Jangan pernah sesumbar apapun jika akhirnya akan menelan ludah sendiri. Dia yang kau benci mati-matian akhirnya harus kau perjuangkan hingga darah penghabisan.
Dan jangan pernah meremehkan seseorang jika akhirnya dia yang akan mengisi harimu di setiap waktu.
Seperti Langit.. dia pasti akan memberikan warna mengikuti Masa dan seperti Nada.. dia akan berdenting mengikuti kata hati.
.
.
Mengandung KONFLIK, di mohon SKIP jika tidak sanggup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NaraY, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
9. Masa berangsur tenang.
Malam hari Bang Dalu tiba di rumah sakit dan ikut menjenguk sahabatnya. Ia melihat Dinar tidur di ranjang pasien sedangkan Bang Ratanca duduk di kursi sembari memantau informasi dari ponselnya.
"Waduuuhh.. pasien apa nih??" Sapa Bang Dalu."
"Pasien tabrak lari." Jawab Bang Ratanca santai.
Bang Dalu memberikan salam khas pria lalu mendekapnya penuh haru. Tidak bisa di pungkiri perasaannya sebagai seorang kakak begitu tergugah.
"Bantu momong si bontot ya Bro..!!" Ucapnya kemudian menghapus titik air mata di tepi bingkai mata.
"Pasti." Jawab Bang Ratanca santai namun sorot matanya pun tak bisa menipu bahwa dirinya pun juga memendam rasa yang penuh haru.
Tepat saat itu, Bang Erlangga datang dan langsung menuju kamar rawat Bang Ratanca. Agaknya ia ingin mendengar sendiri dari mulut Bang Ratanca tentang kekisruhan yang terjadi hingga membuat Ayahnya sempat nyaris mendapatkan perawatan medis.
"Saya minta penjelasan, Bang..!!"
Bang Dalu sudah bereaksi tapi Bang Ratanca mencegahnya. "Duduk dulu dan jangan ribut, Dinar baru bisa tidur..!!" Ucap lirih Bang Ratanca.
Bang Erlangga pun duduk. Ia melirik Dinar yang tidur dalam posisi menantang, jika saja tidak tertutup selimut, mungkin kelakuannya tersebut sudah menjadi aib.
"Adikmu salah bicara dan membuat semua ini terjadi. Kalau masalah Langkit dan Nada, Ayah sudah meminta mereka untuk segera menikah. Kau tau sendiri Ayah tidak mentoleransi kata 'pacaran'." Kata Bang Dalu menjelaskan secara perlahan pada adiknya yang masih dalam masa pendidikan perwira.
"Saya tidak menghajar Abang, bukan karena saya masih pendidikan. Saya hanya menghormati keputusan adik saya yang memilih Abang." Ucap keras Bang Erlangga.
"Jaga bicaramu..!! Sebelum kau tau akar permasalahan nya, kau di larang keras menghakimi seseorang. Siapa yang mengajarimu berbicara sekasar itu tanpa tau masalahnya?????" Bentak Bang Pasa yang juga sudah datang di rumah sakit.
Suara keras itu membuat Dinar mengerjabkan mata.
"Uuusshhh.. balik tidur lagi, dek." Kata Bang Erlangga.
Ketiga Abang Dinar segera mengusap kaki, tangan dan kening Dinar sampai akhirnya si bontot kembali tertidur.
Tubuh Bang Ratanca yang sedang ngilu hanya bisa melirik ketiga Abang Dinar yang begitu posesif pada adiknya.
"Makanya kecilkan suaramu, b*doh..!!" Bentak lirih Bang Dalu.
"Erlang yang mulai duluan. Coba dia tidak begitu." Protes Bang Pasa.
"Maaf, aku pun kaget ada kejadian seperti ini. Jadi sebenarnya.. Dinar hamil atau tidak??" Bisik Bang Erlangga merendahkan nada suaranya.
"Tidak.."
"Nggak.." Jawab Bang Dalu.
"Iya." Jawab Bang Ratanca.
Ketiga Abang Dinar langsung berkacak pinggang menatap geram ke arah Bang Ratanca.
"Kau ini bagaimana? Dinar hamil atau tidak???" Tanya Bang Dalu akhirnya ikut terbawa perasaan.
"Hehehehe.. penasaran ya????" Bang Ratanca melebarkan tawanya sampai akhirnya Dinar benar-benar terduduk dan bangun dari tidurnya.
Dinar melihat Abangnya sudah berkumpul sambil menatap matanya. Tangisnya pun pecah seketika. "Kepala Dinar pusing, Dinar lapar, pengen muntah."
Ketiga Abang langsung cekatan. Mereka semua melirik Bang Ratanca dengan tatapan kesal mematikan. Bang Dalu memijat kepala Dinar, Bang Pasa segera mengambil baskom dan Bang Erlangga keluar dari kamar. Mungkin membeli makan untuk Dinar.
Bang Ratanca tak bisa berbuat apapun selain mengurut pangkal hidungnya.
"Jangan bilang kalian percaya kalau Dinar hamil." Ucapnya. "Lihat itu..!! AC nya menghadap ke wajah adikmu, aku sudah mematikan AC nya tapi Dinar marah. Kau tanyakan sendiri lah sama Dinar."
"Nggak." Jawab Dinar semakin menyudutkan posisi Bang Ratanca.
Bang Dalu membuang nafas kasar. Ia pun menyadari waktu pertemuan sahabatnya dengan Dinar tapi jujur rasa kagetnya tidak bisa mentoleransi logika nya yang tiba-tiba saja muncul ngawur.
"Terserah kau saja lah, mau hamil atau tidak yang penting ada bapaknya." Ucap gemas Bang Dalu tanpa bisa di sanggah lagi oleh Bang Pasa.
***
Malam sudah terlewat. Jam sudah menunjukan pukul dua dini hari. Hanya ada Bang Langkit di dalam kamarnya, itu pun sudah tertidur pulas di sofa panjang.
Mata Bang Ratanca hanya menatap langit-langit kamarnya. Perasaannya hanya di liputi rasa gelisah.
'Tidak apa-apa kalau sekarang kamu belum bisa mencintai saya, dek. Kelak saya akan membuatmu merasakan hal itu. Saya akan menutup pintu hatimu untuk Langkit.'
-_-_-_-_-
Pagi hari Bang Langkit menyuapi sahabatnya, sebenarnya hatinya tidak tega melihat Bang Ratanca sampai babak belur tapi semua permasalahan ini terjadi karena kemelut yang mereka buat sendiri.
"Bisakah kau ceritakan apa yang sebenarnya terjadi?? Aku mendengar banyak rumor di sekitar Batalyon. Ada yang bilang kau menghamili putri panglima, ada yang bilang kau mengajaknya main hingga larut malam......."
"Sudahlah, biarkan saja apa kata orang di luar sana. Kau fokus saja mengurus pengajuan nikahmu dengan Nada, bukankah Pak Navec sudah mengijinkan kamu melamar Nada." Kata Bang Ratanca.
"Iya, hari ini kami langsung proses pengajuan nikah."
"Tolong di percepat..!! Karena kejadian kemarin, aku baru boleh 'dekat' dengan Dinar setelah selesai pengajuan nikah kalian selesai." Ujar Bang Ratanca.
"Kalau seperti itu, kapan kalian bisa bertemu??" Tanya Bang Langkit.
"Boleh bertemu kapan saja, tapi berbatas waktu dan tidak boleh menginap di luar." Jawab Bang Ratanca.
"Iyalah. Wajar seorang Ayah bilang begitu. Lagi pula juga mau apa kalau ada acara menginap." Kata Bang Langkit pun menjawab logis.
Bang Ratanca mendorong piring sarapannya, agaknya selera makannya pun menjadi hilang.
"Habiskan Reng. Kapan kau mau sehat??? Obat saja kau sembunyikan di laci nakas." Gerutu Bang Langkit.
"Kenyang Nyu, kepalaku sakit."
"Kubelikan nasi Padang ya?? Atau nasi pepes ikan kesukaanmu??" Bujuk Bang Langkit.
Bang Ratanca menggeleng menolaknya. Ia kembali merebahkan badannya yang lemas. Nyatanya tubuhnya pun masih demam.
"Dinar bawa nasi Padang. Biar Dinar yang suapi." Kata Dinar yang pagi itu datang menjenguk Bang Ratanca.
:
Seperti di suapi ibunya, Bang Ratanca menurut dan bisa menghabiskan sebungkus nasi Padang tanpa banyak penolakan. Bahkan Bang Ratanca tidak berkutik saat Dinar memberinya obat.
"Om Langkit bisa berangkat kerja sekarang..!! Biar Dinar temani Om Ranca disini..!!"
"Kamu nggak kuliah? Ayo saya antar." Kata Bang Langkit.
"Terima kasih, Om. Dinar mau sama Om Ranca saja." Jawab Dinar.
Bang Ratanca tersenyum sekilas namun segera kembali pada mode kalemnya.
Bang Langkit tidak bisa memaksa, ia segera meninggalkan kamar rawat Bang Ratanca.
~
Setiap usai bertemu dengan Bang Langkit, Dinar selalu menangis. Bang Ratanca tau Dinar sudah berusaha untuk menahan diri agar tidak menangis tapi kenyataannya perasaannya sulit untuk di kendalikan.
Bang Ratanca menatap wajah Dinar dengan tidak tega. Ia mengarahkan wajah Dinar agar balik menatap wajahnya juga.
"Apakah di dunia ini hanya Langkit yang paling tampan? Apakah di dunia ini hanya dia laki-laki yang gagah dan hebat." Wajah Bang Ratanca semakin mendekati Dinar.
"Apa maksud Om Ranca?" Dinar bingung dengan pertanyaan itu. Lebih bingung lagi saat dirinya harus bersikap dan gugup untuk menempatkan diri di hadapan Bang Ratanca.
"Apa Om Ranca mu ini tidak cukup menarik perhatian mu, Dinar..!!!" Bibir Bang Ratanca nyaris menyentuh bibir Dinar namun tepat saat itu Pak Navec masuk dan memergokinya.
Bang Ratanca terkejut melihat sosok yang datang di hadapannya. Dinar pun menarik diri dan berdiri di balik punggung ayahnya.
Sorot mata tajam Pak Navec terus menatap mata Bang Ratanca. Beliau mengambil uang dari sakunya.
"Dinar, belikan Ayah es teh. Di depan supermarket seberang jalan..!!" Perintah nya pada Dinar namun tatap mata itu tetap menyoroti Letnan Ratanca.
"Ii_iya Ayah." Dinar pun menerima uang tersebut dan segera pergi meninggalkan kamar rawat Bang Ratanca.
.
.
.
.