(Siapkan kanebo kering untuk menyeka air mata juga mental yang kuat untuk marah-marah!)
Sheila, seorang gadis culun harus rela dinikahi secara diam-diam oleh seorang dokter yang merupakan tunangan mendiang kakaknya.
Penampilannya yang culun dan kampungan membuatnya mendapat pembullyan dari orang-orang di sekitarnya, sehingga menimbulkan kebencian di hatinya.
Hingga suatu hari, Sheila si gadis culun kembali untuk membalas orang-orang yang telah menyakitinya di masa lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kolom langit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menyesal
Sheila baru tiba di sebuah rumah mewah yang baginya seperti neraka. Beruntung pagi itu, baik ibu maupun Audry belum bangun, sehingga Sheila dapat segera masuk ke kamarnya tanpa harus bertemu dengan manusia-manusia jahat itu.
Gadis itu kemudian berbaring di tempat tidur. Menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut dan kembali menangisi apa yang terjadi padanya semalam.
Bayang-bayang Marchel berlarian di benaknya. Tentang hangatnya pelukan Marchel di malam hari, manisnya ciuman dari bibir lelaki itu, hingga perhatiannya selama beberapa bulan belakangan yang membuat Sheila membuka hati dan akhirnya tumbuh rasa cinta untuk suaminya itu. Namun, ternyata semuanya palsu. Marchel melakukannya hanya sebagai pelarian untuk bisa melupakan Shanum.
Rasa sakit di hati Sheila tak dapat diukur lagi. Rasanya ingin pergi jauh, agar siapapun tidak bisa menyakitinya lagi. Sudah cukup penderitaan yang selama ini ditelannya sendirian.
Berada dilingkungan yang sama sekali tidak bersahabat dengannya. Ingin rasanya Sheila menghukum orang-orang yang telah membuat hidupnya bagai di neraka. Namun, siapa lah dirinya, yang hanya gadis culun dan lemah.
Kenapa harus aku yang mengalami semua ini. Ayah, ibu, kakak... Semuanya pergi meninggalkanku. Dan sekarang, Kak Marchel...
***
Di tempat lain, Marchel sedang merenung. Memikirkan seorang gadis asing yang semalam menghabiskan waktu bersamanya. Rasa bersalah membuatnya tidak punya keberanian untuk pulang dan bersitatap dengan istri. Merasa telah berkhianat, sehingga memilih pergi ke rumah sahabatnya, Dokter Willy.
Lamunannya pun buyar manakala tepukan mendarat di bahu. Willy masih sempoyongan, akibat sisa mabuk semalam.
"Kepalaku rasanya masih sangat berat. Aku sangat menyesal. Semalam kenapa kita harus ke sana?" tanya Willy seraya memijat kepalanya sendiri.
"Entahlah. Aku juga sangat menyesal. Padahal sebelumnya kita tidak pernah minum-minum. Bagaimana dengan Wira?"
"Entahlah! Aku tidak tahu lagi siapa yang mengantarnya pulang. Dia memang brengsek, bisa-bisanya mengajak kita mabuk-mabukan," gerutu Willy.
Pria itu membaringkan tubuhnya di sofa panjang, beruntung hari itu akhir pekan, sehingga mereka dapat meliburkan diri.
"Wil, apa kau tahu siapa gadis yang bersamaku semalam?"
"Gadis? Gadis apa?" Willy meneliti curiga pada sahabatnya itu, membuat Marchel semakin frustrasi. "Jangan bilang semalam kau menghabiskan waktumu dengan seorang gadis penghibur. Aku saja tidak tahu siapa yang mengantarku pulang semalam."
"Aku sudah melakukan dosa besar. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa melakukannya."
Willy yang terkejut langsung bangkit dari posisi berbaringnya, meneliti Marchel dari ujung kaki ke ujung kepala. "Apa kau..."
Walaupun pertanyaan Willy bernada ambigu, namun Marchel mengerti betul apa inti dari pertanyaan temannya itu. Laki-laki itu pun menjawab dengan anggukan, yang akhirnya membuat Willy bagaikan terkena serangan jantung.
"Astaga. Kau benar-benar keterlaluan. Kau punya istri tapi melakukan hubungan dengan wanita lain? Apa jangan-jangan kau melepas perjakamu dengan seorang wanita penghibur?"
Marchel menundukkan kepalanya, entah harus berbuat apa. Merasa bersalah pada gadis yang telah dia rusak masa depannya itu. "Aku tidak tahu, Wil. Aku rasa dia bukan gadis seperti itu. Dia masih perawan."
"Hmm... bagaimana kau tahu dia perawan atau tidak? Kau kan mabuk semalam."
"Walaupun mabuk tapi aku masih bisa merasakannya. Lagi pula dia tidak mengambil apapun dariku. Kalau dia gadis penghibur, dia sudah mengambil sesuatu dariku, kan?"
Willy masih terlihat syok dengan pengakuan Marchel. Setahunya sahabatnya itu bukan laki-laki Brengsek yang bisa tidur dengan sembarang wanita. Bahkan Marchel tidak pernah tertarik sedikit pun dengan dokter-dokter muda dan cantik yang mendekatinya.
"Tapi bagaimana kau bisa menghabiskan malam dengannya?"
"Aku tidak tahu. Saat terbangun aku sudah di penginapan dalam keadaan tidak memakai pakaian. Aku hanya tahu dia masih muda dan sangat cantik." Marchel menghela napas panjang, menyandarkan kepalanya di sofa.
"Kau sudah bertanya pada petugas yang ada di klub?" tanya Willy diikuti anggukan oleh Marchel. Bagaimana dengan CCTV ? Kau sudah periksa CCTV klub dan penginapan itu?"
Sekali lagi Marchel mengangguk, "Ya, aku sudah melihat rekaman CCTV nya. Tapi aku sama sekali tidak mengenal gadis itu. Petugas di klub juga tidak ada yang mengenalnya. Sekarang aku harus bagaimana? Aku akan merasa bersalah pada Sheila. Aku merasa jahat padanya."
"Lebih baik kau rahasiakan ini darinya. Kasihan kalau dia tahu. Lagi pula kau dan gadis itu tidak saling kenal." Willy kembali merebahkan tubuhnya di sofa, setelah keterkejutannya sedikit berkurang.
"Tapi aku sudah merusaknya. Bagaimana aku bisa melupakannya begitu saja?" Marchel semakin merasa bersalah. Menyesal telah melampiaskan sakit hatinya dengan mabuk-mabukan. Yang bukan membuatnya melupakan, justru malah menambah masalahnya.
Marchel bisa saja melupakan dan menganggap tidak terjadi apapun. Namun, ia bukanlah seorang laki-laki yang tidak bertanggung jawab. Memikirkannya saja membuatnya merasa marah pada dirinya sendiri.
Apa yang harus ku lakukan. Bagaimana masa depan gadis itu. Dan bagaimana dengan Sheila. Dia akan kecewa kalau tahu apa yang sudah ku lakukan. Dan bagaimana kalau gadis itu sampai hamil? Tidak! Semoga tidak terjadi apa-apa.
***
Bersambung.