bumi yang indah dan tenang seketika berubah menjadi zona tidak layak huni.
semua bermula dari 200 tahun lalu saat terjadi perang dunia ke II, tempat tersebut sering dijadikan tempat uji coba bom atom, sehingga masih terdapat radiasi yang tersisa.
selain radiasi ternyata itu mengundang mahluk dari luar tata Surya Kita yang tertarik akan radiasi tersebut, karena mahluk tersebut hidup dengan memakan radiasi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LiliPuy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
kembalinya allan
Chris dan Toni berdiri di tengah padang rumput yang luas, menatap ke arah Kota Reksa yang kini hanya tumpukan puing. Mereka berharap menemukan sekilas bayang Allan, saudara kembar Toni. Angin bertiup, membawa aroma asap dan kehancuran.
"Kamu yakin dia ke sini?" tanya Chris, ragu. "Aku tak melihat siapa pun di jalan selama berhari-hari."
"Kita tak bisa hanya meninggalkannya," desak Toni, matanya tetap memindai cakrawala. "Kita tahu dia ada di dalam sana. Dia pasti berusaha keluar."
Chris mengangguk, meskipun hatinya berat. "Aku tahu. Hanya "
"Jangan khawatir," potong Toni. "Kita akan segera menemukan dia dan keluar dari sini. Bersama-sama."
Matahari mulai terbenam, mewarnai langit dengan corak merah dan jingga yang mencolok. Bayangan malam yang semakin panjang merayapi reruntuhan, membuat pencarian mereka lebih sulit.
"Kita harus bergerak," kata Toni, mulai berjalan ke arah puing-puing. "Semakin cepat kita menemukan dia, semakin cepat kita bisa pergi dari sini."
Chris mengikutinya, langkah-langkahnya ragu di tengah reruntuhan yang tidak stabil. "Kita bahkan tidak tahu apa yang menyebabkan semua ini. Bisa saja masih berbahaya."
Toni tidak menjawab, matanya waspada terhadap setiap batu dan tiang yang runtuh. Langit malam yang gelap telah menyelimuti mereka, hanya cahaya bulan yang samar menerangi jalan mereka.
Tiba-tiba, sebuah bayangan bergerak di antara reruntuhan, membuat mereka berdua berhenti. Suara langkah kaki yang tidak berirama memecah kesunyian malam.
"Siapa di sana?" teriak Toni, ragu.
Bayangan itu berhenti, kemudian perlahan muncul dari balik tumpukan puing. Dalam cahaya bulan yang redup, mereka melihat sosok seorang pria muda, rambutnya acak-acakan dan pakaiannya robek.
"Allan?" Toni bertanya, meskipun dia sudah tahu jawabannya.
Pria itu tersenyum, meskipun lelah. "Ya, itu aku. Maafkan aku, aku seharusnya lebih cepat."
Chris dan Toni segera berlari ke arahnya, dan ketiganya bertemu dalam pelukan hangat persaudaraan dan persahabatan.
"Kamu terluka?" tanya Toni, memeriksa saudaranya itu.
"Tidak, aku baik-baik saja," jawab Allan, meskipun nafasnya terengah-engah. "Hanya sedikit memar dan lecet."
"Kita harus segera pergi dari sini," desak Chris. "Kita tidak tahu kapan"
Suara gemuruh tiba-tiba menginterupsi dia, dan tanah di bawah kaki mereka bergoyang. Puing-puing berjatuhan di sekitar mereka, memaksa mereka untuk menjaga keseimbangan.
"Apa itu?" tanya Allan, matanya melebar saat dia melihat ke arah kota.
Kota Reksa, yang sudah rusak parah, sekarang tampak bergoyang, seolah-olah bumi di bawahnya berubah menjadi cairan. Bangunan-bangunan runtuh, jalan-jalan retak, dan jembatan-jembatan ambruk, semua dalam kehancuran yang mengerikan.
"Kita harus berlari!" teriak Toni, menarik saudara kembarnya. "Kita tidak bisa bertahan di sini!"
Ketiganya berlari sekuat tenaga, menavigasi reruntuhan yang bergoyang di bawah kaki mereka. Debu dan asap memenuhi udara, membuat napas mereka tersengal-sengal.
"Apa yang terjadi?" teriak Chris, matanya memerah karena debu. "Mengapa bumi begitu tidak stabil?"
"Aku tidak tahu!" jawab Allan, batuk. "Tapi kita harus terus bergerak!"
Mereka berlari tanpa henti, melewati reruntuhan yang bergemuruh dan retakan bumi yang menganga. Suara kehancuran mengikuti mereka, sebuah simfoni mengerikan dari logam yang bergesekan, batu yang runtuh, dan jeritan penduduk kota yang terjebak.
Akhirnya, mereka berhasil keluar dari zona terburuk kehancuran, dan berhenti untuk istirahat, bersandar di sebuah bukit yang aman. Napas mereka tersengal-sengal, dan mereka saling memandang, mata mereka bercerita tentang ketakutan dan kelelahan yang mereka rasakan.
"Aku pikir aku tidak akan pernah keluar dari sana," desah Allan, wajahnya pucat di bawah debu dan luka. "Kota itu berubah menjadi neraka dalam sekejap."
"Kamu melihat apa yang menyebabkan ini?" tanya Toni, matanya tajam.
Allan menggeleng. "Tidak, semuanya terjadi sangat cepat. Aku hanya berlari untuk menyelamatkan diri."
Chris mengangguk, matanya memandang kembali ke arah kota yang hancur. "Kita beruntung bisa keluar dari sana. Banyak orang yang tidak seberuntung kita."
Mengingat kembali akan situasi yang barusan terjadi, Allan segera berdiri, matanya bersinar dengan tekad. "Kita harus kembali ke sana. Ada orang-orang yang membutuhkan bantuan."
Toni dan Chris saling bertukar pandang, kemudian keduanya menggeleng.
"Kamu gila?" desak Toni. "Kita hampir mati di sana. Itu terlalu berbahaya."
"Toni benar," tambah Chris. "Kita tidak bisa membantu siapa pun jika kita sendiri terbunuh. Kita harus memikirkan keselamatan kita juga."
Allan tampak frustrasi, tangannya mengepal. "Tapi kita tidak bisa hanya duduk diam dan tidak melakukan apa-apa! Ada orang-orang yang terluka, ketakutan, dan membutuhkan bantuan kita."
"Kita tahu," jawab Chris lembut. "Tapi kita harus realistis. Kita hanya tiga orang. Kita tidak bisa membantu semua orang, terutama jika itu berarti menempatkan diri kita sendiri dalam bahaya yang tidak perlu."
Allan terdiam, matanya memandang reruntuhan kota yang masih bergemuruh. "Jadi, apa yang akan kita lakukan? Hanya berdiri di sini dan menonton?"
Toni menyentuh bahunya, empati terpancar dari matanya. "Kita bisa membantu dari jauh. Kita bisa mencari tempat yang aman, mengumpulkan persediaan, dan menunggu sampai situasi mereda. Kemudian, kita bisa kembali dan membantu dengan lebih efektif."
Allan tampak ragu, tetapi akhirnya mengangguk. "Baiklah. Aku tahu kamu berdua lebih berpengalaman dalam hal ini. Aku akan mengikuti keputusanmu."
Chris tersenyum, meskipun hatinya berat. "Terima kasih. Kita akan bekerja sama untuk melalui hal ini. Bersama-sama, kita akan keluar dari sini."
Mereka bertiga tetap berada di bukit, menyaksikan pemandangan kota yang terus bergemuruh dan runtuh. Malam semakin dalam, dan cahaya bulan yang samar-samar adalah satu-satunya saksi bisu atas kehancuran yang mereka saksikan.
"Kita harus menemukan tempat yang aman untuk berlindung," bisik Toni, matanya terus memindai cakrawala. "Aku khawatir gempa susulan bisa terjadi."
Chris mengangguk. "Aku setuju. Mari kita cari tempat yang terlindung dari puing-puing yang runtuh."
Ketiganya berhati-hati menavigasi reruntuhan, mencari tempat berlindung sementara. Akhirnya, mereka menemukan sebuah gua kecil di bukit, terlindung dari elemen dan bahaya yang mengancam.
Mereka masuk ke dalam gua, duduk di tanah yang berdebu, dan berbagi makanan dan air yang tersisa.
"Kita akan bertahan malam ini," kata Toni, suaranya mantap. "Besok, kita akan mengevaluasi situasi dan membuat rencana selanjutnya."
Chris dan Allan mengangguk, kelelahan dan emosi menguasai mereka. Mereka tahu bahwa malam itu akan panjang, tetapi mereka juga tahu bahwa bersama-sama, mereka memiliki kekuatan untuk menghadapi apa pun yang akan datang.
Malam itu, di bawah langit yang bergemuruh, persahabatan mereka terasa lebih kuat dari sebelumnya, sebuah ikatan yang dibentuk dalam api dan kehancuran. Mereka tahu bahwa esok hari akan membawa tantangan baru, tetapi bersama-sama, mereka siap untuk menghadapinya.
Dan ketika fajar akhirnya muncul, menerangi reruntuhan kota yang masih bergoyang, mereka bangun dengan tekad baru, bersiap untuk melakukan apa pun yang diperlukan untuk bertahan dan membantu mereka yang membutuhkan.
Kota Reksa mungkin hancur, tetapi semangat ketiganya tetap kuat, sebuah cahaya terang di tengah kekacauan dan ketidakpastian.Pagi hari tiba, sinar matahari yang lembut ke dalam gua kecil mereka, Chris, Toni, dan Allan membangunkan dari tidur mereka yang gelisah. Bayangan malam sebelumnya masih membayangi pikiran mereka, tetapi pertarungan belum selesai. Mereka tahu bahwa tantangan hari esok masih menanti.
"Kita harus turun ke sana lagi," kata Toni tegas setelah mereka bersantap sekilas breakfast dengan makanan yang tersisa. "Kita akan temukan cara untuk membantu tanpa alam diri dalam bahaya."
Chris mengangguk setuju, wajahnya серйоз. "Kita perlu tahu apa yang terjadi, dan mungkin menemukan cara untuk membantu Ketua sudah meninggal."
Allan terlihat ragu, tetapi akhirnya mengembuskan napas dan mengangguk. "Baiklah, aku ikutin kalian. Kita harus tahu apa yang terjadi dengan kota ini."
Dengan langkah yang hati-hati, mereka meninggalkan gua mereka dan memulai berjalan ke reruntuhan Kota Reksa. Gemericik yang terdengar telinga mereka, dan bumi tampak lebih stabil daripada malam sebelumnya. Namun, kekacauan masih berlangsung, dengan beberapa penduduk yang ketakutan dan terluka seluruh drastis perubahan yang terjadi di bumi.