Ara adalah seorang personal asisten Garvi, hubungan mereka cukup unik. Terkadang terlihat layaknya kawan sendiri tapi tak jarang bersikap cukup bossy hingga membuat Ara lelah sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lin_iin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
empat
💙💙💙💙
Garvi secara reflek langsung membuka kedua matanya, saat mendengar suara berisik dari mesin blender. Masih dengan kedua mata yang sedikit sulit terbuka, ia turun dari ranjang dan berjalan keluar kamar menuju dapur.
"Saya pikir kamu belum sampai Jakarta."
Garvi kemudian berjalan mendekat ke arah Ara yang kini sedang menuang jus tomat ke dalam gelas.
"Kebetulan saya belum siap kehilangan pekerjaan, Pak. Jadi begitu kelar acara saya langsung terbang ke Jakarta. Bapak kan rewel banget kalau enggak ada saya."
Saat gelas itu sudah terisi penuh, Ara langsung menyerahkan gelas itu pada Garvi. Pria itu tetap menerimanya meski sambil menggerutu.
"Zahra, saya bahkan belum sikat gigi."
Cepat-cepat Ara menarik gelas itu kembali dan meletakkannya di atas meja. Dengan gerakan gesit ia langsung mencari gelas bersih dan menuangkan air mineral dari botol yang ia ambil dari kulkas. Bosnya ini tim air dingin garis keras. Pria itu akan sulit minum air putih kalau tidak dalam kondisi dingin.
Ara baru kembali menyerahkan gelas berisi jus setelah Garvi selesai minum air putih.
"Kalau saya perhatikan dari ekspresi dan nada bicara kamu, sepertinya kalian sudah berbaikan?" tebak Garvi seraya menyerahkan gelas bekasnya.
Ara menerima gelas kotor itu sambil tersenyum dan mengangguk cepat. Ia kemudian berjalan membelakangi sang atasan untuk mencuci gelas.
"Ketebak banget ya, Pak?"
Garvi mengangguk cepat. "Kalau mau cerita nanti, saya mau mandi dulu."
Ara mengangguk paham dan mempersilahkan sang atasan untuk mandi, sedangkan dirinya langsung bergerak gesit membereskan beberapa perabot yang baru saja ia gunakan.
Selesai dengan mencuci perabot, awalnya Ara berencana untuk beristirahat sejenak, tapi ia tidak dapat melakukannya karena tak lama setelahnya Garvi keluar sambil mengancingkan lengan kemejanya.
Dengan sedikit berat hati Ara kemudian berdiri, berniat masuk ke dalam kamar Garvi, tapi dihentikan dengan suara pria itu.
"Mau ke mana?" tanya Garvi.
Ara kemudian menunjuk ke arah kamar pria itu. "Ambil dasi, Pak. Kenapa?"
"Oh," respon pria itu lalu manggut-manggut paham.
Ara sedikit terkekeh saat kembali sambil membawa dasi. "Emang kirain mau ngapain, Pak?"
Garvi hanya merespon dengan mengangkat kedua bahunya secara bersamaan. Ara merespon dengan menaikkan sebelah alisnya, lalu geleng-geleng kepala dan mulai memakaikan dasi pada pria itu.
"Zahra, nanti kamu bilang sama Ega, ya, supaya kosongin jadwal dia malam ini."
"Malam ini banget, Pak?"
Garvi mengangguk cepat. "Iya, malam ini masa malam tahun baru nanti. Kan saya mintanya malam ini."
"Bapak bisa nggak sih, jangan hobinya ngajak bercanda terus?"
"Kamu minta saya seriusin? Terus nanti Arin mau kamu kemanain?"
"Bapak mah, malah bercanda beneran."
Seketika Garvi langsung terkekeh. "Lah, gimana sih? Tadi saya serius dibilang bercanda, giliran beneran bercanda diprotes juga." Ia mendengus tak lama setelahnya, "dasar perempuan."
Ara sedikit merengut. "Emang Bapak ada keperluan apa sampai minta ketemu malam ini banget? Tumben?" tanyanya heran.
Mereka itu pasangan aneh, jadi kalau minta ketemu mendadak memang sedikit tidak biasa baginya.
"Mama mau ketemu."
Kali ini Ara manggut-manggut paham. "Ya udah, nanti saya coba tanyain. Semoga aja jadwalnya kosong."
"Sama satu lagi."
Ara sedikit mengangkat sebelah alisnya. "Apa lagi, Pak?"
"Saya mau hari ini ada dokumentasi."
Ara hanya merespon dengan anggukan kepala paham. Meski terkadang pria itu terkesan seperti orang yang tidak niat bersosialisasi--kecuali jika itu berhubungan dengan bisnis--, Garvi ini tipe yang lumayan aktif di sosial media, followernya bahkan tidak sedikit, sudah hampir menyamai selebgram. Selain karena dirinya kekasih seorang model ternama, wajah gantengnya yang dengan mudah memikat hati kaum hawa membuatnya dengan mudah mendapatkan follower di sosial media. Jadi, jangan heran kalau bosnya ini meminta dokumentasi untuk kegiatan hariannya.
💙💙💙💙
Ara seketika langsung panik saat jarinya tidak sengaja kepleset dan malah mengirim foto yang lain. Cepat-cepat ia menarik pesan yang baru saja ia kirim.
Kesal karena pesannya diabaikan, akhirnya ia langsung memutuskan untuk menghubungi sang atasan.
"Bapak kenapa nggak balas chat saya?" todong Ara begitu sambungan terhubung. Nada bicara gadis itu terdengar begitu kesal.
Terdengar helaan napas dari seberang. "Sopan santun kamu di mana, Zahra?"
Ditegur sang atasan perihal sopan santun, nyali Ara seketika langsung menciut.
"Maaf, Pak. Azzahra Janitra siap salah, Pak," ucap Ara penuh penyesalan.
Sekarang ia benar-benar merasa tidak enak karena sudah bersikap demikian. Jelas-jelas dia yang bersalah, tapi kenapa malah sempat-sempatnya marah-marah hanya karena dirinya sedang panik.
"Saya tunggu di tempat saya, sekarang!"
Wajah Ara langsung pias. "Pak? Yang bener aja dong," ucapnya sedikit merengek.
"Bukankah kamu bilang ingin memberi saya penjelasan. Datang ke sini dan jelaskan, saya mau dengar secara langsung."
"Kan bisa lewat telefon, Pak. Ngapain saya harus ke tempat, Bapak?"
"Saya mau lihat ekspresi kamu. Buruan ke sini!" ucap Garvi tidak ingin dibantah.
Kalau sang atasan sudah bertitah demikian, Ara yang hanya seorang budak korporat bisa aja selain mengangguk pasrah dan mengiyakan.
💙💙💙💙
Ara berdiri di hadapan Garvi dengan wajah gelisahnya, apalagi ekspresi pria itu saat ini benar-benar tidak bisa ia tebak. Terlihat tenang dan kalem, duduk di sofa sambil menyilangkan kaki dan kedua tangan yang bersedekap di depan dada.
"Pak?" panggil Ara ragu-ragu.
Garvi mengangguk. Hal ini membuat kening Ara makin berkerut heran. Maksud dari anggukan kepala bosnya ini apa ya? Serius, Ara benar-benar tidak bisa menebaknya.
"Pak, jangan buat saya bingung dong."
"Kenapa saya?" balas Garvi tidak terima, "bukannya kamu ke sini mau jelasin. Tapi kenapa malah diam saja?"
Mampus!
Keringat dingin Ara mulai keluar, ia panik karena tidak tahu harus menjawab apa.
Ara mengangguk yakin. Ia siap dengan segala konsekuensi yang akan diterima.
"Baik, Pak, saya ngaku salah. Saya minta maaf yang sebesar-besarnya, saya juga siap menerima hukuman atas konsekuensi sikap saya tersebut."
"Kenapa?"
Ara agak loading.
"Maksudnya, Pak?" tanyanya tidak paham.
"Kenapa kamu melakukan itu?"
Hening. Ara tidak berani membuka suaranya. Kepalanya kembali tertunduk dalam.
"Saya butuh jawaban, Zahra."
"Bapak mau jawaban jujur?"
Garvi tidak langsung menjawab, pria itu malah menatap Ara dengan tatapan datar dan sebelah alis yang terangkat. Ekspresinya seolah sedang bertanya 'serius, kamu nanya begituan?'
Menyadari itu, Ara langsung mengangguk cepat. "Oke, saya paham." Ia sedikit meringis malu, "maaf, Pak, tentu saja Bapak pengen jawaban jujur ya. Baik, saya bakal cerita. Sejujurnya pas saya fotoin Bapak waktu itu nggak sengaja, kan waktu itu pas Bapak lagi sibuk banget, terus saya gemes liatnya. Makanya saya fotoin, tapi jangan khawatir, foto itu tidak untuk konsumsi pribadi kok."
Garvi sedikit melotot kaget. "Maksudnya kamu sebar?"
"Astagfirullah, emang Bapak pikir saya apaan? Ya, enggak lah, Pak. Maksud saya bukan begitu, saya kirim ke Mbak Arin juga kok. Serius, Pak, saya nggak bohong. Demi Allah, Pak!"
"Saya telfon Arin sekarang ya?"
"Silahkan!" ucap Ara penuh keyakinan.
Garvi manggut-manggut paham. "Saya percaya."
"Udah gitu aja?"
"Memang kamu berharap apa lagi?" Garvi malah balik bertanya dengan ekspresi herannya.
Sambil meringis malu, Ara menggeleng cepat. "Kalau begitu saya boleh pulang, Pak?"
"Kamu berencana menginap?" Garvi geleng-geleng kepala, "kalau udah, ya itu artinya kamu bisa pulang. Kecuali kamu mau mengingap."
"Enggak, Pak, saya mau pulang kok. Permisi!"
Garvi mengangguk dan berpesan agar Ara berhati-hati saat perjalanan pulang.
💙💙💙💙
galak² gimanaa.. gitu 😆😂😂