NovelToon NovelToon
Feathers

Feathers

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Fantasi / Cinta Beda Dunia / Iblis / Dunia Lain
Popularitas:495
Nilai: 5
Nama Author: Mochapeppermint

Mereka bilang aku adalah benih malaikat. Asalkan benih di dalam tubuhku masih utuh, aku akan menjadi malaikat pelindung suatu hari nanti, setelah aku mati. Tapi yang tidak aku tahu adalah bahaya mengancam dari sisi manapun. Baik dunia bawah dan dunia atas sama-sama ingin membunuhku. Mempertahankan benih itu semakin lama membuatku mempertanyakan hati nuraniku.

Bisakah aku tetap mempertahankan benih itu? Atau aku akan membiarkan dia mengkontaminasiku, asal aku bisa menyentuhnya?

Peringatan Penting: Novel ini bisa disebut novel romansa gelap. Harap bijak dalam membaca.
Seluruh cerita di dalam novel ini hanya fiksi, sama sekali tidak bermaksud untuk menyinggung pihak manapun.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mochapeppermint, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 9 The Seed

Aku tidak tahu apa yang dipikirkan Suster Nadia saat membawakan setumpuk pakaian untukku. Apa dia pikir aku akan memakai pakaian selengkap para suster? Bahkan aku tidak tahu pakaian yang ini untuk apa, yang itu untuk apa. Jelas aku juga tidak tahu bagaimana cara memasang kerudung.

Akhirnya aku hanya memakai pakaian yang berbentuk sebuah gaun berkerah berwarna putih. Tidak pernah aku menyangka kalau aku akan memakai pakaian Suster di kehidupan ini. Tapi ini lebih baik daripada gaun baruku.

Mengingat kondisi gaun merah yang baru saja Mikaela berikan, membuatku meringis kesal. Bagian pinggang gaunku sudah robek, sebagian kainnya melambai-lambai menyedihkan. Aku tidak tahu gaun itu masih bisa diperbaiki atau tidak karena bukan hanya jahitannya saja yang sobek tapi kainnya benar-benar robek.

Untuk rambutku yang berantakan, aku hanya bisa mengikatnya saja dengan karet yang kebetulan di sediakan Suster Nadia. Sedangkan untuk wajahku, aku tidak bisa berbuat apa-apa dengannya. Walau sudah membasuh wajahku dengan air tetap saja wajahku berminyak dan pucat. Aku tampak seperti orang kurang tidur alih-alih terbius total.

Saat aku keluar Pastor Xaverius tampak sibuk dengan pikirannya sendiri. Dia hanya berdiri dengan kedua tangan di belakangnya dan dahinya berkerut dalam. Entah apa yang ada di pikirannya, aku tidak ingin mengganggunya. Dengan langkah ringan aku meletakkan tumpukan pakaian ke ranjang lalu berjalan ke arahnya dan berhenti agak jauh. Aku tidak meninggalkan pipa besiku, jadi aku tetap mencengkramnya baik-baik.

Saat kupikir Pastor Xaverius masih sibuk, dia sudah mendongak dan mengulaskan senyumnya. Aku berusaha tidak tersipu melihat senyum itu.

Yang benar saja, Em! Dia membius dan menculikmu! Dan dia itu Pastor! Bisa-bisanya masih sempat tersipu! Yah, bayangkan saja ada pria berwajah tampan yang fotonya akan sangat pantas bertengger di sampul majalah pria sedang tersenyum padamu.

“Ayo.” Katanya sambil mengedikkan kepalanya.

Di balik pintu ganda besi, kami menaiki beberapa undakan batu lalu kami keluar ke bukaan yang ternyata sebuah lorong luas dengan langit-langit yang tinggi. Tembok batu di satu sisi, sisi lain sebuah taman yang luas dengan pepohonan dan semak yang tertata rapi.

Tidak ada hiruk pikuk keramaian kota yang biasa aku dengar entah itu pagi buta atau tengah malam sekalipun. Walaupun tampaknya sudah agak siang, di sini sunyi hanya terdengar samar-samar suara nyanyian yang entah datang darimana.

“Dimana ini?”

“Gereja St. Joseph.”

Aku tahu dimana itu Gereja St. Joseph dan gereja ini terletak sangat jauh dari pusat kota, hampir memasuki daerah perbatasan kota. Kemungkinan bisa memakan waktu hingga dua jam untuk menempuh perjalanan kesini.

Aku tidak tahu harus berkata apa. Biasanya aku melihat atau mendengar penculikan di film atau di berita, kini merasakannya sendiri rasanya agak ngeri. Walaupun ini gereja, fakta itu pun juga tidak membantu. Aku mengeratkan peganganku pada pipa besiku dan menatap lekat-lekat Pastor Xaverius.

Dia sangat tinggi, sedangkan mungkin aku hanya sebatas bahunya saja. Walaupun dia berpakaian tertutup aku tahu dengan pasti dia melatih otot-otot di tubuhnya dengan sangat baik. Tubuhnya terasa seperti beton saat menindihku. Jadi kalau aku memukulnya dengan pipa besi ini, aku harus memukul dengan tepat dan kuat agar dia tidak bangkit dalam waktu singkat. Tapi kalau ternyata dia bisa tahan dengan pukulanku atau pukulanku meleset, maka habislah aku.

Mungkin aku terlalu fokus dengan cara melumpuhkannya hingga tidak memperhatikan sekelilingku. Kami sudah tidak lagi berada di lorong samping taman. Kini lorongnya tertutup, langit-langitnya tidak lagi tinggi. Kami melewati beberapa pintu-pintu besar yang tertutup dengan jarak yang jauh satu dengan yang lain. Sampai akhirnya Pastor Xaverius berhenti di sebuah pintu lalu dia mengeluarkan sekumpulan anak kunci dari kantongnya, memilih satu dan memasukkannya ke lubang kunci.

Saat dia membuka pintu aroma kayu cendana yang harum menguar dengan lembut. Selain bau kayu-kayuan, samar-samar aku mencium bau buku atau perkamen. Dan benar saja aku melihat rak-rak buku tinggi dimana-mana. Ruang ini sangat besar dan langit-langitnya lebih tinggi daripada di lorong tadi. Namun yang paling mencolok adalah sebuah meja kerja kayu yang sangat besar yang dipenuhi bertumpuk-tumpuk buku, kertas. Di belakang meja itu ada sebuah meja yang terisi sederet komputer-komputer yang terlihat canggih. Rasanya aku melihat perpaduan modern dan kuno di saat bersamaan.

“Kemarilah.” Kata Pastor Xaverius berjalan ke arah meja lalu menyuruhku duduk di kursi depan meja. Sesaat dia mencari-cari dari tumpukan bukunya lalu menarik salah satu buku tebal bersampul hitam yang tampak biasa. Dia mendorong buku itu ke hadapanku, saat aku membukanya berderet-deret tulisan nama, tempat dan tanggal. Tulisan tangan itu terlihat kuno bahkan lembar-lembar kertasnya setipis tisu dan agak lusuh.

“Apa ini?” Tanyaku masih sambil mengamati daftar nama-nama yang tergurat di atas kertas. Tampaknya ada beberapa orang yang menulis di buku ini. Ada yang rapi, namun ada juga yang hampir tidak bisa di baca dengan jelas.

“Data para benih yang terbunuh oleh para malaikat jatuh.”

Aku langsung mendongak menatap Pastor Xaverius dan terpaku. Sejenak kemudian aku mengumpulkan akal sehatku dan membalik kertas-kertas itu dengan cepat, hingga sampai pada tulisan yang terakhir. Tulisan ini lebih rapi dan lebih jelas. Sudah pasti tulisan ini ditulis baru-baru ini.

Gideon Agustinus, 25 April 2022, Nabire, Indonesia

Jantungku serasa berhenti saat mengetahui itu beberapa hari lalu.

Pastor Xaverius menunjuk satu kolom di bawah nama Gideon. “Kalau kamu tidak di sini sekarang. Mungkin namamu yang akan tertulis disini.”

Aku membuka mulutku, tergagap. “Ini… Tapi… Aku…”

“Kamu masih tidak percaya?” Tanya Pastor Xaverius seolah memahami apa yang ada di pikiranku.

Pastor Xaverius duduk di kursi seberang lalu memutar kursinya, berbalik menghadap komputer-komputernya. Sejenak dia membuka tautan-tautan lalu, dia menggeser kursinya sedikit agar aku bisa melihat dengan jelas apa yang hendak di tunjukkannya padaku di layar komputernya. Keluarlah beberapa foto yang perlahan membuatku mual. Seraya menggeser satu demi satu foto di layar dia berkata, “Mereka semua meninggal dengan cara yang sama.”

Foto menampakkan tubuh demi tubuh yang tampak kaku. Hampir semuanya menganga lebar seolah tidak bisa bernafas, bibir dan ujung-ujung jari mereka membiru, mata mereka membelalak, ada juga yang matanya hanya terlihat bagian putihnya saja. Kedua tangan mereka ada di dada dan tampak menekan dengan kuat seolah mereka bisa mencegah sesuatu keluar dari tubuh mereka. Dari foto tanpa warna hingga foto berwarna, semua tampak sama persis.

“Laporan autopsi selalu sama, serangan jantung.” Jelas Pastor Xaverius. “Tapi ada yang lain.” Kali ini Pastor Xaverius membuka file yang lain dan membuka foto demi foto. “Selalu ada tanda di dada mereka.”

Kali ini hanya beberapa foto saja aku sudah mengalihkan pandanganku. Foto-foto kali ini memperlihatkan dada para korban dan hampir semuanya tampak terbakar sesuatu, menghitam. Dan luka itu tepat berada di tempat di mana tangan-tangan mereka menekan.

“Bekas luka ini tidak bisa dijelaskan oleh para dokter. Memang terlihat terbakar, tapi tidak bisa di sebut terbakar, karena memang bukan luka bakar. Seolah itu hanya bercak hitam di kulit yang tiba-tiba membesar.” Jelas Pastor Xaverius masih dengan ketenangannya.

Rasanya aku tidak bisa menahannya. Aku berdiri dan berjalan ke arah rak-rak buku yang berderet-deret. Namun pandanganku tidak fokus kemana-mana aku hanya tidak bisa duduk di depan Pastor Xaverius seraya melihat foto-foto itu.

“Masih banyak yang harus kamu ketahui.” Ujar Pastor Xaverius dari belakangku. “Ini hanya salah satunya.”

Aku menelan ludah dengan susah payah. “Suster Nadia sudah memberitahuku.” Ucapku dengan suara bergetar, aku merasa sudah tidak perlu lagi menyembunyikannya. Aku sangat yakin kalau Pastor Xaverius bisa melihat ketakutkan di dalam ekspresiku.

“Aku yakin itu hanya sebagian kecil.” Sanggahnya.

Aku meletakkan tanganku di rak dan menyandarkan dahiku di tanganku seraya memejamkan kedua mataku. “Aku nggak mau percaya.” Sangkalku. "Aku tidak seperti mereka."

Aku akui foto-foto itu tidak semenyeramkan film-film yang berdarah-darah, tapi entah kenapa terasa menonjok tepat di ulu hatiku. Melihat bekas hitam itu membuat bulu kudukku meremang. Aku tahu ada sesuatu yang aneh di bekas luka itu. Sesuatu yang jahat.

“Terserah saja.” Ucap Pastor Xaverius terdengar dingin. “Tapi apapun yang kamu percayai kamu harus tetap disini.”

Aku menoleh menatap pria itu dengan kesal. Aku ingin melempar apapun ke wajahnya yang menjengkelkan. Namun sayangnya pipa besiku tertinggal di mejanya.

“Aku punya pekerjaan di luar sana.”

“Ya, dan kamu akan mati.” Ucapnya sambil menyandarkan tubuhnya di kursi.

“Jadi aku akan selamanya terkurung disini?”

“Ya atau kamu akan mati.” Ulangnya lagi dan itu sudah cukup untukku untuk menyambar sebuah buku di rak dan melemparkannya padanya. Lemparanku ternyata lebih tinggi daripada kepalanya, namun dengan mudah dia mengulurkan tangannya menangkap buku itu walau posisi bukunya sudah terbuka. Tangkapannya membuat lembar-lembar buku itu terlipat-lipat tidak rapi. “Lempar saja sebanyak yang kamu mau, tapi itu tidak mengubah kenyataan.”

Aku mengerang dan duduk di lantai bersandarkan rak buku. Walaupun ingin marah dan melemparkan sebanyak buku yang aku ingin, aku tahu aku bukan anak kecil yang tantrum. Aku tidak akan melempar buku-buku ini padanya, karena benar, itu tidak akan mengubah sesuatu. Aku tetap akan disini mendengar hal-hal aneh dan mengerikan dan susah dipercaya.

“Aku harap ini nggak nyata.” Gumamku lebih pada diriku sendiri namun ternyata Pastor Xaverius masih bisa mendengarku.

Dari sudut mataku aku bisa melihat dia berdiri dari kursinya dan berjalan ke arahku. “Aku pun juga begitu.” Dia menyodorkan sebuah kertas padaku.

“Apa ini?” Tanyaku saat aku menerimanya dan membuka lipatan kertas yang rapi itu.

“Surat penugasanku.”

Saat aku melihat cap surat di atas kertas kedua mataku langsung membelalak. Itu cap Vatikan dan surat itu juga dikirim dari Vatikan langsung. Tidak pernah aku membayangkan bisa membaca surat dari Vatikan secara langsung seperti ini. Rasanya aku sedang memegang sesuatu yang berharga.

Isinya dalam bahasa Inggris dan untungnya kemampuan berbahasa Inggrisku yang pas-pasan cukup untuk membantuku memahaminya. Inti dari surat itu adalah Pastor Xaverius Cornelius Liang, Pastor Ignatius Albertus Halim beserta beberapa rekannya ditugaskan untuk memimpin dan membangun generasi Persaudaraan Penjaga Rahasia yang ada di Indonesia. Pusat Persaudaraan adalah di Gereja St. Joseph dan diharapkan akan memiliki titik-titik pos penyelamatan yang tersebar di seluruh negara Indonesia.

Kedua Pastor itu sudah mendapat ijin dari Pemerintah setempat bahwa akan melaksanakan tugas mereka sebaik-baiknya. Tugas mereka pun akan dibantu pihak-pihak Pemerintahan tanpa batas. Karena itu pihak Vatikan meminta Gereja-gereja yang ada di Indonesia ikut membantu para Persaudaraan dengan baik.

Surat itu dikirim pada tahun 2021 yang berarti sekitar setahun yang lalu.

“Jadi kamu baru disini?” Tanyaku pada Pastor Xaverius.

Dia mengangguk. “Boleh aku duduk?” Tanyanya dengan sopan.

“Silahkan.” Kataku padanya. Aku mengembalikan surat itu padanya saat Pastor Xaverius duduk di sampingku. Harum cendana yang sedari tadi kucium kini terasa berhembus dari arahnya. Rupanya itu harumnya. Lembut dan maskulin.

Aku berdehem pelan. “Jadi namamu Cornelius Liang?” Tanyaku dan dia mengangguk. “Bukan nama orang Indonesia.” Beda dengan Pastor Ignatius Albertus Halim yang masih terdengar nama Indonesia.

Senyumnya terulas. “Aku orang Singapura.”

Aku menggumam dan mengangguk. “Lalu sebelum disini kamu dimana?”

“Aku selalu berpindah-pindah. Tapi kemungkinan tugasku kali ini akan memakan waktu yang cukup lama.” Jelasnya.

Aku berpaling darinya dan menatap lantai kotak-kotak yang terlihat halus dan usang dimakan usia. “Jadi… Sudah berapa banyak yang kamu selamatkan?” Suaraku kali ini lebih pelan daripada sebelumnya. Jujur, aku pun tidak yakin dengan pertanyaanku.

“Hanya tiga.” Kata-katanya terdengar berat seolah jumlah itu terlalu membebaninya.

“Empat denganku?”

Dari sudut pandanganku aku bisa melihatnya mengangguk. “Empat denganmu.”

“Apa mereka saat ini… Masih hidup?”

Pastor Xaverius menghela nafas panjang. “Tentu. Mereka sering memberiku kabar.”

“Hmm…” Aku mengangguk. Aku bertanya-tanya apakah mereka seperti aku? Menyangkal dan tidak mempercayai Pastor Xaverius sama sepertiku? Walaupun aku sudah membaca surat dari Vatikan tentang penugasannya dan beberapa bukti foto, masih saja rasanya aku ingin menyangkal.

“Tidak ada lagi yang ingin kamu tanyakan?” Ucapnya setelah aku terdiam hanya untuk merenungi apa yang ada dipikiranku.

Banyak. “Mmm… Aku nggak tahu.” Jawabku alih-alih berkata yang sebenarnya. Aku tidak yakin kalau aku mendengar jawaban darinya aku bisa langsung mempercayainya. Setitik akal sehatku berharap kalau ini hanyalah kebohongan. Tapi kalau bohong, bagaimana dengan surat itu? Surat palsu? Foto-foto tadi? Hasil editan? Astaga! Mungkin aku terlalu banyak menonton film.

“Gimana kalau kita makan dulu? Aku yakin kamu pasti lapar?”

Aku menoleh pada Pastor Xaverius menatapnya lekat-lekat. Senyumnya, sorot kedua matanya semuanya memancarkan kelembutan dan ketulusan. Palsu juga? Ah, aku juga tidak tahu.

Aku menghela nafas dan mengangguk. Sementara ini mungkin lebih baik aku mengamatinya terlebih dahulu.

1
🌺Ana╰(^3^)╯🌺
cerita ini benar-benar bisa menenangkan hatiku setelah hari yang berat.
Yue Sid
Gak sabar nunggu kelanjutannya thor, semoga cepat update ya 😊
Mochapeppermint: Thank you 😆
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!