Tiara, seorang gadis muda berusia 22 tahun, anak pertama dari lima bersaudara. Ia dibesarkan di keluarga yang hidup serba kekurangan, dimana ayahnya bekerja sebagai tukang parkir di sebuah minimarket, dan ibunya sebagai buruh cuci pakaian.
Sebagai anak sulung, Tiara merasa bertanggung jawab untuk membantu keluarganya. Berbekal info yang ia dapat dari salah seorang tetangga bernama pa samsul seorang satpam yang bekerja di club malam , tiara akhirnya mencoba mencari penghasilan di tempat tersebut . Akhirnya tiara diterima kerja sebagai pemandu karaoke di klub malam teraebut . Setiap malam, ia bernyanyi untuk menghibur tamu-tamu yang datang, namun jauh di lubuk hatinya, Tiara memiliki impian besar untuk menjadi seorang penyanyi terkenal yang bisa membanggakan keluarga dan keluar dari lingkaran kemiskinan.
Akankah Tiara mampu menggapai impiannya menjadi penyanyi terkenal ? Mampukah ia membuktikan bahwa mimpi-mimpi besar bisa lahir dari tempat yang paling sederhana ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Titik.tiga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 11 : keputusan dan benih cinta
Pagi itu, sinar mentari menerobos lembut melalui jendela rumah Tiara. Suasana terasa tenang ketika Tiara dan Putri dengan cekatan membantu mencuci pakaian milik para tetangga. Sesekali mereka bercanda kecil, mencoba menutupi kelelahan yang dirasakan. Setelah hari-hari penuh kesedihan dan kekecewaan, pagi itu membawa sedikit ketenangan dalam hati mereka. Senyum tipis menghiasi wajah Tiara, meskipun masih ada bayangan peristiwa kelam yang belum sepenuhnya hilang.
Saat siang menjelang, tiba-tiba telepon Tiara berbunyi. Nomor manajer dari klub karaoke tempatnya dulu bekerja muncul di layar. Tiara menarik napas dalam-dalam, tahu bahwa ini akan menjadi percakapan yang tidak mudah.
"Tiara, kamu harus kembali bekerja. Kita tidak punya cukup orang, dan kamu masih punya tanggung jawab di sini," suara manajernya terdengar tegas di seberang telepon.
Namun, dengan keberanian yang baru ia temukan, Tiara menjawab dengan nada tenang tapi penuh ketegasan, "Saya minta maaf, Pak. Tapi saya sudah memutuskan untuk resign. Saya tidak akan kembali."
Terdengar hening sejenak di telepon sebelum manajer kembali bersuara, kali ini dengan nada marah. "Kamu tahu apa yang terjadi kalau kamu berhenti begitu saja, kan? Kamu bisa saya masukkan dalam daftar hitam, dan kamu tidak akan bisa kerja di mana-mana lagi!"
Ancaman itu tidak menggoyahkan tekad Tiara. Dengan tenang namun tegas, dia menambahkan, "Lakukan apa yang Anda mau, Pak. Saya sudah membuat keputusan."
Putri yang ada di samping Tiara, mendengarkan percakapan itu, juga memutuskan hal yang sama. "Kalau Tiara resign, saya juga keluar. Kami sudah cukup dengan pekerjaan ini."
Marah karena kehilangan dua karyawan sekaligus, manajer berteriak melalui telepon, "Kalian akan menyesal! Dunia ini keras, dan kalian tidak akan bertahan tanpa saya!"
Namun, ancaman itu tidak mempan. Tiara menutup telepon dengan hati yang tegas. Ia merasa semangat baru membara di dalam dirinya. Tidak ada lagi rasa takut yang menghantuinya. Putri tersenyum lega di sampingnya, menyadari bahwa mereka berdua telah mengambil langkah besar untuk membebaskan diri dari hidup yang penuh kepalsuan.
Malamnya, di kamar Tiara, suasana kembali tenang. Tiara dan Putri duduk berdua, berbagi cerita tentang perasaan mereka setelah resign. Meski berat, keputusan itu membuat mereka merasa lebih lega, dan perlahan-lahan semangat baru mulai tumbuh dalam diri mereka.
Di tengah perbincangan mereka, Raka masuk ke kamar, membawa selimut di tangannya. "Boleh aku tidur di sini lagi?" tanya Raka dengan suara lembut.
Tiara tersenyum, lalu mengangguk. Raka bergabung di samping mereka, dan malam itu, kehangatan kembali menyelimuti kamar Tiara. Meski banyak cobaan yang telah mereka lalui, ada satu hal yang tetap: kebersamaan mereka. Bersama, mereka tahu bahwa apa pun yang terjadi, mereka akan terus berjuang.
Singkat cerita
Malam semakin larut, keheningan menyelimuti kamar Tiara. Tiara, Putri, dan Raka tertidur pulas setelah hari yang melelahkan. Namun, tiba-tiba Putri merasa ada desakan yang tak tertahankan. Ia tersadar, merasa kebelet kencing. Dengan mata setengah terpejam dan langkah pelan, ia berjalan keluar dari kamar menuju kamar mandi.
Putri tak menyangka, beberapa menit setelahnya, Raka juga terbangun dari tidurnya. Rasa kebelet yang sama membuatnya bergegas keluar. Dengan mata masih berat karena kantuk, ia berjalan tanpa banyak berpikir, menuju arah yang sama.
Di depan pintu kamar mandi, keduanya bertemu. Putri yang baru saja selesai, membuka pintu dengan santai, namun langkahnya terhenti begitu ia berhadapan dengan Raka. Jarak mereka begitu dekat, hampir tidak ada ruang di antara mereka. Raka yang tidak sepenuhnya terjaga, tiba-tiba terdiam saat matanya bertemu dengan mata Putri.
Mereka hanya saling menatap. Putri merasa jantungnya berdegup lebih kencang dari biasanya. Wajahnya perlahan memerah. Ada kehangatan yang merambat di dalam dirinya, campuran antara rasa malu dan sesuatu yang tak ia pahami. Raka juga terlihat kaku, masih kebingungan antara rasa kantuk dan kesadarannya yang mulai pulih.
Putri cepat-cepat menunduk, mencoba mengalihkan pandangannya. Namun, rasa gugup tak kunjung hilang. "M-maaf," ucapnya lirih, suaranya sedikit gemetar.
Raka hanya mengangguk pelan, bingung harus berkata apa. Sementara itu, Putri dengan cepat berbalik dan berjalan kembali ke kamar. Langkahnya terasa kaku, dan ia tak bisa menghilangkan rasa canggung yang tiba-tiba muncul. Di dalam kamarnya, Putri berbaring di samping Tiara, tetapi perasaannya bergejolak. Ia mulai merasakan sesuatu yang berbeda terhadap Raka.
Begitu pintu kamar mandi tertutup di belakang Raka, ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Pertemuan singkat itu meninggalkan perasaan aneh yang mengganggu pikirannya. Meski hanya sesaat, tatapan Putri tadi membuat sesuatu bergetar di dalam hatinya. Tanpa sadar, benih-benih rasa mulai tumbuh, meski samar, dalam kebingungan dan canggung yang belum ia pahami.