Siang ini udara panas berembus terasa membakar di ruas jalan depan gerbang Universitas Siliwangi Tasikmalaya. Matahari meninggi mendekati kulminasi. Suara gaduh di sekeliling menderu. Pekikan bersahut-sahutan, riuh gemuruh. Derap langkah, dentuman marching band dan melodi-melodi bersahutan diiringi nyanyian-nyanyian semarak berpadu dengan suara mesin-mesin kendaraan.
Rudi salah satu laki-laki yang sudah tercatat sebagai mahasiswa Unsil selama hampir 7 tahun hadir tak jauh dari parade wisuda. Ia mengusap peluh dalam sebuah mobil. Cucuran keringat membasahi wajah pria berkaca mata berambut gondrong terikat ke belakang itu. Sudah setengah jam ia di tengah hiruk pikuk. Namun tidak seperti mahasiswa lain. Pria umur 28 tahun itu bukan salah satu wisudawan, tetapi di sana ia hanya seorang sopir angkot yang terjebak beberapa meter di belakang parade.
Rudi adalah sopir angkot. Mahasiswa yang bekerja sebagai sopir angkot....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andi Budiman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
9. Gadis Impian
Sejak ibunya menelepon Rudi gelisah sepanjang jalan. Pukul sepuluh Rudi berhenti depan gerbang Unversitas Siliwangi. Sejenak ia mengenang kembali peristiwa wisuda terakhir di ruas jalan itu ketika angkot Rudi terjebak selama berjam-jam tepat di tempat ia berhenti sekarang. Kala itu Rudi melihat di taman samping gerbang ada sebuah panggung pentas seni yang diisi para mahasiswa aktivis memeriahkan acara wisuda.
Saat itu berbagai macam pentas seni digelar. Musik band, pembacaan puisi, tari-tari kreasi, teater, hingga karawitan Sunda.
Selama pergelaran, seorang mahasiswi muncul menarik perhatian Rudi. Kala itu sang mahasiswi menjadi pembawa acara. Mahasiswi itu begitu terampil berkata-kata sekaligus merangkai humor-humor pencair suasana, namun tetap santun, anggun dan berwibawa. Ia berkerudung dalam tampilan resmi jas almamater.
Dalam beberapa kesempatan lain Rudi pun pernah melihat gadis itu di pinggir jalan, duduk depan kios foto copy atau di kursi taman depan mesjid kampus bersama teman-temannya.
Rudi tak tahu siapa perempuan itu, dari fakultas mana, jurusan apa dan tingkat berapa. Tapi karakter wajah, senyum dan gerak-geriknya begitu membekas dalam ingatan. Tampaknya gadis periang itu memiliki daya pikat sehingga dirinya mudah dikenal. Atau memang gadis itu memiliki kesan unik di benak Rudi.
Dalam pandangan Rudi apa saja yang terpancar dari gadis itu cenderung menarik perhatian. Kecantikan paras, gestur yang menawan, keceriaan dan semangatnya. Ia seolah menjadi pusat semesta dalam pergaulan kawan-kawannya. Ia seumpama bintang paling terang di antara bintang-bintang. Ia bagaikan bunga paling indah di antara sekumpulan bunga.
Maka di sudut mana Rudi melihat gadis itu, seolah membuat sudut itu cerah berwarna. Taman suram pun berubah jadi hamparan bunga. Demikian pula ruas jalan gelap jadi terang benderang karena kehadirannya. Begitu mencolok dan kontras keadaan gadis itu dari sekeliling tempat mana saja yang disinggahi.
Dalam beberapa kesempatan ada saat-saat di mana Rudi memimpikan perempuan seperti itu dalam hidupnya. Namun setiap kali ia berkhayal selalu ditepisnya. Rasanya tak patut jika melihat keadaan diri. Dirinya yang serba susah, serba tertinggal dan serba tak punya. Sementara mahasiswi yang kerap dilihatnya itu tampaknya bukan mahasiswi sembarang.
Gadis itu tampak begitu populer dan cerdas. Anggun, indah dan berwibawa. Mungkin tak akan ada tangan seperti tangan Rudi mampu menyentuhnya. Tak ada lidah seorang pria dengan kondisi seperti Rudi dapat sekedar bertegur sapa dengannya. Tak akan pernah ada lelaki seperti Rudi dapat berdekatan dengannya, berkomunikasi, berteman apalagi menjalin hubungan lebih dari sekedar teman. Rasanya sebatas bermimpi pun tak pantas dia impikan.
Perempuan seperti gadis itu mungkin hanya pantas untuk orang-orang kalangan atas, pria-pria cemerlang, para laki-laki berprestasi, berpangkat mentereng, bahkan para konglomerat muda. Pria seperti dirinya sama sekali tak akan memiliki kesempatan. Tak akan pernah bisa masuk daftar pilihan.
Hidup ini mungkin memang memiliki batas-batas tertentu. Batas imajiner tak tertembus. Nasib dan takdir tampaknya dapat memisahkan seseorang dari keinginan. Melempar seseorang ke jalannya sendiri. Sebuah jalan yang mungkin tak pernah diharapkan. Bahkan tak pernah terbayang sebelumnya. Tapi bukankah peristiwa kebalikan juga dapat terjadi? Ah, Rudi terlalu takut memikirkannya. Biarlah itu menjadi urusan Tuhan. Biarlah misteri tetap menjadi misteri.
Mungkin dalam mewujudkan keinginan ibunya bahwa Rudi diharap mendapat jodoh, Rudi tak harus memandang ke tempat yang terlalu jauh dan sulit digapai. Rudi tak perlu bermimpi yang tinggi-tinggi. Mungkin akan cukup bagi impian dirinya dan ibunya itu dengan memberitahu Jaelani. Minta diperkenalkan dengan sepupunya, atau seorang kawan perempuan yang mungkin dikenalnya. Atau meminta saran bapak kos, biar Rudi diberitahu kalau-kalau ada seorang gadis tetangga yang belum memiliki calon pendamping, barangkali gadis itu mau dengan pria seperti Rudi.
Bahkan Rudi sendiri tahu bahwa ada anak gadis ibu pemilik warung tak jauh dari kosannya, gadis itu pun masih sendiri, selain itu kelihatan begitu rajin membantu keperluan ibunya di warung.
Atau seorang perempuan penjual minuman dan makanan di sekitar pom bensin. Tampaknya perempuan itu giat bekerja. Mengapa tidak gadis itu saja? Mungkin perempuan penjual minuman itu mau menerimanya meskipun Rudi tak lulus kuliah.
Demikian kecamuk-kecamuk yang menghantam pikiran Rudi hari ini, bahkan sebenarnya sejak lama. Hanya saja hari ini terasa lebih menghentak.
Tapi kecamuk itu tetap menjadi kecamuk, belum juga melahirkan kesimpulan pasti. Harapan ibunya bahwa ia segera lulus kuliah dan mendapat jodoh masih terngiang-ngiang. Sejujurnya itu pun jadi harapan dirinya sendiri di balik situasi sulit ini, serta di umurnya yang telah 28 tahun ini.
Meski ia melihat keberadaan gadis-gadis lain, namun hingga hari ini Rudi masih suka menyisirkan pandang ke pinggir-pinggir jalan, terutama di sekitar kampus, kalau-kalau gadis mahasiswi itu tampak lagi. Atau ia cari-cari ke taman masjid, kios-kios foto copy siapa tahu ia bisa melihatnya lagi. Sesungguhnya perasaan Rudi seolah terenggut oleh gadis itu, terutama sifat periangnya, air mukanya yang diharap Rudi menjadi obat bagi segala kesedihan dan kesusahan.
Tapi akhir-akhir ini Rudi jarang melihat gadis itu, bahkan tidak sama sekali. Ada semacam perasaan rindu dalam hatinya ingin sekedar melihat, meski tak mungkin bertegur sapa. Rudi tahu itu tidak mungkin, sebab ia bukan siapa-siapa. Pria ini bukan mahasiswa gemilang, pria ini bukan kawan, bukan kolega, apalagi seorang pria bergelar mentereng. Pria ini hanya sopir angkot yang kerap memperhatikan si gadis dari kejauhan. Dan fakta ini pun, gadis itu tak akan tahu. Gadis itu tak pernah naik angkot Rudi. Alih-alih naik angkot Rudi, yang ada Rudi pernah melihat gadis itu dijemput dengan sebuah mobil mewah, hanya saja Rudi tak tahu mobil siapa.
Tak mungkin ada tegur sapa, apalagi ada pembicaraan di antara dia dan gadis itu. Rudi hanya ingin melihatnya, sekedar memastikan gadis itu ada dan tetap menjalani hari-hari seperti biasa. Tapi ia edarkan pandangan ke mana pun tak ada, di taman tak ada, di pelataran mesjid tak ada, di warung, di kios foto copy pun tak ada. Gadis itu tidak kelihatan hari ini, juga di hari-hari sebelumnya. Sudah beberapa hari, bahkan berminggu-minggu. Mungkin selama ini waktunya tidak pernah tepat, sementara Rudi melintas di ruas jalan depan Universitas Siliwangi tak pernah bisa berlama-lama.