Pernikahan Raina dan Riko menjadi kacau karena kehadiran mantan kekasih Raina. Terlebih lagi, Riko yang sangat pencemburu membuat Raina tidak nyaman dan goyah. Riko melakukan apapun karena tidak ingin kehilangan istrinya. Namun, rasa cemburu yang berlebihan itu perlahan-lahan membawa bencana. Dari kehidupan yang serba ada menjadi tidak punya apa-apa. Ketakutan Riko terhadap banyak hal membuat kehidupannya menjadi konyol. Begitu pun dengan istrinya Raina, Ia mulai mempertimbangkan kelanjutan pernikahan mereka. Masa depan yang diinginkan Raina menjadi berubah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon She Amoy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mitos
Entah bawaan bayi atau bukan. Selama hamil, aku tidak menyukai Alka. Ah, bukan hanya Alka saja yang tidak kusukai. Aku juga sering tersinggung dengan ucapan Eyang yang sering membanding-bandingkan aku dengan Ria.
“Jangan mandi air dingin, nanti kemasukan setan. Ria juga dulu waktu hamil, selalu mandi air hangat!” begitu Eyang Putri menegurku.
“Ini nih, simpan di tasmu, atau kalungkan. Ini silet sama gunting sudah dibungkus. Simpan ya, bawa ke mana-mana kalau kamu pergi Va, supaya setan enggak ganggu bayi yang ada di perutmu.”
Aku yang tidak percaya dengan hal-hal yang berbau mistis, tentu merasa jengah dengan itu semua. Jarang kujawab perkataan Eyang, aku terlalu sibuk merasakan kehamilan yang cukup melelahkan.
Begitulah Eyang setiap hari. Dari mulai menu makan, cara memasak, bersih-bersih, semuanya selalu dibandingkan dengan Ria. Eyang akan mengulang semua yang kukerjakan.
Semestinya aku bersyukur karena Eyang dan Ria sudah sempurna mengerjakan semuanya. Meskipun ada pembantu yang datang setiap hari, pekerjaan di rumah ini tetap tiada henti.
"Tadi siang kamu dari mana?" Riko bertanya dengan intonasi penuh kecurigaan. Mirip seorang jaksa yang mengintrogasi terdakwa.
Aku belum menoleh, kubuka gorden berwarna ungu tua dan jendela kamar yang cukup lebar. Semakin hari, panasnya semakin luar biasa. Di rumah ini tidak ada pendingin udara. Mereka semua terlalu suka dengan kipas angin. Terkadang aku heran, keluarga yang terbilang mampu ini mengapa tidak memasang AC.
"Iya, Mas. Tadi beli perlengkapan bayi. Yangti cerita ya?"
"Sendiri? Kok lama? Abis telepon siapa?" Sepertinya Riko sudah mengecek ponselku. Dia memang berbakat jadi detektif.
"Gak ada. Cuma chat sama Intan. Tadi di toko baju memang banyak orang, aku juga keasyikan milih-milih baju bayi." Sebisa mungkin aku menjawab dengan tenang. Meskipun pikiranku tak berhenti membayangkan Krisna. Seperti apa dia sekarang, bagaimana peluang kesembuhannya, dan masih banyak lagi yang ingin kuketahui tentang Krisna. Apakah ini selingkuh? Entahlah.
Persiapan kelahiran sudah hampir tuntas. Riko memilih rumah sakit swasta dengan kamar kelas VIP. "Takut teman-temanku banyak yang datang, nggak enak kalau kamarnya kecil," begitu ucap Riko. Dan tentu saja, semua biaya persalinan dan berbagai macam keperluan itu berasal dari orangtuanya.
Besok, adalah hari yang dinantikan semua orang. Jadwal operasi caesar sudah ditentukan oleh dokter. Sejujurnya, aku ingin melahirkan secara normal, tetapi Eyang Putri melarang. "Nggak mau aku, nanti dengar Raina jerit-jerit kesakitan," ujar Eyang waktu itu.
Sementara itu, Ria sibuk merapikan box bayi, baju-baju, dan segala perlengkapan yang sebenarnya belum terlalu dibutuhkan. Kalau dihitung-hitung, biaya rumah sakit dan segala macam perlengkapan ini, bisa untuk menutupi sebagian kecil utang Riko.
Persiapan menyambut kehadiran bayi ini sangat berbeda dengan Aksa. Semua orang diminta untuk berkumpul. Ibu sudah menginap di sini sejak seminggu yang lalu. Untunglah Ibu yang bisa menemani Aksa. Bagaimana pun, Aksa belum bisa dekat dengan keluarga Riko. Riko sendiri, kuperhatikan sikapnya mulai berubah terhadap Aksa. Jarang sekali ia memanjakan Aksa seperti dulu saat kami belum menikah.
--------------------------
Hari yang dinantikan telah tiba. Aku memasuki ruangan operasi setelah semua anggota keluarga mendoakanku. Tidak lama kemudian, lahirlah seorang putra yang tampan. Bayi seberat tiga kilogram itu memiliki wajah yang bulat. Matanya kecil dan bibirnya besar. Untuk sementara waktu, lenyap sudah segala rasa kekecewaanku terhadap Riko. Kebahagiaan yang hadir karena anak kami yang lahir, mengalahkan segala permasalahan yang ada.
Bayi itu kami aku beri nama Arkana Subagyo Darmawan. Menyandang nama belakang ayahnya, Riko Subagyo. Sedangkan 'Darmawan' adalah nama yang kuusulkan. Aku ingin anak ini memiliki sifat dermawan. Semoga dengan kelahiran bayi ini, ada perubahan dalam sikap Riko. Semoga Riko menjadi lebih dewasa dan bijaksana.
Hari-hari kami menjadi sibuk. Tidak, bukan aku yang sibuk, tapi mereka. Setiap pagi, pembantu di rumah eyang diberikan pekerjaan ekstra. Membuat makanan khusus untuk ibu menyusui. Dimulai dengan bubur kacang hijau, sayur daun papaya dan nasi, ikan salmon, dan papaya satu piring. Pukul tujuh pagi, aku harus menyantap itu semua.
Sekitar pukul sepuluh, pembantu akan naik lagi ke atas membawa sepiring roti atau kue basah lainnya. Kemudian, pukul satu siang, aku juga disuguhkan nasi dan lauk pauk. Terakhir, makan malam, makanan lengkap ditambah segelas susu.
Rasanya ingin muntah. Ya, sebab semua makanan itu harus habis. Jika tidak, Eyang Putri akan mengomel dan membandingkanku dengan Ria.
“Dulu juga Ria makanannya seperti itu, jangan takut gemuk, yang penting anak sehat!”
“Kasihan bayinya kalau asinya sedikit. Mau nggak mau, ibu harus makan banyak. Nanti asinya encer loh!”
“Ria tiap hari dikasih susu segelas dicampur gula. Biar banyak kalori. Makanya anaknya gemuk kan!”
Itulah beberapa ocehan Eyang. Aku hanya diam dan mencoba menyuapkan kembali makanan yang telah disajikan.
Hari-hariku terasa membosankan. Setiap, bayi itu bangun, Ria atau Eyang Putri akan langsung masuk ke kamar tidur tanpa mengetuk pintu. Dengan sigap, mereka mengambil bayi itu ke luar untuk dijemur lalu dimandikan. Aku hanya menunggu waktu ketika bayi itu lapar dan ingin menyusui. Setiap malam, jika bayi menangis karena rewel, Ria dan Eyang Putri bergegas ke atas untuk menggendongnya sampai tertidur kembali.
Tak ada peran istri untukku di rumah itu. Keperluan Riko, semuanya sudah diatur. Kopi di pagi hari, makan siang yang diantar ke Ruko, dan makan malam yang lengkap di rumah.
“Enggak apa-apa dong Sayang, kan semuanya demi kebaikan kamu. Nanti kalau kamu sakit gimana? Kasian loh bayinya, nggak usah capek-capek masak atau ngurus bayi. Kamu, fokus susuin bayimu aja ya!” Begitu Riko berucap.
Tak jarang Aksa mendengar percakapan kami. Anak yang hampir tujuh tahun itu, mungkin melihat betapa besar perhatian ayah tirinya untuk Arka. Sekali waktu aku pernah bertanya “Aksa, kamu betah di sini?”
“Aksa nggak apa-apa kok Mih. Kalau Papih Riko sibuk atau Mamih sibuk sama dedek bayi, Aksa nggak apa-apa. Yang penting Aksa deket sama Mamih.”
Ada genang yang akan tumpah dari mata Aksa. Dia merasakan, betapa ayah tirinya sudah berubah. Hampir setiap hari, ada saja cara Riko yang membuat aku dan Aksa kaget.
“Aksa … Aksa …buka pintu garasi!”
“Sa … Aksa …. ambilkan handuk!”
“Aksa …. ambilkan minum!”
Riko sering menyuruh Aksa dengan berteriak dan membentak. Bagi kami, teriakan itu seringkali mengganggu perasaan. Bagi kami, bentakkan itu tidak biasa terjadi. Bagaimanapun, Aksa tidak pernah diperlakukan seperti itu. Aku dan ibu mendidiknya dengan cara yang halus tapi tegas. Aku dan ibu tidak pernah sekalipun membentak Aksa. apalagi Aksa masih kecil, masih butuh kelemahlembutan dari orangtuanya.
Setiap aku protes dengan sikap Riko terhadap Aksa, ia selalu menjawab bahwa itu semua demi kebaikan Aksa. Ia tidak mau kalau anak-anaknya menjadi lembek atau tidak tahan banting.
Lantas, seperti apa Riko mendidik Alka? Anak dari mantan pacarnya itu?
Alka bagaikan putra raja. Semua yang ia inginkan selalu dituruti. Jika Alka makan sedikit, Eyang Putri akan panik dan sibuk membelikan makanan kesukaan Alka yang lain. Jika Alka bosan di rumah, semua keluarga akan bersiap pergi membawa Alka ke tempat wisata atau mall terdekat.
Terkadang aku bingung, anak haram diperlakukan seistimewa itu. Ah sudahlah, tak ada yang namanya anak haram. Semua anak tidak berdosa. Hanya ayah dan ibunya yang durhaka.
Bagiku, Aksa adalah anak pertama yang tidak mendapatkan kasih sayang secara utuh. Sejak lahir, Aksa dipaksa hidup terombang-ambing karena keadaan. Pindah rumah, titip sana titip sini, sudah menjadi rutinitas yang dialami Aksa. Berjauhan dengan ibu kandungnya bukanlah hal yang aneh. Ibunya yang sibuk mencari nafkah, dan ayahnya yang pergi begitu saja, membuat Aksa diasuh oleh nenek atau budenya.
Lima tahun aku dan Aksa menghadapi ketidakjelasan. Betapa sabar dan luar biasa anak itu. Setiap hari sabtu, ia selalu menunggu di depan pintu. Menunggu ibunya pulang tanpa penjelasan.
Aku memang tidak pernah menjelaskan apa-apa soal ayah kandung Aksa. Di mata dia, ayah kandungnya sudah tidak ada. Ia pun tidak pernah bertanya, ke mana ayahnya pergi. Yang ia tahu saat ini, Riko adalah suami dari ibunya yang kesepian. Ibunya yang lelah bekerja siang dan malam.
Sejak Aksa lahir, aku tidak pernah membiarkannya kekurangan. Segala fasilitas kusediakan dan kuberikan yang tebaik. Mulai dari susu, makanan, vitamin, dokter, dan fasilitas perawatan rumah sakit. Kebetulan aku memiliki asurasi yang baik dari perusahaan tempat aku bekerja. Asuransi untukku dan Aksa di seluruh rumah sakit swasta dengan limit tanpa batas. Namun, setelah berhenti bekerja, aku sudah tidak memilikinya lagi. Setelah menikah dengan Riko, kami tidak punya asuransi. Jangankan asuransi swasta, membayar BPJS pun ia tidak mau. Riko bilang tidak penting, kalau sakit tinggal bayar.
"Mas, bangun Mas, Arkana demam!”