Tiga tahun lamanya Amara menjalani pernikahannya dengan Alvaro. Selama itu juga Amara diam, saat semua orang mengatakan kalau dirinya adalah perempuan mandul. Amara menyimpan rasa sakitnya itu sendiri, ketika Ibu Mertua dan Kakak Iparnya menyebut dirinya mandul.
Amara tidak bisa memungkirinya, kalau dirinya pun ingin memiliki anak, namun Alvaro tidak menginginkan itu. Suaminya tak ingin anak darinya. Yang lebih mengejutkan ternyata selama ini suaminya masih terbelenggu dengan cinta di masa lalunya, yang sekarang hadir dan kehadirannya direstui Ibu Mertua dan Kakak Ipar Amara, untuk menjadi istri kedua Alvaro.
Sekarang Amara menyerah, lelah dengan sikap suaminya yang dingin, dan tidak peduli akan dirinya. Amara sadar, selama ini suaminnya tak mencintainnya. Haruskah Amara mempertahankan pernikahannya, saat tak ada cinta di dalam pernikahannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hany Honey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua Puluh Tujuh - Tetaplah Menjadi Dirimu Yang Dulu
Amara baru saja sampai rumahnya tepat pukul enam petang. Dia langsung masuk ke dalam rumahnya, karena dia sudah melihat mobil suaminya di depan. Sudah pasti suaminya itu sudah sampai rumah lebih dulu.
“Baru pulang? Dari mana saja kamu? Kenapa jam segini baru pulang?”
Amara berhenti melangkahkan kakinya. Ia terkejut dengan suara Suaminya, ternyata Suaminya sudah berada di sofa yang ada di ruang keluarga.
“Maaf, Mas. Aku terlambat pulang, aku gak tahu juga mas di sini, aku kira di kamar,” jawab Amara, lalu dengan cepat ia meraih tangan Alvaro dan menciumnya.
“Kamu belum jawab pertanyaanku, Amara!” ucap Alvaro dnegan menatap dingin pada Amara. Ia ingin tahu alasan istrinya kenapa sampai petang baru sampai rumah, bahkan Masjid sudah mengumandangkan Adzan.
“Jam kerjaku diubah, Mas. Aku sekarang pulang jam lima sore,” ucap Amara.
“Tidak usah bekerja lagi kalau begitu! Untuk apa sih? Buang-buang wkatumu saja! Kurang apa aku? Aku bisa jamin hidup kamu, Amara!” ucap Varo kesal, ditambah kekesalannya karena pil KB yang ia temukan kemarin.
“Aku kan sudah pernah bilang, aku ingin bekerja, dan mas mengizinkan! Sekarang malah suruh aku keluar?” ucap Amara dengan kesal.
“Kalau kerja membuatmu meninggalkan kewajiban kamu sebagai istri, lebih baik tidak usah bekerja!” ucap Varo dengan menatap tajam Amara.
“Kewajiban yang seperti apa yang mas maksud itu?” tannya Amara.
Amara bahkan tidak pernah menolah saat Vari meminta haknya, meminta melayani dirinya. Amara tidak pernah menolak sedikit pun meski badannya lelah. Lantas kewajiban apa lagi yang Varo maksud itu?
“Apa kamu tidak sadar? Setelah kamu sibuk kerja, kamu tidak pernah mengantar dan menyambut aku saat akan berangkat dan sepulang kerja? Bahkan kamu tidak pernah menyiapkan makanan untukku lagi?” protes Varo.
Amara yang mendengar itu pun hanya bisa tertawa ringkih, membuat Alvaro menatap aneh Amara.
“Hanya karena itu, Mas? Mas protes dan meminta aku keluar kerja?” ucap Amara.
“Ya, karena itu, Amara!”
Amara menatap sinis suaminya. Kenapa hanya seperti itu saja suaminya protes keras? Sedangkan Amara bekerja karena ingin melupakan semua kejadian menjengkelkan di rumah suaminya, juga karena sikap dingin suaminya itu.
“Apa mas tidak pernah berpikir bagaimana selama ini? Gak pernah mas mikir aku ini capek? Selama tiga tahun aku selalu berusaha menajdi istri yang baik untuk kamu, Mas! Aku selalu berusaha memberikan apa yang aku bisa untukmu? Tapi apa? Kamu tak pernah memandangku sedikit pun sebagai istrimu!” ucap Amara dengan tatapan sendu.
“Mas tidak pernah menghargaiu semua itu, bahkan mas selalu menutup mata, tak peduli hinaan demi hinaan yang aku terima selama ini, selama aku menjadi istrimu!” ucap Amara dengan memegangi dadanya yang terasa sesak.
“Tiga tahun, Mas! Tiga tahun aku melakukan semua itu. Aku tidak pernah mengelu akan sikap mu yang sangat acuh dan dingin padaku. Aku memaklumi semua itu. Aku gak pernah protes saat setelah aku melayanimu dan kamu pergi saja meninggalkanku, bak jalang yang habis kamu pakai untuk memuaskan nafsumu! Aku gak pernah protes sedikit pun akan semua itu! Sekarang aku kerja, aku bekerja untuk melupakan semua beban pikiranku, aku baru kerja sebulan lebih satu minggu, kamu sudah mengeluh akan semua itu?” ucap Amara dengan napas terengah-engah, karena amarahnya sudah di ujung tanduk.
“Bu—bukan begitu, Ara. Bukan maksudku begitu,” ucap Alvaro.
Ia pun sadar diri, akan sikap buruknya pada Amara selama ini. Sikapnya selama ini sudah sangat menyakiti Amara.
“Mas tahu, aku bahkan selalu berpikir aku ini hanya wanita pemuas nafsumu saja. Aku bagai jalan untuk kamu, Mas! Kamu hanya menyentuhku saat kamu ingin memuaskan hasratmu, dan setelah puas, kamu pergi begitu saja!” ucap Amara dengan memalingkan wajahnya, karena ia sudah tidak tahan dengan air matanya yang hampir jatuh. Perlahan Amara menyekanya.
“Jangan pernah katakan hal seperti itu, Amara! Kamu itu istriku!” ucap Alvaro.
Amara tersenyum ringkih. Semua terekam jelas di memori Amara. Alvaro memang selalu menggebu saat melakukan penyatuan dengannya, seolah-olah dia melakukannya dengan perempuan yang sangat dicintainya. Namun, setelahnya Alvaro berubah menjadi dingin lagi. Cuek, acuh tak acuh padanya. Amara juga sempat berpikir kalau suaminya itu memiliki dua kepribadian, akan tetapi mata Amara semakin terbuka lebar, selama ini dia hanya untuk pelampiasna semata, tak lebih dari itu.
Amara mengusap air matanya. Ia menatap Alvaro dengan senyumannya. Menatap laki-laki yang selama ini membuat dirinya terpesona, membuat dirinya merasa menjadi ratu saat diperlakukan lembut oleh suaminya. Padahal Alvaro tidak mencintainya.
“Mas, boleh aku minta sesuatu padamu?” pinta Amara.
“Katakan, kamu mau apa, Amara?” jawab Alvaro
“Aku minta, jangan berubah, Mas. Tetaplah menjadi dirimu sendiri, jangan memaksakan dirimu. Tetaplah menjadi Alvaro yang dingin, yang tidak memedulikan aku sedikit pun. Tetap menjadi seperti itu, Mas. Agar mudah buatku, untuk melepaskan dirimu,” ucap Amara lirih.
“Amara, apa tidak ada lagi kesempatan bagiku untuk memperbaikinya?” ucap Alvaro dengan penuh penyesalan.
“Cukup, Mas! Aku lelah dengan semuanya. Aku akan siapkan makan malam untukmu. Aku tidak mau dicap sebagai istri yang mengabaikan tanggung jawabku sebagai istrimu,” ucap Amara. Lalu ia langsung meninggalkan Alvaro ke kamarnya, membersihkan diri, mengganti pakaian, dan bersiap untuk membuatkan makan malam untuk Alvaro.
Amara sudah selesai memasak untuk makan malam. Ia memasak tiga menu, sekaligus, dengan dibantu Bi Asih. Amara mengabaikan badan nya yang sangat lelah, tidak peduli seberapa lelahnnya, karena ini sudah menjadi tanggung jawabnnya sebagai istri dan wanita karier.
“Bi, mulai besok sarapan dan makan malam, aku yang masak, ya?” ucap Amara dengan menata makanan di piring saji.
“Ibu kan kerja? Nanti ibu kecapekan? Biar saya saja yang mengurus masalah dapur, Bu,” ucap Bi Asih.
“Gak apa-apa, Bi. Bibi sekalian ambil saja, ini masakan banyak sekali, ambil untuk yang lain juga, Bu,” ucap Amara, saat menata makanan, karena memang Amara memasak cukup banyak.
“Iya, Bu,” ucap Asih.
“Mbak Ratna, panggilin bapak, ya? Bilang makan malam sudah siap,” perintah Amara pada asisten yang lain, yang bernama Ratna.
^^^
Setelah makan malam, Amara ke kamarnya. Diikuti oleh Alvaro juga. Amara melihat baju-baju di box yang belum tertata, setelah selesai di setrika oleh asistennya. Ia segera menata baju-baju itu.
“Amara, aku besok ada tugas luar kota, selama lima hari,” ucap Varo.
“Baiklah, akan aku siapkan baju gantu untuk mas.” Amara langsung mengambil koper dan menata pakaian Alvaro untuk perjalanan tugas luar kota selama lima hari.
“Aku ingin kamu ikut, Ra,” pinta Alvaro.
“Aku kerja, Mas. Masa aku harus izin lima hari?” jawab Amara.
“Yakin kamu gak mau ikut?” tanya Alvaro memastikan.
“Enggak, Mas,” jawab Amara.
“Ya sudah, sini biar aku saja yang menata. Kamu sudah lelah, istirahatlah.” Alvaro mengambil alih kopernya, Amara langsung merebahkan tubuhnya di tempat tidur, ia memang sudah sangat lelah sekali.
Baru saja merbahkan tubuhnya, Amara sudah terlihat lelap tidurnya. Selesai dengan kopernya, Alvaro langsung mendekati Amara. Ia menaikkan selimut di tubuh Amara, lalu mengecup kening Amara.
“Maafkan aku, Ra,” bisiknya.