aku perlu memikirkan semua ini, jadi nggak semudah itu untuk aku mengiyakan permintaan Mas Yaksa."
Mas Yaksa mengangguk paham. "Tidak perlu terburu-buru, kita masih punya banyak waktu."
Tiba-tiba aku kepikiran sesuatu.
"Oke, aku setuju induksi laktasi dan jadi ibu asi buat Alin."
Mas Yaksa menaikkan sebelah alis. "Kenapa tiba-tiba? Mas bilang kan kita masih punya banyak waktu tidak perlu terburu-buru, Geya."
Aku menggeleng tanda tidak setuju. "Lebih cepat lebih baik," balasku kemudian.
"Kamu punya syarat apa?" tanya Mas Yaksa menebak isi pikiranku.
Harus aku akui Mas Yaksa itu tipe yang sangat cerdas dan sangat paham apa yang dimau lawan bicaranya. Dan aku belum terbiasa akan hal itu.
Aku menatap Mas Yaksa ragu-ragu. Sejujurnya aku tidak begitu yakin, tapi tidak ada salahnya mencoba. Mencoba memberanikan diri, aku kemudian mengajukan persyaratan yang aku inginkan.
"Aku setuju induksi laktasi, tapi syaratnya Mas Yaksa nggak boleh 'nyentuh' aku."
Aku memberikan isyarat tanda kutip pada kata 'nyentuh' dengan menggerakkan jari- jemariku yang membetuk huruf V.
Mas Yaksa terlihat tidak suka. Aku bisa menebaknya meski ekspresinya sekarang masih berusaha untuk tetap tenang.
"Persyaratan kamu tidak masuk akal, Geya. Anggap saja kita tidak pernah--"
"Jangan main langsung bilang nggak masuk akal dong, Mas," protesku memotong kalimatnya, "kita menikah tanpa dasar cinta, dan aku nggak mau ngelakuin "itu' tanpa cinta."
Mas Yaksa tersenyum meremehkanku. "Geya, asal kamu tahu, 'itu' yang kamu maksud bisa dilakukan tanpa dasar cinta, asal Mas mau, kamu mau, dan kita terikat dalam ikatan halal kita bisa melakukannya."
Aku semakin panik karena dari nada bicara Mas Yaksa yang terkesan agak ngotot membuatku bingung.
"Geya, kamu tahu ini hak Mas kan? Mas suami kamu, kamu istri Mas?"
"Mas Yaksa juga tahu kan kalau hidup itu adalah pilihan?"
Mas Yaksa tidak terlihat puas dengan responku. "Maksudnya?"
"Ya Mas Yaksa mau pilih memenuhi kebutuhan biologis Mas, atau Alin yang dapet asi?"
"Geya, ini bukan pilihan," respon Mas Yaksa terlihat makin kesal, meski lagi-lagi dia tetap berusaha untuk tetap tenang, tapi aku tahu pasti kalau sekarang kekesalannya semakin bertambah besar, "ini nggak adil buat Mas," sambungnya kemudian.
"Jadi Mas lebih milih memenuhi kebutuhan biologis Mas, ketimbang--"
"Mas nggak bilang begitu, Geya," potong Mas Yaksa sambil menatapku datar.
Jujur, aku tahu aku tidak dapat melakukan hal ini. Tapi rasanya benar-benar lucu melihat ekspresi kesal Mas Yaksa sekarang. Ini adalah momen langka. Susah payah aku menahan diri agar tidak terbahak atau sekedar tertawa.
"Jadi Mas milih apa?"
"Kita baru menikah dan kamu memberi saya pilihan yang sesulit ini?"
"Mas, aku juga harus melepas masa mudaku demi Mas Yaksa dan anak-anak Mas. Aku bahkan langsung setuju saat Mas Yaksa minta aku berhenti bekerja. Setidaknya Mas Yaksa juga harus dihadapkan dengan dua pilihan, karena Mas nggak bisa memiliki semua sekaligus," ucapku agak kesal.
"Oke, Mas pilih kamu induksi laktasi dan jadi ibu asi buat Alin. Mas nggak akan sentuh kamu sampai kamu selama satu bulan pernikahan kita."
Aku melotot tidak terima. "Kenapa cuma satu bulan?" protesku kemudian.
"Apa? Memangnya kamu berharap berapa lama? Satu tahun?"
Aku diam salah tingkah.
"Mas nggak akan biarin itu terjadi karena Mas akan buktikan kalau dalam waktu satu bulan kamu bakalan jatuh cinta sama Mas. Jadi kita bisa melakukan 'itu' dengan cinta sesuai keinginan kamu."
Aku langsung tertawa sinis. "Mas Yaksa percaya diri banget?"
"Deal?"
Bukannya membalasku Mas Yaksa malah menjulurkan tangannya dan mengajakku berjabat tangan.
"Kalau Mas Yaksa gagal?"
"Kamu boleh kembali bekerja."
Tanpa berpikir dua kali aku langsung menjabat tangannya. "Deal," ucapku mantap.
To be continue